Cerpen : Cemara

20230805 203010 scaled - Zonanusantara.com
Lukisan Hendrika LW

Oleh Hendrika LW

Saat cemara menari di antara senja, kau berlalu begitu saja. Bersama angin di atas bukit, menyapu rasa yang telah menyatu dalam debu dan luka.

Tak pernah kubayangkan sebelumnya, pertemuan itu kemudian menggiringku lebih dekat dengan Bram. Cowok melankolis yang telah membuat hatiku porak poranda.

Saat itu, entah kenapa. Aku benar-benar jatuh hati pada Bram. Pembawaannya yang kalem dan penuh perhatian, membubungkan anganku ke awan.

Read More

“Shin, aku suka kamu.”

Aku pura-pura tak mendengarnya. Padahal jantungku berdegup tak karuan. Tangan kiri Bram makin erat menggenggam jemariku. Mengusap lembut hingga menggetarkan perasaanku, yang mati suri.

Baca Juga :  Nama Petrus Palbeno Menggelinding di Kalangan Alumni Seminari Lalian

Pikiranku semakin tak menentu. Antara ragu dan yakin. Sementara Alphard hitam terus melaju menyusuri bukit. Mengitari cemara yang berbaris rapi di tepian hutan pinus.

“Boleh kan aku mencintaimu? Beri sedikit saja ruang hatimu untukku, tak apa.” Tatapan Bram membuatku terkulai.

Aku tak mampu berkata apa-apa. Mengangguk pun tidak. Meski sebenarnya hatiku berkata, iya. Tapi aku tak ingin lagi terluka.

Malam merambat perlahan. Jam 21.00. Tak terasa empat jam aku bersama Bram. Dua gelas coklat panas pun kandas, tak tersisa.

“Bram, yuk pulang.” Ajakku walau sebenarnya aku masih betah di sini.

Berat hati Bram bangkit dari kursinya. Kemudian menggandengku menuruni tangga kafe hingga pelataran. Hmmm, seindah ini perasaanku pada Bram. Romatik.

Baca Juga :  Puisi : Rok cantik

Hari ini Bram telah menghiasi hatiku, dengan bunga-bunga yang tadi dipetiknya di bawah cemara.

Sungguhkah ini? Antara mimpi dan realita. Aku masih tak percaya.

Ternyata keraguanku nyata. Kisah hari ini lenyap. Entah apa maksudnya. Bram menghilang begitu saja, seperti siluet ditelan kegelapan malam.

Dua tahun kemudian.

‘Shin, maafkan aku. Aku masih mencintaimu. Aku ingin kembali bersamamu, seperti dulu.”

Sekali pun kenangan itu masih terngiang-ngiang, aku tak ingin lagi memikirkannya.

“Maaf, Bram. Bukankah kamu sudah membawa hatiku waktu itu, dan melemparkannya jauh entah ke mana.”

Cemara-cemara itu tak ingin lagi mencatat kisah kelabu. Sekali pun mungkin kelabu akan memudar seiring waktu.

 

Related posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *