Cerpen Nestapa Sebuah Laptop oleh Yosef Naiobe
Deru ombak memecah keheningan di bibir pantai. Bersama hembusan angin kutuliskan cerpen ini meski tak seindah para pujangga dan tak sebaik para penyair. ~ Oleh : Yosef Naiobe
Pagi masih buta. Riuhgada di kelas IPA SMA Semesta itu mendadak ramai. Padahal saat itu jarum jam penunjuk arah waktu, baru saja bergeser dari angka 06. Sementara pelaksanaan ujian kenaikan kelas dimulai tepat jam 08.00 wib.
“Ada apa ni,”tanya pak Komarudin.
Guru matematika kelas 1 itu mendadak muncul di balik pintu. Suasana hening. Semua siswa mematung. Mereka memandang wajah gurunya dengan tatapan kosong. Jangankan menjawab pertanyaan guru wali murid itu. Sekedar ehem saja tidak ada yang berani. Komarudin dikenal sebagai guru yang angker di sekolah itu. Ia dikenal pelit memberi nilai bagus. Siswa yang kurang tertib jarang diluluskan walau siswa itu pinter.
Widya siswa kelas IPS salah satu korban pak Komarudin. Saat itu Widya terlambat. Pak Komarudin tutup pintu. Saat ujian, Widya satu- satunya siswa yang tidak diluluskan pak Komarudin.
“Oh Tuhan! Jangan bairkan ketakutan ini bercokol dalam diriku,” gumam Arman membatin.
“Ada apa, ayo ngaku,” pinta pak Komarudin, ingin tahu sumber kegaduhan jelang ujian matematika. Arman ketua kelas mencoba menengahi pokok perkaranya. “Aaaa… anu pak,” Belum sempat menuntaskan kalimatnya, pak Komarudin menyambar. “Anu… Anuuu! Anu apa,”bentaknya penuh selidik.
Arman terdiam. Ia urungkan niatnya. Gerangan yang terjadi di kelas dibiarkan saja menjadi sebuah misteri. Ia membisu. Mulutnya terkunci rapat-rapat. Sementara pak Komarudin terus memandangi siswanya satu persatu penuh awas. Tatapannya tajam seperti mata elang yang siap mencakar.
Di tengah suasana yang membeku itu, pak Komarudin meninggalkan kelas dengan tangan hampa. Ia kembali ke ruangannya yang hanya dipisahkan oleh gorden berwarna hijau. Guru yang usianya di ambang senja memendam rasa kesal. Perasaanya tercabik. Sebagai wali murid, kegaduhan anak didiknya seperti mencoreng arang di wajahnya. Komarudin pernah mendapat piagam penghargaan dari kepala sekolah karena dedikasinya membuat kelas itu sangat tertib dan disisplin.
Ketika bell penanda ujian hari pertama telah selesai berbunyi, para siswa berhamburan keluar ruangan. Wajah mereka tampak kegirangan. Julio, Firdaus, Arman saling berpandangan. Mereka berlari sambil melompat. Keceriaan menyelinap di antara tiga sekawan itu. Berbeda dengan Fatma. Siswi asal Yogya masih mengurung diri di dalam ruang kelas. Kakinya serasa enggan menuntunnya keluar. Gadis berambut panjang berkulit sawo matang itu memilih bertahan di dalam kelas. Kedua tangannya menopang dagu. Iwan teman sebangkunya mencoba membujuk Fatma agar segera pulang namun Fatma tetap saja tak tertarik.
Raut wajahnya memerah laksana buah delima yang sedang ranum di pagi hari. Tak lama kemudian butiran bening membela kedua pipinya. Entah apa yang bergelayut pikirannya. Fatma yang suka menulis puisi dan cerpen, tampak tak bergairah.
“Maafkan aku Wan. Aku tak bisa menyelesaikan ujian dengan baik. Laptopku eror. Semua soal ujian kubiarkan berserakan bersama perasaanku,”kata Fatma.
Matahari di atas ubun-ubun. Sengatannya garang membakar kulit. Fatma harus segera pulang. Ia tidak peduli pada laptop yang membuat dirinya seakan berpasrah pada nasib. “Persetan dengan hasil ujian,”ujarnya lirih sambil menguatkan perasaannya. Baginya hidup tidak hanya ditentukan oleh nilai yang tertera di atas selembar kertas.
Diiringi angin senja, Fatma kembali pulang menjemput fajar dengan hati yang bersayap dari perasaan galau yang hampir saja menenggelamkan impiannya.