Janji Politisi Itu Paradoksal

IMG 20200709 WA0004 - Zonanusantara.com

IMG 20200709 WA0004 - Zonanusantara.comOleh : Yosef Naiobe 

Hal janji. Begitu mudahnya diucapkan. Namun acapkali sulit dipraktekan. Banyak hal menarik dari sebuah janji. Salah satunya janji sepasang kekasih misalnya. Untuk memikat sukma, dibikinlah janji sehidup semati. Padahal dalam kenyataannya jarang mati sama – sama.

Saya merasa terusik dengan janji salah seorang bakal calon kepala daerah di suatu daerah, entah di mana.

Read More

Janji itu sederhana sekali. Kira -kira begini : Kalau nanti terpilih, rakyat terima kunci rumah. Entah dapat ilham dari mana, sang pemberi janji, begitu meyakinkan. Janji seperti ini bukan hal baru. Lumrah juga bagi seorang politisi. Untuk menarik simpati rakyat, modal utamanya ya berjanji.

Perkara akan dipenuhi atau tidak itu lain soal. Bagi politisi janji adalah modal utama untuk diumbar, selagi masih gratis.

Pembukaan UUD1945 menegaskan tentang tugas pemerintah. Mensejahterakan rakyat. Ini konstitusi. Hukum tertinggi di negeri ini. Pengingkaran terhadap konstitusi, adalah sebuah pengkhianatan. Konsekuensinya berat. Kehilangan legatimasi.

Dalam konteks membangun, demi terwujudnya kesejahteraan rakyat seorang pemimpin tidak perlu berjanji. Ini doktrin. Perintah konstitusi jelas. Eksekusi!

Kembali soal rakyat terima kunci rumah.
Uangnya dari mana? Pasti juga uang rakyat.
Sumbernya jelas. Pajak dan pinjaman Luar Negeri.

Tugas seorang kepala daerah termasuk Presiden ya kelola uang rakyat sesuai amanat konstitusi.

Janji seorang politisi acapkali parakdoksal. Janji lain bikinnya lain. Atau habis janji lupa. Menggoda tapi tidak seksi. Tidak sinkron dengan realitas jika sudah berhasil. Tak heran banyak suara sumbang.

Baca Juga :  SMA Seminari St. Rafael Oepoi-Kupang Buka Pendaftaran Siswa Baru

Sebelum terpilih mengumbar janji.
Setelah terpilih, jangankan penuhi janji.
Nomor kontak pun diganti. Susah dihubungi.
Perilaku politisi di negeri ini, belum pernah
menunjukan sebuah pengabdian. Mereka menjadikan politik itu lahan mengais dan bahkan peluang untuk menguras uang rakyat alias korupsi.

Tentang hal ini, tidak perlu bukti. Contoh sudah banyak. Banyak pemimpin di negeri ini mulai dari eksekutif hingga legislatif masuk penjara gegara korupsi uang rakyat. Loncatan status sosial yang tak terduga sebelumnya, menjadikan seorang politisi kadang gelap mata. Nabrak konstitusi. “maling” uang rakyat. Lupa diri. Lupa asal usul.

Fakta, mereka hidup lebih mewah.
Sebelum terpilih misalnya. Biasa biasa saja.
Bahkan maaf mungkin susah. Namun keadaan menjadi terbalik 180 derajat setelah sukses di ranah politik praktis. Entah menjadi anggota dewan atau kepala daerah.

Sebagai pemimpin mereka layak mendapat fasilitas negara. Yang menjadi soal, di saat rakyat masih susah, mereka mempertontonkan gaya hidup serba wah. Di luar batas kewajaran. Dalam hal hidup berkecukupan, negara juga tak melarang. Setiap warga negara boleh hidup mewah atau bahkan kaya raya. Akan tetapi untuk seorang pejabat negara ada takarannya. Melebihi volume yang ditakarkan patut diduga. Wajar karena sebagai figur publik (pejabat) negara ia digaji oleh negara menggunakan uang rakyat. Atas dasar ini asupan biaya operasional ada standardisasi.

Lalu siapa yang salah dalam konteks ini?
Rakyat bisa saja disebut pihak yang disalahkan. Memilih pemimpin tanpa memperhitungkan kwalitas sang pemimpin. Asal memilih. Celakanya lagi, jika memilih karena faktor X. Walahualam.

Baca Juga :  Pelantikan Bupati Malang Ditunda

Demokrasi kita adalah demokrasi kotak suara. Suara rakyat yang diimplementasikan dengan suara Tuhan, dicampakan dalam kotak yang diberi nama kotak suara pemilu, suara pemilihan kepala daerah (Pilkada) atau kotak suara pemilihan presiden (Pilpres).

Usai mencoblos, rakyat tak lagi memperhitungkan mahal murahnya suaranya yang diberikan melalui pesta demokrasi. Kalau pun suaranya kelak dikhianati, kekesalan itu ditumpahkan melalui aksi demonstrasi. Tidak lebih tidak kurang. Sebatas aksi unjuk rasa. Apalagi aksi itu tidak direspon dengan baik oleh wakil rakyat.

Termasuk misalnya soal program salah satu pasangan calon (paslon) bupati untuk membangun rumah bagi rakyat. Bagi saya ini hal biasa. Tidak menarik. Alasannya sederhana. Jika menggunakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) atau mungkin saja menggunakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tetap saja menggunakan uang milik rakyat.

Kecuali  jika “hadiah” rumah yang dijanjikan itu tanpa menggunakan uang rakyat. Murni investasi sosial dari relasi atau pihak lain yang tidak mengikat. Dalam dunia seni peran ada yang disebut sponsor atau Production House (PH). Masalahnya seberapa besar profit yang diperoleh dari kerja sama tersebut?

Berhati hatilah berjanji, agar tidak dibilang, “habis manis sepah dibuang. Sampai di sini tulisan ini saya akhiri. Semoga!!!

Penulis : Jurnalis asal Timor,  tinggal di Semarang.

 

Related posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *