Jakarta – Dalam sepekan terakhir konflik pembebasan lahan untuk pembangunan kawasan Rempang Eco City menjadi sorotan publik. Diperkirakan lebih dari 1.800 warga di dua kelurahan akan direlokasi.
Konflik terbuka antara masyarakat setempat yang tergabung dalam peguyuban Kerabat Masyarakat Adat Tempatan (KERAMAT) berawal ketika BP Batam yang didukung TNI-Polri dan Satpol PP melakukan pengukuran lahan yang akan dibebaskan. Masyarakat melakukan perlawanan karena belum ada kesepakatan bersama. Bentrok terbuka tak terhindarkan.
Masyarakat setempat melakukan aksi damai 2 kali di kantor BP Batam, memprotes sikap arogansi dan pendekatan keamanan untuk pembebasan lahan. Kemarahan masyarakat kembali dipicu setelah Kapolri dan Menkopolhukam membuat pernyataan yang tidak populis dan hanya membela kepentingan BP Batam dan investor. Aksi damai Selasa (12/9) berakhir rusuh. Kantor BP Batam dilempari batu. Sejumlah aparat dan peserta aksi damai luka-luka dan ada yang harus dirawat intensif. Sekitar 43 orang ditahan polisi.
Setelah dua kali aksi dama berakhir rusuh, BP. Batam merelease tentang sebuah perubahan sikap yang drastis untuk berdialog dengan warga Pulau pulau Rempang. BP Batam memilih jalur dialog sebagai solusi penyelesaian konflik lahan dengan masyarakat pulau Rempang.
Menurut Petrus Selestinus, SH, kuasa hukum masyarakat adat setempat yang tergabung dalam peguyuban KERABAT MASYARAKAT ADAT TEMPATAN (KERAMAT) menyambut baik tawaran dialog dari BP Batam. Ajakan dialog pasca ketegangan itu, lanjut Petrus, semoga menjadi khabar baik bagi warga Pulau Rempang.
Selama ini dialog atau musyawarah merupakan harapan warga Pulau Rempang. Tapi harapan itu tidak terwujud karena arogansi BP Batam yang terkesan menggunakan pendekatan kekuasaan.
“Dialog atau musyawarah itu adalah kearifan lokal (local wisdom) masyarakat kita dan ciri masyarakat Pancasila yang diejahwentakan dalam berbagai Peraturan Perundang-undangan menjadi mekanisme yang wajib hukumnya untuk dilalui dalam setiap pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum,” ujar Petrus yang juga Koordinator TPDI dan Advokat Perekat Nusantara.
Petrus berharap, tawaran dialog itu menjadi wujud penghormatan terhadap hak-hak atas tanah dan kesatuan masyarakat hukum adat Pulau Rempang dan hak-hak tradisionalnya. Karena itu dialog harus dilaksanakan secara bermartabat dimana ada kesetaraan dan saling menghormati diantara para puhak yang berkonflik. Dalam dialog tidak boleh ada kekuatan penekan. Juga tidak boleh menyinggung perasaan warga Pulau Rempang yang sudah sangat terpukul akibat perilaku Kepala BP. Batam dan pernyataan tidak populis Kapolri dan Menkopolhukam belum lama ini.
*Hal yang Perlu Diperhatikan*
Menurut Petrus ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam forum Akomodasi untuk dialog musyawarah, yaitu:
1. Pemerintah harus siap diri untuk duduk bersama-sama warga masyarakat Pulau Rempang dalam kesetaraan dan harus saling mendengarkan saat dialog berlangsung.
2. Karena konflik antara Warga Pulau Rempang dengan BP. Batam ini sudah terlalu dalam, maka dialog nanti sebaiknya di mediasi oleh Gubernur Provinsi Kepri dan Komnas HAM sebagai pihak yang kompeten dan netral, guna menghindari ketegangan yang terjadi dalam dialog ketika warga berhadapan dengan BP. Batam.
3. BP. Batam tidak boleh memaksakan kehendak terutama opsi relokasi, karena relokasi ini adalah keputusan sepihak BP. Batam yang sudah lama ditawarkan sepihak dan ditolak warga Rempang.
4. Harus ada tawaran baru tetapi tetap penuhi tuntutan warga soal ketetapan untuk mempertahankan kesatuan masyarakat hukum adat dan hak-hak tradisionalnya, berikut tanah dan bangunan serta tumbuhan dengan luas lahan warisan nenek moyang yang bisa dimusyawarahkan.
5. Karena tawarannya adalah dialog dan musyawarah secara terbuka, maka sebaiknya antara BP. Batam dengan warga Pulau Rempang harus sepakati terlebih dahulu soal aturan main dan mekanisme di dalam dialog nanti, satu dan lain guna menghindari deadlock berkepanjangan.
Petrus berharap warga Pulau Rempang tetap berhati dingin pasca gontok-gontokan agar dalam menentukan aturan main tidak boleh terjadi hambatan terutama soal mekanisme dalam memgambil.langkah-langkah akomodatif untuk musaywarah atau dialog.