Cerpen : Parno

Cerpen : Parno Oleh Hendrika LW_zonanusantara.com
Ilustrasi

 

Oleh Hendrika LW

Read More

Siang nan amat terik. Tak segan ia menyengat tubuh kurus berbalut rompi oranye, yang telah kusut pula. Parno, pria paruh baya itu bermandi keringat.

Kendati demikian, karyawan PT KAI kota Malang itu tak pernah mengeluh. Baginya, menjaga perlintasan tanpa palang pintu adalah amanah. Menyelamatkan orang dari ancaman maut.

“Berhenti!” teriaknya setiap kali ada orang yang nekat.

Suara pria berambut putih itu terdengar lirih. Peluit dan bendera kuning, membantunya memberi tanda kepada mereka. Kadang Parno sangat kesal.

Ketika orang tak mau menghiraukan aba-abanya. Padahal ia berusaha melindungi nyawa mereka.

“Berhenti. Berhenti. Stooooop!” hingga suaranya parau

Perempuan itu tetap melajukan motornya. Braakkk! Tak bisa dihindari. Ia terseret puluhan meter.

Nyawa perempuan yang terbilang ‘ngeyel’ itu seketika terlepas dari raganya. Kejadian seperti itu bukan hanya sekali.

“Ya, Tuhan. Aku sudah berusaha memperingatkan, tapi kecelakaan ini terulang lagi.”

Ia mendesah. Berbagai penyesalan menumpuk dalam ruang hening. Terburai dalam kesedihan di antara pendarasan doanya.

Lima puluh tahun, ia menjadi abdi palang kereta. Berangkat sebelum subuh, dan pulang setelah senja merayap ke peraduan.

Ya, demi anak istri. Demi asap dapur agar tetap mengepul. Ia menjalani pekerjaan dengan senang hati.

Sore itu, Parno merasa sangat lelah. Rasa kantuk tak dapat diusirnya, sekali pun dua gelas kopi panas sudah diteguk. Ia lantas duduk di bangku pos bercat abu-abu, yang sudah waktunya direnovasi.

Dalam hitungan menit ia tertidur pulas. Seorang perempuan cantik menepuk bahunya perlahan.

“Bangun Pak, sudah waktunya pulang.”

Parno kaget bukan kepalang. Perempuan itu yang mengalami kecelakaan tujuh hari lalu.

Baca Juga :  Gaji 13, Pemkab Malang Siapkan Rp 60 M

Related posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *