Cerpen : Cemara Dua Rindu

Cemara Dua Rindu
Cemara Dua Rindu

Oleh : Hendrika LW

Sorot matanya teduh. Seteduh pohon jambu yang tumbuh di halaman rumahku. Hmm.

Read More

Pun tutur katanya halus dan sopan. Itu sekilas tentang Panji Asmoro. Cowok simpatik yang telah membuatku jatuh hati.

Aku bertemu Panji saat mengantre teller di sebuah bank. Kebetulan kami sama-sama duduk di deretan kursi silver, yang hari itu sangat padat.

“Nomor berapa, Mas?” tanyaku sembari melempar senyum.

Maklum, aku tak bisa membisu saja bila bertemu orang, apalagi yang duduk bersebelahan denganku. Karena itu teman-teman memberiku julukan ‘sksd’, sok kenal sok dekat. Heee.

“Nomor seratus, Mbak,” jawabnya ramah, menutup buku yang dari tadi dibacanya.

Antrean begitu panjang, sepanjang itu pula kami bercakap-cakap.

“Oh iya, nama Mbak, siapa? Dari tadi ngobrol kok belum kenalan sih,” Panji mengulurkan tangan.

“Saya Kinara,” jawabku.

“Saya Panji.”

Obrolan hari itu sangat asyik. Hingga mampu mengusir rasa bosan menunggu puluhan nomor yang antre dipanggil.

“Nomor antrean 100.” Panji segera beranjak menuju teller, setelah memberikan nomor WhatsAppnya padaku.

Hari-hari berikutnya kami saling menyapa. Ya, selayaknya kawan baru. Say hello, nanya kabar. Kadang ngobrol sedikit soal kerjaan.

“Selamat pagi Kinara, apa kabar?”

Pagi itu Panji menyapaku duluan. Belum sempat aku membalas, dia mengirim pesan lagi.

“Bisa gak, nemenin aku makan?”

Ah, yang bener? Mimpi apa nih orang ngajak aku makan, pikirku.

“Hai, pagi juga. Kabarku baik aja, sih. Emm, gimana ya, kayaknya aku gak bisa nih. Aku lagi full kerjaan. Lain kali, ya,” balasku.

“Ya, okelah,” pungkasnya.

Kuakui Panji cukup tampan dan sepertinya baik. Setidaknya itu kesanku.

Tapi ada juga sih, hal yang membuatku sebal. Dia cuek. Androidnya saja seperti tidak berfungsi. Maka itu aku malas chatting, sebab lama merespon.

“Maaf ya, lama respon,” balasnya suatu hari.

“Iya, gak papa,” jawabku, padahal aku kesal.

Tapi WA-nya kali ini, membuatku kaget.

Panji yang biasanya cuek banget, kali ini merespon storyku.

“Kinara, DP-nya cantik deh, seksi!” katanya, membuatku ge-er (gede rasa).

“Iyalah, Nji. Perempuan, ya cantiklah,” jawabku.

Percakapan ‘nakalnya’ membuatku terheran-heran. Aneh. Sehingga tak kurespon lagi.

“Sorry ya. Jangan marah, aku bercanda kok,” sambungnya bernada menyesal.

Percakapan itu, kemudian berlalu begitu saja. Hari-hari berikutnya, ya sepi lagi. Tak ada WA. Kendati demikian aku tersanjung juga sih, oleh pujian Panji, yang masih terngiang di kepalaku.

Baru sekali ini cowok alim itu, komen storyku. Ah, entahlah. Untuk apa aku memikirkannya.

Sore itu aku merasa suntuk sekali. Ketimbang boring berlarut, aku iseng aja nge-chat Panji.

“Sore Nji, apa kabar, kemana aja dirimu?” tanyaku selidik.

Hmm, kali ini dia merespon begitu cepat. Secepat kilat. Hee.

“Sore Kinara, aku baik. Gimana denganmu?”

Saat itu tak kusangka Panji menyatakan perasaannya selama ini. Katanya, dia suka sama aku, saat bertemu di bank itu.

Oh My God! Aku kaget bukan kepalang. Tapi aku tak mau merasa ge-er, sih. Karena aku tak mau kecewa.

“Kinara, aku suka kamu sejak awal kita ketemu. Boleh gak kita berteman?” katanya.

“Lhaa, kan dari kemarin-kemarin kita sudah berteman. Gimana sih maksudmu, Nji?”

“Aku serius, Kinara,” katanya.

“Ya, aku juga. Akuarius, hee,” candaku.

Rupanya dia tak suka dengan candaanku itu.

“Hadeh, cowok kok ngambek, sih. Aku gak suka begitu,” gerutuku pada Mahesti saat makan di kantin.

