Oleh : Yosef N.
Pagi masih buta. Langit di atas kota Morowali tampak murung. Cakrawala meringis. Sang Surya enggan menampakkan cahaya. Awan gelap bertengger di ubun-ubun pegunungan. Sepanjang hari itu, gerimis turun. Cuaca meradang. Raja tata surya cemas.
Pelabuhan Bungku memiliki rekam sejarah peninggalan jaman kolonial. Seiring perjalanan waktu, sejarah itu berubah menjadi sebuah kenangan.
Di tepian pantai dekat dermaga Pelabuhan Bungku, kepala pelabuhan menerobos gerimis. Dengan langkah cepat, perwira menengah itu bergegas menuju pantai. Ipul mengikuti dari belakang. Pengawal itu selalu melekat ke arah mana komandan melangkah.
Jarak pandang di sekitar pantai terhalang selimut kabut tipis akibat air raksasa yang turun dari langit Morowali.
Para staf pelabuhan yang sudah lama menunggu siaga di dermaga. Hari itu sesuai jadwal Kapal Motor Penumpang (KMP) Sabuk Nusantara akan berlabuh.
Kepala pelabuhan sebagai pemegang otoritas terhadap pelayaran kapal yang melintasi wilayahnya wajib memeriksa dokumen sesuai SOP. Pasukan yang disiagakan menggunakan seragam biru laut. Harmoni dengan samudera. Hanya kepala Pelabuhan yang berbeda. Perwira menengah itu memakai baju warna putih dilengkapi atribut di pundak. Tampak gagah dan berwibawa. Mirip kesultanan.
“Achmad! Periksa pasukan. Suruh mereka berkumpul,”pintanya dengan nada terukur.
“Ayo kumpul semua,”pinta Erwin memecah kesunyian. Perwira Jaga ini terlibat dalam memeriksa barisan. Matanya sesekali mengawasi.
Hujan mulai turun deras membasahi bumi. Pasukan tak bergeming. Tugas tidak boleh kalah oleh rintik hujan. Ini tanggungjawab kepada negara juga kepada pendiri negeri. Dulu mereka bermandikan darah. Kita tinggal menikmati cuma dengan bermandikan air hujan.
Uci, Dedy, Gusti, Udin, Nurdin, Darwis dkk menatap laut. Tampak dari kejauhan KMP Sabuk Nusantara yang dinanti segera berlabuh. Hari itu Kapal yang bertolak dari Pelabuhan Kolonodale sedang mengemban misi melakukan uji Pelabuhan Bungku yang baru saja dibangun oleh Kementerian Perhubungan atas inisiasi pemerintah daerah, penguasa wilayah setempat.
Hempasan gelombang mengibas pantai. Angin menderu. Perlahan dari buritan kapal condong ke bibir pantai. Kapal menepi. Sejumlah ABK melempar sauh ke pelabuhan, isyarat kapal segera berlabuh. Seorang perwira kapal menggunakan Handy talkie (HT) berteriak. “ABK dek… ABK dek..” Kapal perlahan merapatkan badannya dengan sempurna memanjang secara horison dengan dermaga. Semua tepuk tangan. Keceriaan terpancar di antara wajah-wajah yang tampak sumringah.
Kepala Pelabuhan segera memerintahkan anggota naik ke atas kapal. Protap yang berlaku, setiap kapal yang berlabuh harus diperiksa. Mulai dari dek pertama hingga ruang kemudi. “Mana Nahkoda Kapal,” tanya komandan. Seorang pria paruh baya muncul. Menggunakan seragam warna putih, nahkoda kapal memberi hormat.
“Siapa namamu. Siap! Muslih. Nahkoda kapal itu didampingi seorang perempuan yang menjabat sebagai Mualim 1.
Ruang kemudi, tempat nahkoda dan mualim 1 beraktivitas. Kedua orang ini dapat menentukan haluan dan arah kapal selama pelayaran, termasuk keselamatan penumpang. Seorang pejabat Pemerintah Daerah setempat, M. Rizal minta ijin untuk sejenak duduk di kursi yang biasa dipakai nahkoda. Sambil menikmati pemandangan di depannya, tangannya memainkan setir. Benda berbentuk bulat itu terbuat dari besi. Momen itu mencuri perhatian anak buah kepala pelabuhan untuk mengabadikannya menggunakan handphone.
Kapal Sabuk Nusantara lepas pantai jelang sore. Jauh di ufuk barat, cakrawala memancarkan siluet. Indah sekali. Burung camar terbang rendah mengiringi kepergian kapal, seolah ingin mengucapkan salam perpisahan. Lambaian nyiur di lereng gunung, ikut melepas KMP Sabuk Nusantara.
Lempuyang senja merangkak perlahan menuju peraduan malam. Hati terhuyung terombang ambing dalam hempasan gelombang. KMP Sabuk Nusantara semakin menjauh dari daratan sisakan siulan dan rintihan kerinduan. Kapal itu seakan membawa sang kekasih melintasi cinta maha luas.
Perjalanan ini laksana penyair merangkai puisi.
Samudera terbentang
angan melayang.
Cinta jauh di pulau.
Rindu mendera.
Cemburu mendesah
Bayangan wajahmu samar di antara fantasi mimpi-mimpi.
Dalam kesunyian aku termenung
tentang pelayaran yang masih jauh. Tentang cinta terselubung kabut. Delapan tahun kita berlayar melewati angin badai cemburu.
Aku nahkoda ulung yang akan membawamu menepi ke dermaga cinta yang kita idamkan. Musim semi mungkin saja berlalu. Namun tidak dengan cintaku. Ia telah bersenyawa di antara kita.
Hawa dingin menusuk sumsum.
Gulungan ombak menari-nari
Riuh putih melambai
Fajar tersenyum.
Asmara terpatri.
Di pelaminan kita melamun
Tentang bulan madu
Di saat bulan separuh bayang,
Dalam gugusan bintang berkerlip
Kita berpesta di angkasa sambil memetik purnama.
Suatu waktu,
Di Pelabuhan Bungku, Morowali