Cerpen : Dinda

Cerpen : Dinda_zonanusantara.com
Ilustrasi

Cerpen “Dinda” oleh Hendrika LW

Kekasihku, kupersembahan cinta ini hanya untukmu. Karena kau telah mengijinkan aku menyusup ke dalam jiwamu. Menikmati sejuta rasa dalam setiap desah napas dan pelukan hangat mentari. Aku ingin mencium aroma tubuhmu, yang harum bak melati.

Mataku berkaca-kaca. Hampir saja butiran bening ini terjatuh dari sudut mataku.

Read More

“Hi Sandro, what do you happen?” George mengagetkanku.

Cowok asal Polandia itu temanku satu kelas. Dia sangat baik, dan cerdas. Satu lagi, dia care dengan teman-temannya.

Di kota ini, kami tinggal di sebuah mess. Aku, George, Marco, dan beberapa teman dari berbagai negara, sangat akrab seperti saudara. Maklum sama-sama jauh dari keluarga.

“Can you tell me? Why do you look sad?” George menepuk bahuku.

“Oh, no, George. I am fine. Don’t worry.” Jawabku memaksa senyum.

“I only remember my family.”

“Okey. Hope you are fine.” George masih duduk di sampingku.

Hari-hari kulalui dengan setengah hati. Separuh nyawaku serasa terbang, entah ke mana. Mungkin menari-nari di balik awan, atau terlelap dalam dekapan dewi bulan. Mungkin?

Bagai perahu yang terombang-ambing di samudra raya. Perasaanku masih saja gundah gulana. Hanya untaian doa dan meditasi yang membuatku tenang.

Dua tahun ini adalah waktu terpanjang dalam hidupku. Sebab ada lorong panjang, yang tak mudah kulewati.

September ini studyku sudah selesai. Bersyukur. Aku dinyatakan sebagai mahasiswa terbaik.

“Frans Aleksandro from Indonesia. Congratulation!” Namaku disebut dari atas podium.

“Thanks, God.”

Aku bangga, mampu menyelesaikan belajarku dengan baik. Tidak sia-sia pemerintah memberiku beasiswa. Tak sia-sia juga keluarga mendukungku.

Ah, bahagianya aku akan kembali pulang ke tanah air.

Ternyata benar kata pepatah. Lebih baik hujan batu di negeri sendiri, daripada hujan emas di negeri orang.

Begitu juga kata lidahku. Lebih enak krengsengan bekicot bikinan ibu, daripada escargot ala restoran Perancis.

Baca Juga :  Puisi Kalam Renjana

Kerinduanku bertumpuk-tumpuk. Untuk ayah ibuku. Untuk kakak dan adikku. Untuk kawan-kawanku. Dan juga handai taulan di kampung halaman.

Tentu saja, paling spesial untuk Dinda. Aku ingin segera menemuinya setiba di Indonesia.

Di kampung halamanku, Manado, keluargaku sudah menyiapkan doa syukuran menyambut kedatanganku.

Setelah beberapa minggu di rumah, aku pamit pergi ke Jakarta. Kangen kampusku.

Aku juga menemui Pedro, yang sudah bekerja di sebuah kantor, tak jauh dari situ.

Kami nongkrong di cafe ‘Coffie N Tea’, yang dikelola oleh Anita, teman kuliahku. Semalam suntuk, kami bercerita panjang lebar. Berharap juga Pedro bisa kasih info soal Dinda.

“Ndro, aku dapat nomornya Dinda, Coba deh, hubungi sekarang.”

“Ini akun Instagramnya.” Pedro menyeruput kopinya yang hampir landas.

Kubuka hp anderoidku. Gemetaran tanganku membuka IGnya. @dindamayesti.

Deg! Aku tak dapat berkata-kata. Mataku berkaca-kaca. Mau meneteskan air mata? Malu sama pengunjung cafe. Ya Tuhan. Bener, ternyata Dinda sudah menikah.