“Sudah kukirim WA ke dia, tapi gak dibaca. Sepertinya langsung dihapus. Sebel deh.”

“Bodoh amat, Ki. Ngapain lu masih juga mikirin dia?” Mahesti menimpaliku.

“Sebenarnya Panji cowok yang asyik, sih. Kadang. Tapi sering menyebalkan.” Aku terus saja melepas curhatanku.

Lama-lama Mahesti ikut merasa kesal dan mengingatkan aku menjauhi Panji.

“Udahlah Ki. Putusin aja cowok dingin itu, gak asyik.”

Sebenarnya aku tak prasangka buruk sama Mahesti. Apalagi dia sahabatku. Mungkin sarannya baik. Apalagi dia tahu, Panji tipe cowok yang cuek.

“Kalau gue ya, cowok kayak pacar lu itu, gue udah tinggalin,” sambung Mahesti lagi.

Gimana ya, di antara teman kerja, aku paling akrab dengan Mahesti walau beda divisi. Karena selama ini kami bisa saling menjaga privasi masing-masing.

20230523 050129 scaled - Zonanusantara.com
Ketimbang sama Feni atau Susan. Duo cewek ember itu, sering keceplosan membocorkan rahasia dan kepo urusan teman.

Tapi apa yang disampaikan Mahesti sebetulnya masuk akal juga, sih. Untuk apa menjalin hubungan dengan orang yang cuek dan sulit.

Tapi entahlah. Aku tak tahu mesti gimana. Malam itu menjadi saat permenungan buatku sebelum mengambil keputusan.

Baca Juga :  Memeluk Sunyi

“Malam Nji, apa kabar. Maafkan aku ya, kalau ada salah,” kataku.

Cowok yang kusapa ‘Nji’ itu, sedang mengetik di gawainya.

“Iya,” jawabnya, bikin aku sebal.

Bayangin aja, jawaban sesingkat itu, seakan membenarkan, aku memang salah tanpa memberi penjelasan. Duh!

Ah, bodoh amat. Aku tak mau pusing mikirin dia lagi. Kali ini aku mulai berprasangka baik terhadap Mahesti.

“Mahes, kamu benar. Cowok itu gak bisa dibanggakan jadi idola.” tegasku.

“Nah, kan. Apa gue bilang.” Mahesti lagi-lagi kesal.

Berbulan-bulan berikutnya sunyi senyap. Tak ada kontak sama sekali dengan Panji. Walau sebenarnya aku tak bisa melupakannya.

Semilir angin senja menerobos jendela kamarku. Sepertinya membawa kabar baik, sehingga aku merasa gembira hari ini. Iseng aku mengirim WA untuk Panji.

“Sore Nji, bagaimana kabarnya?” sapaku.

“Sore juga Kinara, aku baik-baik saja. Gimana denganmu, lagi sibuk apa?” balasnya.

Wah, sejuknya. Bagai bunga tersiram hujan membaca balasan Panji. Ternyata, di lubuk hatiku masih mengharapkan dia. Ehm, ehm.

Hingga larut malam, aku dan Panji hanyut dalam obrolan panjang. Sharing, cerita-cerita. Ya, macam-macam topiknya. Malam itu dia jadi orang yang sangat menyenangkan.

Kali ini, ada hal yang membuat aku kaget, plus berbunga bunga. Panji bilang, kalau besuk mau ke rumahku.

“Kamu gak lagi mimpi kan, Nji?” tanyaku.

“Ya, enggaklah. Lha ini aku belum tidur. Masak mimpi.” jawabnya sambil ketawa.

Orang ini kok aneh, ya. Ah, mungkin dia hanya iseng aja, batinku.

Esuknya, pagi-pagi ternyata dia sudah WA.

“Pagi Kinara, entar sore tunggu ya. Aku jemput, kita jalan-jalan,” ujarnya.

“Hahh, serius nih, Nji?”

“Ya, iyalah. Pokoknya kamu siap aja. Sepulang meeting dengan klien, aku jemput kamu. Ok!” katanya tegas.

Panji ternyata juga seorang pengacara, selain pebisnis yang ulet. Awesome!

“Okey deh,” jawabku setengah percaya.

Apa dia lagi mengigau ya, atau mimpi apa gitu. Ahh, entahlah, pikirku sembari membereskan isi tasku.

Sepulang kantor aku langsung mandi. Bergegas dandan. Biar keliatan cantik, gitu. Kupilih-pilih baju yang cocok dengan hatiku yang lagi berbunga-bunga, hmmm.

“Elu, mau kemana Ki, buru-buru amat,” tanya kakakku heran.

Di rumah, aku cuma berdua sama kakak perempuanku, kak Klara. Kami empat bersaudara, dua cowok. Aku anak bungsu.

Dua kakak laki-lakiku tinggal di Kalimantan. Sudah lima tahun mereka bekerja sebagai karyawan perusahaan di sana. Sedangkan orangtuaku, tinggal di kampung halaman, tanah kelahiranku di kota Magetan.

“Aku mau jalan sama Panji, ntar dia jemput ke sini,” jawabku sambil benahi alisku.

Kepada kakakku yang sabar dan cantik, aku cerita tentang Panji.

“Oohh, ya deh, salam buat Panji ya,” kata kakakku sembari berbalik ke kamarnya.

Kak Klara selalu bisa memahami perasaanku.

“Iyaa kak, ntar aku sampaikan,” sahutku bersukaria.

Sudah jam empat kurang lima menit. Hatiku kenapa berdebar-debar ya? Rasanya gimana, gitu. Ada senang, deg-degan. Nervous banget.

Segera kupejamkan mata. Kutarik nafas dalam-dalam untuk menenangkan hati.

Tepat jam empat, handphoneku berdering.

“Halo Kinara, aku sudah di depan rumahmu,” Panji menepati janji.

Panji mengikuti petunjuk Google Map, untuk menuju rumahku di Jalan Wijaya Kusuma.

“Iyaaa, tunggu, Nji,” sahutku buru-buru.

Aku keluar, Panji sudah menungguku dengan Xtrail putihnya.

Keren juga nih cowok, pikirku.

Tanpa membuang waktu, aku dan Panji melaju, menyusuri kota. Baru kali ini aku lihat dia cool banget.

Lagu-lagu klasik diputar sepanjang jalan, menemani aku dan Panji yang asyik ngobrol. Topiknya macam-macam. Politik, ekonomi, sosial, budaya. Nyambung aja, kayak tali rafia.

Tapi jujur, perasaanku berdebar-debar, kala aku curi-curi pandang.

Aku suka. Panji memiliki wawasan yang luas. Rasanya aku makin jatuh hati, deh.

Sore ini begitu romantis. Panji membawaku keliling kota. Sesekali dia menggenggam tanganku. Deg-degan, rasanya. Aku hanya meliriknya, menutupi sikapku yang salah tingkah.

“Aku suka kamu, Kinara. Sejak ketemu pertama kali itu,” katanya memandangku sekejap.

“Kenapa suka, Nji, aku biasa-biasa aja,” sahutku makin deg degan.

“Nggak tahu ya, aku juga gak ngerti alasannya. Aku suka banget sama kamu.”

“Dari dulu sih, tapi mau bilang gak berani, takut ditolak,” jawabnya, melirikku.

Aku hanya diam, membisu seribu bahasa. Suasana jadi sunyi. Masih digenggamnya tanganku. Lembut banget, terasa sampai ke hati.

Panji menghentikan roda Xtrailnya di pelataran resto yang luas. Pohon cemara anggun menghias setiap sisi resto itu. Ditambah lagi aneka bunga yang bermekaran. Mulai dari pintu masuk hingga pelataran.

Hmmm, menawan, batinku, mengagumi penataan tempat ini.

Baca Juga :  Puisi : Pesona Jiwa

“Kinara, kita turun yuk,” Panji mengagetkanku.

“Ohhh, iya, iyaa,” sahutku membuka pintu.

Panji menggandeng tanganku. Roman banget. Entah kenapa saat itu sepi, tak ada pengunjung satu pun. Seakan-akan, kursi-kursi itu sengaja disiapkan hanya untuk kami berdua.

Hmm, privasi banget. Aku membatin.

“Mau duduk di mana, Say?” tanya Panji.

“Di situ aja deh, yang dekat kolam,” jawabku.

Aku segera menarik kursi rotan, yang diambil dari hutan Kalimantan.

“Iya, duduk di situ aja, Say, biar bisa lihat pemandangan di sana,” kata Panji menunjuk deretan cemara.

Melihat ikan-ikan di kolam, tak ada bosannya. Imajiku menerawang jauh kemana-mana. Hingga tak kusadari kecipak air membasahi baju pink yang kukenakan.

Tahu aku basah, Panji spontan mengelap bajuku dengan tissue. Perasaanku kian berdesir.

Suasana seketika menjadi bisu, sepertinya bingung, mau bicara apa. Aku berusaha mencuri pandang, mudah-mudahan tak ketahuan.

Kenapa rasanya aku begitu dekat dengan Panji, ya? Pertanyaan ini hanya bisa dijawab oleh diriku sendiri.

Panji masih diam, entah apa yang dipikirkannya. Sementara aku, sibuk mengamati view di sekitar resto..

“Amazing, beautiful.”

Rupanya Panji mengamati keherananku.

“Say, baru pertama kemari?” tanyanya padaku, aku hanya mengangguk.

Tak lama kemudian, pelayan resto yang cantik datang membawa list menu.

“Selamat sore, silahkan pilih menu, Kak,” pintanya sopan dan ramah.

Kubolak balik buku menu itu, tapi tak tahu juga mau pilih apa. Ya ya ya, pikiranku tak fokus ke daftar makanan.

“Mau makan apa, Say? Pilih aja yang kamu suka,” kata Panji santai.

“Ehmm, aku gak tahu mau makan apa, ngikut kamu aja deh, Nji,” kataku menyodorkan kertas menu pada Panji.

Dibukanya lembar demi lembar. Kesempatan aku curi pandang lagi.

“Gimana kalau salad buah?” tanya Panji.

“Okey, deh,” jawabku.

“Mau minum apa?” tanya Panji lagi.

“Coklat panas sama air putih aja,”

“Ok, aku teh tawar panas,” kata Panji.

Sambil menunggu pesanan datang, Panji banyak bercerita, tentang masa kecilnya dan masa sekolah sewaktu di kampung. Juga bisnisnya yang pernah jatuh bangun. Teman-teman kerjanya, yang membuatnya bangkrut. Ya macam-macamlah. Aku dengarkan dengan seksama. Salut juga aku sama dia.

“Kamu hebat ya, Nji, punya mental setangguh itu,” kataku kagum.

“Ya memang harus begitu, Say. Kalo jatuh harus segera bangkit, jatuh lagi, ya move on lagi.”

“Nanti kuajarkan deh, kalau kamu mau bisnis,” katanya menimpali pujianku.

Pesenan sudah siap di meja. Aku makan perlahan. Itu kebiasaanku, yang membuat Kak Klara acapkali memarahiku.

Sambil makan, kami terus saja ngobrol. Tatapan mata Panji membuat jantungku makin berdebar.

Entahlah. Ada sesuatu yang menggetarkan hatiku. Aku merasa sayang dan dekat dengannya.

Duh Gusti, perasaan apa ini. Apakah aku benar-benar jatuh cinta? Hatiku berkecamuk.

“Hei sayang, kok melamun?” panji
mengagetkan aku.

“Eeeng, enggak kok. Akuu, aku, lagi lihat air di kolam itu looh, baguus,” jawabku tersipu menutupi perasaanku.

“Ohh,” kata Panji, entah tahu apa tidak keresahanku

“Makanannya gak dihabisin?” tanya Panji lagi, melirik piringku yang masih tersisa selada.

“Sudah kenyang, Nji. Aku kurang suka selada mentah,” jawabku.

Sekitar satu jam aku berdua dengan Panji di resto yang memiliki view mewah itu, menurutku.

Panji mengajakku beranjak. Segera dia menyambar tas kulitnya. Aku mengikutinya menuju kasir.

“Say, setelah ini kita jalan-jalan, yuk!”

“Siaap, aku juga kepingin lihat view di sini,” jawabku, menggandeng lengannya.

Rasanya hari ini menjadi momen terindah buatku. Bersama Panji. Mengamati bunga warna warni, yang ditata sedemikian apik.

“Indah ya, bunganya?” Panji memegang bahuku.

“Iya, indah banget. Tapi ada yang lebih indah, sih.”

“Apa dong?”

“Bunga cintamu, hhee bercanda ya.”

Canda tawa memecah kesunyian. Kami menyusuri jalan setapak menuju Villa Hazel. Panji menggandengku. Aku merapatkan lengan. Di sepanjang jalan, pucuk-pucuk cemara menari-nari mengibas sunyi. Seakan turut gembira melihatku dan Panji.

“Nji, lihat cemara-cemara itu,” kataku membuat Panji menoleh ke sisi jalan.

“Cemara yang indah. Ah, semua indah,” kata Panji, menyibak rambut yang tergerai di wajahku.

Waktu menggeser perlahan. Kakiku telah menjauh dari resto, namun perasaanku seperti tali jangkar, menancap erat di sana.

Sepenggal kisah romantisme, yang hadir dalam keping-keping hati. Meski tak tahu, apakah kepingan ini sesuai dengan kolase yang telah lama kosong.

Atau mungkinkah kisah ini seperti angin gunung. Membelai. Mengecup mesra di antara pucuk cemara. Lalu ia akan tetap atau lenyap. Atau mungkin akan pergi, tanpa permisi. Tanpa bisa kupeluk atau kugenggam walau sekejap.

Bersambung

Related posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *