Oleh : Salma Safitri
Akhir pekan lalu, publik dikejutkan oleh berita seorang Polisi yang tewas karena tubuhnya terbakar disiram bensin oleh istrinya, seorang Polwan di Mojokerto, Jawa Timur.
Dari berita yang tersebar di media massa, kasus ini berawal dari KDRT ekonomi. Suami kerap menggunakan gaji untuk judi online. Sudah berlangsung lama. Sampai akhirnya gaji ke-13, yang diterima awal Juni 2024 sebesar 2,8 juta juga dipakai untuk judi online, tersisa 800 ribu saja, hanya dalam waktu 1 minggu. Ini jadi pemicu konflik rumah tangga mereka.
Si Polwan marah, frustasi dengan kelakuan suaminya. Sampai berujung sang suami terbakar, yang menyebabkan kematian. Tentu, sang Polwan tidak pernah menyangka bahwa bensin yang disiram ke tubuh suaminya berakibat fatal.
Ada beberapa aspek yang perlu didalami dalam kasus ini. Pasangan Polisi ini punya 3 anak batita. Si istri baru 4 bulan melahirkan bayi kembar, anak ke-2 dan ke-3. Anak pertama, berusia 2 tahunan.
Bagaimana persoalan perawatan dan pengasuhan anak – anak? Sejauh mana suami terlibat dalam perawatan dan pengasuhan? Apakah si istri mendapat dukungan yang memadai untuk merawat dan mengasuh anak – anak mereka? Dukungan fisik, psikologis, sosiologis dan finansial dari suami seperti apa?
Sangat boleh jadi faktor ini juga ikut berkontribusi. Si Polwan tidak dapat dukungan yang memadai dalam perawatan dan pengasuhan anak – anaknya. Sementara dia juga punya tanggungjawab pekerjaan sebagai Polisi, yang tidak ringan. Biaya perawatan bayi kembar dan anak usia 2 tahun tidak murah. Uang gaji dipakai suami berjudi.
Pak Polisi yang kerajingan judi online tak bisa meninggalkan kebiasaannya. Ini menimbulkan frustasi tertentu pada Polwan, istrinya.
Sebagai Ibu anak kembar, saya mengalami masa – masa berat merawat dan mengasuh mereka. Tahun 2009, saya melahirkan bayi kembar . Tahun 2011, lahir lagi adiknya. Dalam waktu 2 tahun, kami punya 3 anak. Saya dan suami beruntung mendapat banyak dukungan dari orang tua, mertua, dan ipar – ipar, dalam mengasuh dan merawat putra – putra kami. Tanpa mereka, sungguh berat hari hari yang saya jalani saat itu.
Aspek lain, jika seorang polwan mengalami KDRT, di mana dia bisa mengakses layanan untuk membantu?
Ada Unit P2TP2A di Mojokerto, mengapa tidak mengakses layanan ini? Apakah tidak tahu, atau tidak percaya layanan ini bisa diandalkan? Atau ada sebab lain? Misalnya, perasaan malu untuk mengadu karena ternyata seorang Polwan juga mengalami KDRT?
Supporting sistem di Polres untuk menghandle Polwan korban KDRT di level Polres seperti apa?
Apakah tersedia? Apakah bisa diandalkan untuk menyelesaikan kasus KDRT?
Pertanyaan lain, jika perempuan yang berprofesi sebagai Aparat Penegak Hukum (APH): Polisi, Jaksa dan Hakim mengalami KDRT, ke mana mereka mengadu? Apakah ada faktor – faktor tertentu yang menghalangi mereka untuk mengakses layanan bagi korban KDRT? Misalnya, perasaan malu atau tidak nyaman jika publik tahu mereka adalah korban KDRT? Sementara mereka adalah APH.
Berdasarkan UU PKDRT, tindak pidana KDRT diproses secara litigasi oleh Polisi, Jaksa dan Hakim. Nah, jika aparat ini yang mengalami KDRT, apakah mau menggunakan saluran hukum untuk memprosesnya? Jika tidak, apakah faktor – faktor yang menghalanginya?
Ada banyak aspek dibalik kasus ini yang perlu jadi bahan renungan untuk memastikan layanan terhadap korban KDRT di negara ini mudah diakses, berkualitas dan dapat diandalkan untuk membantu korban memperoleh keadilan.
Saya sungguh berduka dan prihatin pada situasi yang dihadapi Polwan ini. Semoga anak – anaknya mendapat dukungan, bantuan dan perawatan yang diperlukan ditengah ketidakhadiran kedua orang tua mereka.
Penulis:
Salma Safitri
Feminis, APH di Banjarmasin.