Oleh : Yosef N.
“Tersenyumlah, kau lebih dari pantas untuk bahagia”
Hari hariku seperti dedaunan yang ditetesi gerimis. Sungguh sangat menyejukkan. Perasaanku dilumpuhkan oleh kerinduan yang mendalam terhadap sosok yang bernama Aryati. Namanya sesingkat itu. Konon nama Aryati disematkan oleh neneknya, saat pertama kali Aryati menyentuh bumi sebagai seorang bayi mungil.
Entah apa arti nama itu, aku tidak pernah tahu. Jangankan aku. Pemilik nama itu sendiri juga tidak pernah tahu. Apalagi sang nenek yang menempelkan nama Aryati pada cucu perempuan pertamanya itu pun sudah lama tiada. Ia telah pergi ke alam Nirwana saat Aryati baru belajar merangkak. Tinggallah, Aryati hanyalah sebatas sebuah nama tanpa makna. Tentang arti sebuah nama, aku teringat Shakespeare, seorang Sastrawan terbesar di Inggris, yang pernah melukiskannya sebagai berikut; That which we call a rose by any other name would smell as sweet.” Andaikata kamu memberikan nama lain untuk bunga mawar, ia tetap akan berbau wangi).
Sejak masih duduk bangku SMA, kata-kata puitis dari pesohor asal negri Ratu Elizabeth itu aku hafal luar kepala. Sebagai anak Sastra, aku mengidolakan Shakespeare. Anganku, kelak harus jadi penyair atau penulis sastra. Itu mimpiku. Suatu waktu ibu Elinora marah besar padaku. Tanpa sengaja, aku menuliskan nama Shakespeare dalam lembaran kertas ulangan. Guru bahasa Jawa Kuno itu menyuruh aku menghadap setelah ulangan selesai. “Twins, sebentar menghadap ibu di ruang guru,” pinta ibu Elinora sambil bergegas pergi meninggalkan ruang kelas.
Suasana di kelasku mendadak riuh oleh teriakan bernada ejekan dari murid-murid yang lain. “Twins sebentar menghadap ibu,” teriak Fandi menirukan perintah ibu Elinora.
Aku menatap langit-langit kosong. Serasa tak ada denyut kehidupan. Sambil menggigit ujung pena seraya memainkan jari jari yang lain seperti sedang memainkan harmoni waktu. Relung hatiku hening. Membayangkan sanksi dari ibu guru yang terkenal galak dan jarang tersenyum. Setiap pagi masuk kelas, guru asal kota Tarukan itu, tidak pernah sekali pun merespon ketika di sapa murid-murid. Jangankan menjawab. Menoleh pun tidak. Ekspresi wajahnya tawar. Lonceng berdering. Isyarat jam istirahat. Murid-murid berhamburan keluar. Ada yang berlari sambil berjingkrak kegirangan. Toni, Hengky dan Armando menyambut jam istrahat penuh sukacita, seolah sedang merayakan hari kemenangan lepas dari penjajahan.
Sementara aku dengan langkah berat berjalan menuju ruangan ibu Elinora. “Silakan masuk,”. Suara itu terdengar agak tegas. Ibu Elinora sudah tahu bila yang mengetuk pintu itu aku.
Hari itu aku seperti seorang terdakwa yang sedang menunggu vonis majelis hakim. Dada berdebar. “Twins kenapa kamu menuliskan nama Shakespeare dalam lembaran ulangan, dan bukan namamu, Ayo jawab,”.
Pertanyaan datang bertubi-tubi, tanpa memberikan kesempatan untuk aku menjawab. Mulutku seperti digembok.
Ibu Elinora telah merampas keceriaanku. Merenggut kemerdekaanku tidak menikmati jam istirahat. “Ah sialan. Mimpi apa semalam,”aku mengumpat, menyesali diri.
“Hai kakak Twins. Ke mana aja Lo,”kata Aryati membuyarkan lamunan. Aryati selalu hadir di saat perasaan sedang galau. Tanpa banyak bicara, Aryati
memohon agar aku tidak mematikan handphone. Ia gusar. Tidak bisa menghubungi ponselku. Memang sengaja aku mematikan handphone, sebagai balas dendam. Aryati pun kadang susah dikontak. “Awas lho. Kalau menghilang tak cari, sampai ke kampung,”Aryani mengancam namun aku tahu ia takut kehilangan.
Bagiku, Aryati adalah pesona malam yang menghadirkan mimpi mimpi indah. Aku mengenalnya di sebuah toko buku ternama yang berlokasi di kawasan heritage. Entah siapa yang memulai namun yang jelas ia adalah my first love. Api cinta yang tersulut di antara kami terus berkobar.
Kini, delapan tahun berjalan. Bila dikalkulasikan berdasarkan rumusan matematik, delapan tahun merupakan bentangan waktu yang sangat lama dan amat panjang. Terus bergerak, berevolusi dari detik, ke menit lalu jam. Bergeser dari hitungan hari, bulan hingga tahun. Satu tahun membutuhkan 365 hari. Bila delapan atau 10 tahun? Itulah rotasi waktu yang aku jalani bersama Aryati. Gadis berkulit sawo matang itu, memiliki daya tarik luar biasa. Sorot matanya seperti panah yang melesat dari busurnya. Cengkraman jiwanya lebih dasyat melebihi cakaran burung elang.
Aryati…! Kau bagaikan angin berdesir dan awan yang berarak melintasi alam imajiku. Setiap malam fantasiku liar menembusi lapisan oson, hingga fajar merekah. Semoga kuncup yang tertanam delapan tahun silam kian bersemi, tanpa jedah waktu sedikit pun. Bukankah kita telah merengkuh anggur dari gelas yang sama?
***
Makassar, kota Anging Mamiri, 16 April 2024.