BONE–International Center for Research in Agroforestry (ICRAF) bersama dengan Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Kabupaten Bone mengadakan lokakarya yang bertujuan untuk meningkatkan kapasitas dan pengarusutamaan kurikulum pangan lokal, Selasa, 6 Februari 2024
Muhammad Syahrir, Koordinator ICRAF Sulsel mengungkapkan telah menyelesaikan survei penting terkait pangan lokal di Kabupaten Bone. Hasil survei menunjukkan bahwa kebutuhan akan kurikulum pangan lokal sangatlah mendesak. Dalam upaya memenuhi kebutuhan tersebut, rencananya kurikulum ini akan diluncurkan tahun ini.
“Kami sangat percaya bahwa kurikulum pangan lokal dapat menjadi inovasi yang sangat penting di bidang pendidikan. Kami berharap agar kurikulum ini dapat diimplementasikan di sekolah-sekolah, dan kami juga sangat mendukung inisiatif untuk menyertakan materi pangan lokal dalam kurikulum yang disusun oleh Dinas Pendidikan,” ungkapnya.
Kurikulum ini dirancang untuk memberikan pemahaman yang lebih mendalam tentang beragam jenis pangan lokal yang ada di Kabupaten Bone, serta mengapresiasi keanekaragaman sumber daya alam yang dimilikinya. Dengan inklusi pangan lokal dalam kurikulum pendidikan, diharapkan generasi muda dapat lebih menghargai warisan budaya lokal dan memiliki pemahaman yang lebih baik tentang pentingnya keberlanjutan pangan.
Rencananya, kurikulum ini akan menitikberatkan pada aspek-aspek spesifik dari pangan lokal, sehingga siswa dapat belajar secara langsung tentang proses produksi, nilai gizi, dan manfaat lainnya yang terkandung di dalamnya.
Diharapkan, peluncuran kurikulum ini akan menjadi langkah awal yang signifikan dalam mendukung pemenuhan kebutuhan akan pendidikan pangan lokal di Kabupaten Bone, serta memperkuat hubungan antara pendidikan dan keberlanjutan pangan di tingkat lokal.
Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Bone, Dr. Ade Fariq Ashar SSTP MSi, mengungkapkan rencana ambisius dalam upaya meningkatkan kualitas pendidikan dan ketahanan pangan di daerah tersebut.
Dr. Ade Fariq Ashar menjelaskan bahwa 12 lokus desa telah dipilih sebagai sasaran Program ICRAF (International Centre for Research in Agroforestry).
“Dunia pendidikan berkontribusi besar dalam mencetak generasi yang mampu menghadapi tantangan ketahanan pangan,” ungkapnya. “Kami bertekad untuk menyentuh sektor ini secara langsung,” tambahnya.
Mengenai rencana konkretnya, Dr. Ade Fariq Ashar mengungkapkan pentingnya memanfaatkan pekarangan sekolah sebagai lahan produktif. “Kami menyadari bahwa kurikulum di tingkat SD dan SMP telah diatur secara ketat oleh peraturan menteri. Namun, kami berupaya mencari celah untuk meningkatkan kapasitas pemanfaatan pekarangan sekolah,” katanya.
Lebih lanjut, dia menjelaskan bahwa sambil belajar, para siswa juga akan dididik untuk mengenal pangan lokal yang menjadi ciri khas setempat. Contohnya, di Ulaweng Sukung dan Pallime, dengan kekayaan kepitingnya. “Kami yakin bahwa dengan memanfaatkan potensi lokal ini, kami dapat menciptakan pendidikan yang lebih berdampak dan relevan bagi siswa,” tambahnya.
Namun, tantangan tidak hanya datang dari aspek pendidikan. Dr. Ade Fariq Ashar juga mengungkapkan keprihatinannya terhadap penurunan tingkat produksi beras di Bone akibat fenomena El Niño dan peningkatan suhu di permukaan laut.
Dr. Ade Fariq Ashar menegaskan bahwa investasi dalam bidang pendidikan bukan hanya investasi jangka pendek, namun juga jangka panjang. “Kami yakin bahwa dengan upaya yang terintegrasi dan kolaboratif, kami dapat menciptakan masa depan yang lebih berkelanjutan bagi Bone,” pungkasnya.
Sekretaris Dinas Pendidikan Kabupaten Bone, Drs. Nursalam, MPd, mengatakan untuk mempersiapkan kurikulum mata pelajaran lokal yang akan mengarahkan siswa pada pemahaman dan kesiapan menghadapi tantangan pangan dalam situasi iklim ekstrim.
Menurut Nursalam, anak-anak akan dibekali dengan pengetahuan yang relevan dengan kondisi pangan saat ini. “Kami ingin agar siswa-siswa kami tidak hanya terampil dalam menghadapi situasi normal, tetapi juga siap menghadapi tantangan yang mungkin timbul akibat perubahan iklim,” ujarnya.
Para guru yang terlatih dalam penyusunan kurikulum akan diajak untuk memberikan kontribusi dalam penyampaiannya. Nursalam berharap agar proses ini berjalan lancar dan efektif. Rencananya, kurikulum ini akan diujicobakan mulai bulan Juli pada beberapa sekolah, dan akan dilakukan evaluasi untuk memastikan keefektifannya sebelum diterapkan secara luas.
Lebih lanjut, Nursalam menyebut bahwa upaya ini sejalan dengan program pendidikan kecakapan hidup yang sudah dilakukan bersama UNICEF. Jika berhasil, kurikulum ini akan menjadi landasan untuk pengembangan kurikulum lokal lainnya di masa mendatang.
“Kurikulum Merdeka 2024 memberikan celah bagi kami untuk menciptakan inovasi,” tambahnya. “Sebanyak 70% pembelajaran akan dilakukan di dalam kelas, sementara 30% akan berbasis proyek. Pembelajaran tentang ketahanan pangan dapat diintegrasikan sebagai bagian dari pembelajaran proyek ini,” katanya.
Nursalam menegaskan bahwa kurikulum ini bertujuan untuk mencapai tujuan pendidikan yang telah ditetapkan, baik melalui pembelajaran di dalam kelas maupun di luar kelas, selama tetap berada dalam kerangka yang telah ditetapkan.
“Kami telah menyusun drafnya, dan akan segera melakukan uji coba pada bulan Januari tahun depan,” katanya. “Jika berhasil, kami akan mengajukan untuk disetujui oleh Kementerian Pendidikan, dan kami berharap bisa menjadi model yang dapat direplikasi oleh kabupaten lain,” tandasnya.
Salah satu inisiatif yang tengah dipersiapkan adalah pembuatan kebun percontohan di sekolah untuk mengajarkan siswa tentang pertanian yang sesuai dengan kondisi lingkungan setempat.
“Niat kami adalah untuk melegalkan ini, bahkan mungkin akan dimasukkan ke dalam sistem informasi pendidikan nasional kita,” tegas Nursalam. “Namun, hal ini tidak akan menghilangkan kurikulum lokal yang telah ada sebelumnya,” tuturnya.
Beta Lusiana, seorang peneliti dari ICRAF Bogor, mengungkapkan urgensi pengembangan kurikulum pangan lokal sebagai langkah strategis dalam menghadapi dampak perubahan iklim yang semakin nyata.
Beta Lusiana menyatakan bahwa perubahan iklim telah menjadi keniscayaan yang tidak bisa diabaikan, dan sebagian besar merupakan hasil dari aktivitas manusia.
Beta Lusiana mengungkapkan bahwa tahun 2023 menyaksikan peningkatan suhu musim kering yang berkepanjangan, yang berdampak pada cuaca ekstrem dan anomali, termasuk pola hujan yang tidak terduga. Dampak ini diprediksi akan memberikan tantangan serius bagi sektor pertanian, dengan potensi penurunan produksi yang signifikan.
Selain itu, meningkatnya hama dan penyakit tumbuhan sebagai akibat dari perubahan iklim menjadi isu kritis yang harus segera diatasi. Lusiana menekankan pentingnya adaptasi dan perubahan pola hidup dalam menghadapi tantangan ini.
Salah satu solusi yang diusulkan adalah memperkuat ketahanan pangan lokal. Dengan meningkatkan produksi dan aksesibilitas pangan lokal, masyarakat dapat mengurangi ketergantungan pada sistem pangan yang rentan terhadap perubahan cuaca. Lusiana mengungkapkan manfaat langsung dari praktik pertanian lokal, yang tidak hanya meminimalkan dampak transportasi terhadap lingkungan, tetapi juga memberikan keberlanjutan jangka panjang dalam pasokan pangan.
Lebih lanjut, Beta Lusiana menekankan pentingnya memperhatikan aspek gizi dalam pola makan. Dengan mengaitkan konsumsi pangan lokal dengan pola makan sehat, masyarakat dapat memperkuat ketahanan gizi mereka sambil mendukung pertanian lokal. (*)