JAKARTA – Status Manggarai Timur (Matim) sebagai salah satu kabupaten dengan label miskin ekstrim di NTT memang mengejutkan. Selain Matim daerah dengan label yang sama adalah kabupaten Sumba Timur, Sumba Tengah, Rote Ndao dan Timor Tengah Selatan (TTS). Matim adalah satu-satunya kabupaten yang berpredikat miskin ekstrim dari 9 kabupaten di Flores dan Lembata.
Indikator kemiskinan ekstrim adalah pendapatan per kapita masyarakat yang masih rendah, masih banyak rumah tidak layak huni, ketersediaan air minum bersih yang tidak memadai. Selain itu sanitasi lingkungan yang buruk, akses listrik dan tingkat pendidikan kepala rumah tangga yang masih rendah turut menempatkan Matim sebagai kabupaten miskin ekstrim.
Citra keterbelakangan dan kemiskinan ekstrim Manggarai Timur semakin kentara pada insfrastruktur sosial dasar yang tidak memadai. Infrastruktur jalan dan jembatan yang merupakan urat nadi perekonomian masyarakat di sejumlah wilayah seperti Elar, Ranamese, Kota Komba, Lambaleda dan sebagainya rusak parah dan sulit dilalui kendaraan, apalagi pada musim hujan. Jalan aspal yang dibangun tidak bertahan lama, karena kualitasnya jauh dari memadai.
Potret buram kabupaten Matim tersebut memang mengundang tanya dari berbagai kalangan, tak terkecuali Damianus Ambur, SE, tokoh diaspora Manggarai Timur di
Jabodetabek. What went wrong (apa yang salah)? Apa yang dilakukan Pemda Matim (Bupati dan DPRD) selama ini?
Dalam percakapan dengan zonanusantara, Ketua Ikatan Keluarga Manggarai Bekasi (Ikamasi) tersebut mengatakan, bahwa dari aspek potensi daerah, Matim sebenarnya termasuk daerah yang sangat potensial. Sejak lama daerah ini dikenal sebagai penghasil “emas hijau” seperti kopi, fanili, kakao, kemiri dan sebagainya. Belum lagi hasil pertanian, peternakan dan kelautan yang lebih unggul dibandingkan dengan daerah-daerah lainnya di Flores.
“Ironisnya, potensi-potensi daerah yang menjanjikan itu sama sekali tidak berdampak bagi kehidupan masyarakat Manggarai Timur. Rakyat makin susah. Untuk makan sekali sehari saja terasa sulit, apalagi dengan kelangkaan beras dan kebutuhan-kebutuhan pokok lainnya seperti saat ini,” ujar Dami dengan wajah sedih.
Kesulitan dan tekanan hidup yang kian melilit, lanjut Dami, memaksa sebagian orang Manggarai Timur meninggalkan keluarga dan kampung halamannya. Dengan keterampilan seadanya mereka mengadu nasib di daerah impian (dream land) seperti Malaysia, Kalimantan, Papua, Jawa dan daerah lainnya.
Eksodus para pekerja produktif dari Manggarai Timur menimbulkan persoalan sosial yang sangat kompleks, baik bagi keluarga yang ditinggalkan maupun bagi para perantau. Menurut Gabriel Sola Goa, Koordinator Padma Indonesia yang konsern dengan pekerja migran, Manggarai Timur merupakan salah satu gudang human trafficking (perdagangan manusia). Mereka tidak saja dieksploitasi secara tidak manusiawi di daerah rantau, tetapi juga tidak sedikit yang disekap, dianiaya dan bahkan kehilangan nyawa. Impian untuk mengubah nasib di daerah impian justru mengalami nasib tragis.
Eksodus para pekerja produktif juga berdampak pada menurunnya produktivitas pertanian dan perkebunan. Hampir semua kebutuhan pokok didatangkan dari luar daerah, termasuk sayur dan buah-buahan dari Ngada. Padahal Manggarai Timur termasuk daerah paling subur dengan curah hujan yang cukup di NTT.
“Orang-orang muda saat ini tidak tertarik dengan pertanian. Ini masalah besar untuk jangka panjang. Budaya “gejur” dan kerja keras (tela toni dempul wuku) hanya cerita masa lalu. Banyak lahan tidur yang tidak dikelola dan kemudian menjadi lahan mati. Yang aktif jadi petani adalah generasi tua yang sebenarnya sudah tidak produktif,” kata Dami.
Monoton
Manggarai Timur menjadi kabupaten Otonom setelah mekar dari kabupaten induk Manggarai pada 2007 lalu. Namun soal usia bukan menjadi alasan pemaaf atas starus miskin ekstrim. Sebab Nageko yang juga mekar 2007 lalu tidak termasuk kabupaten dengan predikat miskin ekstrim.