“Sabar Ndro, mungkin gak jodoh atau belum jodoh.” Pedro menghiburku.

“Seri, Bro. Aku sekarang juga jomblo. Diana dijodohkan orangtuanya.” katanya lagi.

Hatiku serasa porak poranda.
Seperti angin yang menyapu senja. Ia tak pernah permisi ketika datang membelai. Dan akan pergi begitu saja, dalam peraduan malam nan pekat.

Jujur, aku kecewa dengan Dinda. Harusnya dia berterus terang padaku, kalau memang tak ingin lagi bersamaku.

Kucoba menghibur diri, tapi tak bisa.

Kurasakan langit telah runtuh. Hilang semua harapan dan impian indah, yang pernah aku bangun bersamanya. Seorang gadis yang selama ini menjadi motivasi hidupku.

Rasanya aku benar-benar lemah. Pikiranku kacau. Kacau banget. Hatiku kusut, tersobek-sobek. Seperti kertas koran usang, kumal.

“Ndro, ini alamatnya Dinda.” Malam-malam Pedro WA.

“Thanks, Bro. Kamu teman terbaik.”

“Besuk aku ke sana. Mau ikut?”

Baca Juga :  Kularungkan Rindu di Pantai Pangandaran

Perasaanku morat-marit. Seperti habis diterjang angin lesus. Pedro membantu menenangkan aku.

Tujuh jam perjalanan menuju rumah Dinda membuat perasaanku kian getir. Berkali-kali kutengok jam tangan. Hatiku makin semramut. Kereta yang melaju ke Jogja pun kurasa demikian lambat.

Jam 10 pagi. Oh Tuhan. Hatiku benar-benar teriris ketika memasuki halaman rumah Dinda.

“Selamat siang, Bu. Apakah benar ini rumah Dinda?”

Seorang wanita enam puluhan tahun, menyambut ramah.

“Iya, Nak. Benar. Panjenengan ini siapa?”

“Saya Sandro, Bu. Ini teman saya, Pedro. Kami teman kuliah Dinda sewaktu di Jakarta.” jawabku.

Kami dipersilahkan masuk. Hatiku tak menentu. Pandanganku menyapu bersih, seluruh ruang tamu.

Sebuah foto pernikahan dipajang di almari kaca. Aku tidak ingin melihatnya. Tapi mataku terus tertuju di situ. Ah, Dinda. Teganya kau.

“Siang, Kak Sandro. Kak Pedro. Gimana kabarnya?” Dinda menyalamiku, tangannya dingin sekali.

Tidak seperti hatiku, yang panas bergemuruh bagai magma gunung Merapi.

“Baik Din, gimana kabarmu.” Jawabku menahan perasaan.

“Ya, seperti inilah. Aku minta maaf, ya, Kak Sandro. Aku yang salah.” Dinda menahan air matanya.

Aku tak bisa berkata apa-apa. Seperti malam di tengah padang gembalaan. Sunyi. Senyap. Gelap.

Aku tak tahu apa yang mesti kukatakan. Isi kepalaku kosong. Sungguh.

Pedro pun ikut membisu. Sepertinya dia juga larut dalam kebekuan.

Tiba-tiba terdengar suara tangis bayi. Memecah suasana yang sedari tadi membeku.

Dinda segera bangkit, menggendong bayi itu dan membawanya ke ruang tamu.

“Ini anakku, Kak. Namanya Putri Camelia.” Dinda menunjukkan bayinya, dengan wajah setengah ditekuk.

“Cantik, seperti kamu, Din.” Hanya itu kata-kata yang bisa keluar dari mulutku.

Suasana kembali hening. Beku, kaku tepatnya.

“Ayahnya di mana, Din?” Pertanyaan Pedro menyibak suasana.

“Ayahnya meninggal seminggu yang lalu, karena sakit jantung.” Jawab Dinda datar.

Ya Tuhan. Aku harus merasa sedih atau bahagia dengan keadaan ini?

(End)

Related posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *