Oleh : Yosef Naiobe
Sudah kualami perih karena keterbatasan. Kecewa bagiku hanya hidangan anggur pahit. Pemahat menjadikan diriku bagai lukisan tak sempurna. Namun semua belum seberapa. Hanya satu derita yang paling menyiksa, jatuh cinta.
Namaku Sarah. Singkat dan mudah disapa, juga mudah diingat. Tapi perjalanan hidup dengan segala atribut yang kusandang tak sependek namaku! Hari-hariku seperti memandang langit biru tak berbingkai, lentur oleh gugusan awan kelabu.
Sang pemahat menjadikan hidupku bagai lukisan yang tak selesai. Nasibku seperti matahari jatuh menjadi bayangan kelam. Aku hanya berpayung pada langit biru. Menjadikan kursi roda sebagai bumi tempat berpijak dan bersandar.
Tak bisa beranjak sejengkal pun tanpa bantuan ibu. Dalam hidupku, ibu adalah malaikat penolong yang menuntun. Kapan pun kuminta, bahkan tak perlu meminta, pertolongan itu akan datang. Bukankah cinta seorang ibu adalah hujan tanpa jeda?
Di penghujung tahun. Hari – hari selanjutnya menjadi cakrawala tempat memintal benang perasaan. Keterbatasan yang kusandang membuat diriku sensitif terhadap lingkungan. Akuo sendiri tak memahami misteri amarah yang membakar jiwa. Pertanyaan- pertanyaan itu berkejar kejaran di benak tapi tak pernah mencapai finish.
Sekumpulan anak- anak itu adalah bayanganku sendiri. Di kejauhan keceriaan itu mampir di telingaku. Tawa mereka pun pecah berderai. Riska, Ahmad, Firli dan Gideon yang bermain di halaman sekolah dengan wajah demikian sempurna. Kala itu langit baru saja menurunkan hujan. Jalanan berlinang basah, dan berlumpur. Mereka berlarian berkejaran sambil menjatuhkan badan dalam rinai hujan penuh lumpur.
Masa kanak-kanak penuh ceria. Sedangkan aku? Hari hariku adalah hembusan angin yang menyapu kala lamunan mencapai ubun-ubun dan nyaris tenggelam dalam jurang keputusasaan.
“Ayo Sarah semangat,” teriak Riska mengagetkan. Riska yang kini duduk di bangku SMP, seumuran denganku. Sore itu, ia sengaja menyambangi rumahku. Sambil menyelipkan sebuah bungkusan Riska duduk di depanku.
Ia terus saja berceloteh tanpa dikomando, dan sulit dihentikan. Riska bercerita tentang sekolahnya, tentang gurunya tentang ujiannya, tentang cita cita.
Aku hanya tertegun mendengar ocehannya yang lincah. Ia pandai merangkai kata-kata. Kadang ia menyelipkan kata-kata lucu. Ia memancing agar aku bisa ngakak. Ia terus saja bercerita dan aku lagi-lagi sebagai pendengar setia, sesekali aku tersenyum melihat tingkah Riska.
Riska memberikan dorongan dan semangat agar aku tidak larut dalam gelisah memikirkan takdir. Ia ikut bahagia ketika aku tertawa renyah mendengar candaan Riska. Itu pertama kali aku mendengar Riska yang cengeng itu pandai melucu.
“Kamu lucu deh,” aku menyela.
Ketika butiran mengkristal jatuh dari kelopak mataku, Riska menyekanya dengan lembut.
“Kau harus bisa Sarah,” Riska seperti menyuntikkan vitamin berdosis tinggi.
Kata-kata itu laksana matahari yang membakar sekujur tubuh yang lunglai. Mawar yang mengeringkan tetes air mata. Film layar lebar penuh drama meski aku tak pernah memerankan film itu.
Perlahan aku mulai menyelidik. Aku bisa menemukan keceriaan pada diri Riska. Semangat hidupnya, tingkah laku penuh canda. Sosok Riska adalah cermin kehidupan. Aku bisa melihat rupaku yang rapuh.
Dan, pertemuan dengan Riska, hanya kenangan yang menggantung di atas langit.
Sedangkan aku?
Jika berjalan saja rumit. Pada akhirnya siapa yang menampik keterbatasan yang melekat pada diriku? Aku harus realistis menerima semuanya sebagai anugerah. Bahwa semua ini bukan karena bunda salah mengandung. Di atas kursi roda, aku bertumpu, merajut hari – hari. Menyulam harapan. Mengasah syukurku pada sang Ilahi.
Kehidupan ku seperti awan mendung. Namun dengan sederet keterbatasan aku pun mengharapkan pelangi. Malam bagiku adalah taburan mimpi-mimpi. Pada saat hari berangkat pagi, hawa semilir langsung menyerbu masuk.
Ketika senja menyeruak. Alam pun terhempas. Tak berdaya diterjang pekatnya malam. Gideon menyusupkan mimpi dalam hawa malam. Ya Gideon seperti Riska. Karib yang menerima keadaanku apa adanya.
Kehadirannya, mengalirkan irama kehidupan di setiap sel tubuhku menjadi napas dan denyut nadiku.
“Gideon, kaulah bintang yang memecah malam. Gelombang yang mengisi pantai,” aku mendesah.
Halilintar malam ini mengirim pencahayaan di pekatnya malam. Di balik tirai, Gideon seperti pijaran cahaya yang ikut menyorot tubuhku yang lunglai di pembaringan berpeluk mimpi-mimpi. Tak kusadari setetes demi setetes, butiran bening itu jatuh membelah dua pipiku. Mengalir seperti gerimis malam yang tak kenal jedah. Hmm.
Ketika fajar menerbos jendela, malam buru- buru meninggalkan tangisku yang masih bersendu. Mungkinkan Gideon adalah fajarku?
The And.
.