Pembangunan terencana di kabupaten Manggarai Timur dimulai ketika terbentuk pemerintahan definitif pada tahun 2009 melalui proses Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) secara langsung oleh seluruh rakyat Manggarai Timur pada penghujung tahun 2008. Pasangan Drs. Yoseph Tote, Msi dan Agas Andreas, SH, M.Hum atau yang populer dengan akronim YOGA terpilih sebagai Bupati dan Wakil Bupati perdana Manggarai Timur periode 2009 – 2014 dan terpilih kembali pada periode kedua 2014-2019.
Agas Andreas tidak puas hanya sebagai wakil bupati selama dua periode. Pilkada 2019 Agas Andreas yang berpasangan dengan Drs. Jaghur Stefanus keluar sebagai pemenang untuk memimpin Manggarai Timur hingga 2024. Dengan demikian usia kepemimpinan Agas Andreas hampir seusia dengan keberadaan Manggarai Timur sebagai daerah otonom.
Sayang, ambisi kekuasaan Agas Andreas tidak linear dengan jejak yang ditinggalkannya. Impian untuk membawa daerah dan masyarakat Manggarai Timur maju dan sejahtera melalui jargon pembangunan yang terkesan beraroma kearifan lokal (local wisdom), “MATIM SEBER” (Manggarai Tumur yang Sejahtera, Berdaya dan Berbudaya) justru mengantar Manggarai Timur menjadi kabupaten miskin ekstrim. Bukan hanya itu, label miskin ekstrim itu melengkapi keputusan kontrovesial Agas Andreas dan DPRD Matim yang menyerahkan sebagian besar wilayah ke Ngada di awal kekuasaannya sebagai Bupati Matim pada 2019 lalu.
Dami mengatakan, potret buram wajah Manggarai Timur dengan label kabupaten ekstrim tidak terlepas dari pendekatan pembangunan yang monoton. Pemda Manggarai Timur kehilangan kreativitas dan fokus untuk membangun daerah dan masyarakat Manggarai Timur. Program dan kegiatan pembangunan dilakukan sebagai rutinitas atau business as usual. Tidak ada terobosan yang berarti, bahkan setelah dilabel sebagai kabupaten miskin ekstrim sejak 2020 lalu.
“Secara kuantitatif, gebrakan yang dilakukan Yoseph Tote dan Agas Andreas selama 10 tahun dan kini Agas Andreas masih memimpin minim terobosan. Tidak tampak ada peningkatan dari beberapa indikator yang menyebabkan Manggarai Timur menyandang predikat miskin ektrim. Secara kualitatif, pembangunan infrastruktur dasar jauh dari harapan. Jalan-jalan aspal yang dibangun tidak bertahan lama. Demikian juga dengan bantuan alat tangkap ikan seperti perahu motor dan alat tangkap lain. Cepat rusak dan sampah di pesisir laut atau muara,” papar Dami.
Menurut Dami, apabila Manggarai Timur ingin eksis sebagai sebuah daerah otonom yang bermartabat dan sejajar dengan daerah otonom lainnya di negeri ini, setidaknya menghapus stigma miskin ekstrim itu, maka perubahan harus menjadi agenda utama dalam menata tata kelolah pemerintahan dan program pembangunan di Manggarai Timur ke depan. Perubahan itu harus datang dari rakyat Manggarai Timur sendiri, terutama kaum muda, bukan dari elit pemerintahan dan legislatif.
“Perubahan itu bukan suatu yang “given” atau turun dari langit, tetapi perlu diperjuangkan. Perjuangan untuk perubahan harus diawali dengan kesadaran rakyat Manggarai Timur, terutama generasi muda sebagai pelopor perubahan, agar cerdas dalam memilih sosok pemimpin, baik sebagai bupati/wakil bupati dan anggota legislatif,´ujar Dami.
Dami berharap dalam Pilkada dan Pileg langsung 2024 akan muncul pemimpin dan anggota-anggota legislatif baru yang memiliki kepekaan terhadap penderitaan rakyat dan potret buram kabuten Manggarai Timur. Kecerdasan rakyat memilih pemimpin baru yang teruji akan membawa harapan akan adanya perubahan bagi daerah dan masyarakat Manggarai Timur ke depan.
“Pilih pemimpin atau anggota legislatif bukan karena ikatan keluarga, faktor kedekatan, apalagi karena politik uang (money politics), tetapi berdasarkan rekam jejak (track record), kompetensi dan integritas moralnya. Pemimpin yang memiliki rekam jejak, kompetensi dan integritas moral yang baik biasanya dapat diandalkan untuk menggelorakan perubahan ke arah yang lebih baik,” harap Dami.