ZONAKEFAMENANU,- Bupati Timor Tengah Utara, Nusa Tenggara Timur, Petrus Salasa, wafat. Kabar duka ini disampaikan menantunya, Dr. Anton Bele, melalui pesan Whatssapp, Minggu (23/4/2023).
Alumnus Seminari di Tomohon Sulawesi Utara ini menjabat bupati di daerah perbatasan Indonesia dan negara Timor Leste itu pada tahun 1960-1964. Sebelumnya Petrus Salasa menjalani perawatan intensif di Rumah Sakit Siloam Kupang. Pemilik nama asli Petrus Canisius Tarcisius Salassa, tutup usia di umur 99 tahun.
“Berita Keluarga, telah meninggalkan kami semua, Papi Opa Salassa di RS Siloam kupang, hari ini tanggal 23 April 2023 jam 10.45, semoga Papi berbahagia bersama Mami di Surga…. Amin.,” tulis Dr Anton Bele.
Opa Piet Salassa sapaan akrabnya, lahir di Kei, Maluku Tenggara, 26 April 1923. Opa Piet Salassa, termasuk salah seorang Pamong Praja tulen yang memulai karir Pemerintahan tahun 1947 di Kementerian Dalam Negeri pada masa Negara Indonesia Timur (NIT) di Makassar, Provinsi Sunda Kecil di daerah Flores.
Ketika terbentuknya Provinsi Nusa Tenggara Timur tahun 1958, Ia kemudian bertugas sebagai Pejabat Sementara Sekretaris Daerah Kabupaten Manggarai di Ruteng.
Lalu kemudian menjadi bupati TTU di era pemerintahan Orde Lama, pada 1960 menggantikan D.C. Saudale yang saat itu menjadi Pejabat sementara kepala daerah.
Sepenggal kisah Petrus Salasa
Dikutip dari buku sejarah terbentuknya Kabupaten Timor Tengah Utara yang ditulis Yosef Naiobe, Daniel Tifa dan Vinsensius Nifu, mengisahkan perjalanan hidup Petrus Salasa hingga tiba di kota Kefamenanu untuk menjabat bupati. Sebelum berangkat, Petrus Salasa saat itu masih menjabat sekretaris daerah di Kabupaten Manggarai. Dalam perjalanan pulang dari pekan olahraga daratan Flores (Pordaf) di Ende, ia mendapat telegram dari gubernur Nusa Tenggara Timur, WJ Lalemantik. Telegram yang dikirim melalui kantor Pos dan Giro itu, isinya memintanya untuk menjabat bupati di kabupaten TTU. “Terus terang saat itu saya kaget. Saya juga belum tahu TTU itu ada di mana. Sampai saat ini pun saya belum tahu siapa yang mengusulkan nama saya untuk jadi bupati TTU,”ujarnya kepada Yosef Naiobe dalam sebuah wawancara di kediamannya di Naesleu.
Yang membuatnya kaget antara lain, hari pertama masuk kerja di kantor daerah, (bupati) hanya ada sembilan pegawai. Mesin ketik cuma satu. Kalau mau digunakan terpaksa harus antri. Selain itu kendaraan dinas bupati pun tidak ada. Bila bepergian ke desa atau kunjungan kerja, bupati menggunakan kuda atau meminjamkan mobil milik Raja Insana Laurentius Taolin. Orang Insana menyapa rajanya dengan ucapan Pah Nobas.
Suasana kota Kefamenanu tampaknya seperti sebuah kampung besar. Kalau malam, gelap. Penerangan listrik menggunakan generator. Beberapa lampu neon dipasang di seputar rumah dinas dan kantor bupati. Terletak di depan lapangan sepak bola dekat gereja Katolik St. Theresia. Lapangan itu sekaligus digunakan untuk pasar mingguan.
Dikisahkan menghadapi pegawai kantor (tidak disebutkan) status kesembilan pegawai itu sudah diangkat jadi PNS atau masih honorer. Lantaran itu, di setiap kunjungan kerja bupati selalu mengajak para pemuda di kampung untuk bekerja sebagai pegawai di kota Kefamenanu. Namun ajakan mulia tersebut ditolak. Tidak seorang pun merasa tertarik.
Zaman itu, warga masih memilih tinggal di hutan dengan cara nomaden. Berpindah-pindah. Tergantung di lokasi mana terdapat sumber air. Melihat kondisi ini sebagai bupati, Petrus Salasa memerintahkan warga untuk pindah bermukim di dataran rendah. Perlahan sebagian penduduk kemudian memilih untuk menetap di hamparan yang luas ketimbang bertahan dan menetap di tengah hutan. Jadilah seperti saat ini. Perkampungan di pinggir jalan boleh dikata buah manis hasil karya Petrus Salasa.
Sebuah kisah lucu terjadi di Aplal. Warga tidak kenal kendaraan.
Suatu waktu bupati melakukan kunjungan kerja di Aplal, Kecamatan Miomaffo Barat menggunakan kendaraan roda empat milik raja Insana, Lauren Taolin. Kendaraan itu warnanya merah. Makanya oleh orang Insana dinamai Otomtasa. Oto (kendaraan) Tasa (merah) terjemahan bebas artinya mobil warna merah.
Tiba di sana sudah tengah malam. Warga sudah pada tidur semua. Praktis tidak mengetahui kedatangan sang bupati. Keesokan harinya warga kaget melihat ada mobil warna merah. Lucunya tidak seorangpun tahu jika itu kendaraan. “Sampai ada yang meraba-raba bodi kendaraan sambil berkata” Tadi malam dia (mobil) makan apa,” ungkap Petrus Salasa sambil tersenyum membayangkan kisah itu.
Ia tetap semangat meski telah memasuki usia senja. Kendati demikian semangat hidupnya tidak pernah meredup. Ia terus beraktivitas dengan ciri khas, selalu rutin berjalan kaki. Petrus Salasa jarang naik mobil kecuali untuk perjalanan jauh. Spiritual kerohaniannya luar biasa. Rajin berdoa.
Selamat jalan bapak Petrus Salasa. Pengabdian tulus yang dipersembahkan untuk rakyat Timor Tengah Utara adalah keabadian yang akan terus hidup. Kebaikanmu, karcis menuju Surga.