Petrus Selestinus
Kejaksaan Tinggi Nusa Tenggara Timur (Kajati NTT) menuai protes. Inilah konsekuensi salah memilih jalan. Tuaian protes itu datang dari Ikatan Notaris NTT dan Pejabat Pembuat Akte Tanah.
Dalam kasus lahan Toro Lema, seluas 30 hektare, Kejaksaan Tinggi NTT menggunakan instrumen UU Tipikor, untuk kasus-kasus yang masuk kategori hukum perdata dan hukum adat Manggarai Barat, hingga menjadikan, Theresia Koroh Dimu, SH. M. Kn. seorang Notaris/PPAT di Kupang menjadi tersangka dan ditahan di Rutan.
Kasus ini memantik ketidakpuasan dari organisasi Profesi Notaris Indonesia (INI) dan Ikatan Pejabat Pembuat Akta Tanah (IPPAT), NTT di Kupang. Dalam aksinya organisasi profesi ini metutup kantor (tidak melayani masyarakat), sebagai upaya membangun solidaritas dan kepedulian dalam menjaga harga diri dan kehormatan profesi Notaris dan PPAT dalam wadah INI dan IPPAT wilayah NTT.
Reaksi ini merupakan bentuk kemarahan terhadap kasus tanah di daerah itu. Terhitung 21 Januari entah sampai kapan kantor itu diturup pemrotes. Hal ini berarti ada yang salah dengan tindakan Penyidik Kejaksaan terhadap profesi Notaris dan PPAT dalam proses peradilan. Notaris/PPAT seharusnya hanya dijadikan saksi fakta tentang peristiwa hukum apa yang terjadi di hadapannya saat Akta dibuat.
Melawan ketidakadilan
Aksi solidaritas dan kepedulian terhadap Theresia Koroh Dimu, SH.,M.Kn sebagai bentuk perlawanan terhadap ketidakadilan. Kejaksaan NTT dinilai keblabasan, sewenang-wenang, atas dasar pertimbangan subyektif Dr. Yulianto, SH. MH dan dengan bukti-bukti yang sangat sumir.
INI dan IPPAT NTT akan melaporkan Dr. Yulianto, SH. MH ke Presiden Jokowi, Menko Polhukam dan sejumlah pejabat terkait di pusat. INI dan IPPAT memiliki bukti dan memastikan ada yang salah dengan apa yang dilakukan oleh Dr. Yulianto, SH.MH dkk.sebagai penanggung jawab tertinggi atas penyidikan perkara korupsi lahan Toro Lema.
Pada pembukaan Rakornas Pemerintah Pusat dan Forkopimda seluruh Indonesia di Sentul, Bogor tanggal 13 November 2019 lalu, Presiden meminta kepada Kajati dan Kapolda seluruh Indonesia, agar Jaksa dan Polisi jangan mencari cari perkara, jangan menggigit orang yang benar, jangan pura pura salah gigit, jangan menakut-nakuti dan memeras Birokrat, Kepala Daerah dan Pelaku Usaha yang berinovasi membangun bangsa ini.
Banyak kasus korupsi mangkrak di NTT
Banyak kasus korupsi di NTT yang penanganannya mangkrak. Begitu pun kasus lahan yang diklaim Pemerintah Daerah atau Pusat dikuasasi pihak ketiga. Data yang ada, 79 kasus korupsi dilaporkan ke KPK, namun Kejaksaan Tinggi NTT tidak memberikan perhatian untuk dilakukan penindakan.
Publik NTT harusnya menagih utang janji Kajati-Kajati NTT sebelumnya yang pindah tanpa pertanggungjawaban. Sama halnya penggantinya. Tanpa visi dan misi yang jelas, hanya mewariskan perkara korupsi lama yang tidak tertangani, tanpa alasan yang jelas. Padahal prinsip hukum Tipikor, perkara korupsi harus didahulukan penangannya dari perkara yang lain.
Karena itu kita akan tetap kritis, jika pemberantasan korupsi yang dilakukan itu tidak tuntas. Penanganan kasus kasus di NTT terkadang terkesan tebang pilih, atau pun jika ditangani sekedar gertak sambal.
Petrus Selestinus, Ketua Presidium Kongres Rakyat Flores / KRF dan Koord TPDI. Pengacara senior, tinggal di Jakarta
NB Naskah opini tanggung jawab penulis.