Siang itu, udara di langit Kecamatan Wolo Kabupaten Kolaka Provinsi Sulawesi Tenggara (Sultra) cerah. Sesekali matahari menyengat dengan pancaran sinarnya yang tidak membakar kulit.
Di tengah hingar bingar aktivitas masyarakat di hari itu, Jumat 3 September 2021 tampak seorang pria hadir dan berbaur bersama masyarakat yang sementara berdemo menuntut hak – hak atas tanahnya yang dirampas sebuah perusahaan tambang di daerah itu.
Usut punya usut pria yang memakai jaket dibalut kemeja warna kotak-kotak itu, tiada lain orang nomor satu di Lembaga Legislatif, Propinsi Sulawesi Tenggara (Sultra). Pria dengan usia matang itu, adalah Abdurrahman Saleh. Kehadiran Politisi Partai Amanat Nasional (PAN) di tengah masyarakat yang sedang mencari keadilan atas nasib mereka, laksana oase di padang gurun.
Ketua DPRD ini tanpa dikomando langsung naik ke mimbar. Dengan suara lantang ia mempertanyakan komitmen perusahaan yang telah membuat kesepakatan sejak 2013 silam. Di situ disebutkan perusahaan tidak mengelola lahan tersebut selama belum adanya kesepakatan dengan pemilik lahan.
Sengketa warga melawan PT Ceria Nugraha Indotama dipicu masalah lahan. Informasi yang diperoleh lahan seluas 100 hektare yang dikelola perusahaan, 25 hektare milik warga setempat. Masalah ini kemudian meluas dan kian rumit, lantaran masyarakat dan pihak perusahaan belum ada titik temu.
Sebagai wakil rakyat, Abdurrahman Saleh tidak ingin masyarakat menjadi penonton di kampungnya sendiri. Ia harus menjadi tuan atas hak dan kedaulatan yang dimiliki. Meski pun ia juga mempersilakan perusahaan untuk tetap bekerja dengan tidak melanggar aturan.
“Kita mencari solusi bukan untuk menentukan siapa menang siapa kalah. Biarkan masyarakat menggarap lahannya dan menikmati hasilnya. Sebab mereka lahir dan besar di sini,” ujarnya.
Politisi partai matahari terbit ini menghendaki ada penyelesaian menyuluruh dengan tidak merugikan pihak lain. Ketegasan tersebut praktis membuat dirinya sontak menjadi figur panutan. Di panggung ia menjadi singa podium. Orasi – orasinya memukau. Membakar semangat juang masyarakat yang nyaris padam. Di masjid ia menyampaikan khotbah jumat sebagai pengingat kepada sang khalik sekaligus mengulang mengingatkan warga untuk tetap sabar & tawakkal memperjuangkan hak dengan tetap berharap rahmat Allah swt.
Ketika turun dari panggung usai berorasi, bersama warga dan rombongan mereka melakukan sholat jumat di mana iya menjadi imamnya.
Kini masyarakat mendapat kekuatan dan menaruh harapan pada pundak Abdurrahman Saleh. Perjuangan memang belum selesai dan masih panjang. Namun tidak akan menyurutkan arah dan semangatnya.
Hidup bagai biduk di laut lepas. Sebagai orang Bugis Bone ia memegang teguh falsafah Bugis klasik ” Pura babbara sompekko, pura tangkisi gulikku, ulebbirengngi tellengnge natowalia “. Yang berarti kurang lebih ” Sekali Layar Terkembang Pantang Biduk Surut ke Pantai”