JAKARTA – Puasa Arafah dan perayaan Idul Adha merupakan dua momen penting dalam agama Islam yang memiliki makna mendalam. Puasa Arafah dilakukan pada tanggal 9 Dzulhijah, sementara Idul Adha adalah hari raya yang dirayakan pada tanggal 10 Dzulhijah setiap tahunnya.
Kedua ibadah ini memiliki kaitan yang erat dengan peristiwa-peristiwa bersejarah dalam agama Islam.
Puasa Arafah adalah ibadah yang dilakukan oleh umat Muslim di seluruh dunia sebagai persiapan menyambut Hari Raya Idul Adha. Pada hari tersebut, umat Muslim dianjurkan untuk berpuasa dengan niat khusus sebagai bentuk ibadah kepada Allah SWT.
Puasa Arafah memiliki banyak keutamaan, di antaranya adalah pengampunan dosa-dosa, keberkahan, dan kesempatan untuk mendekatkan diri kepada Allah. Puasa ini juga memiliki kaitan dengan peristiwa wukuf di Padang Arafah, saat jamaah haji berkumpul untuk berdoa dan memohon ampunan kepada Allah.
Sementara itu, Idul Adha merupakan hari raya yang diperingati oleh umat Muslim sebagai penghormatan terhadap kesabaran dan ketaatan Nabi Ibrahim AS dalam mengorbankan putranya, Ismail AS, atas perintah Allah SWT.
Idul Adha juga disebut sebagai Hari Raya Qurban, di mana umat Muslim yang mampu dianjurkan untuk menyembelih hewan qurban sebagai bentuk pengorbanan dan berbagi kepada sesama.
Selain itu, Idul Adha juga menjadi momen untuk merayakan kebersamaan, berbagi kebahagiaan, dan memperkuat tali silaturahmi antar sesama muslim.
Dalam artikel ini, kita akan mendalami lebih jauh tentang puasa Arafah dan perayaan Idul Adha. KH Jeje Zaenudin, Ketua Umum PP Persis, akan memaparkan tujuh alasan mengapa pelaksanaan puasa Arafah dan Idul Adha sebaiknya mengikuti negara sendiri.
Penjelasan yang menarik ini akan membuka pemahaman baru tentang pentingnya mengikuti penanggalan setempat dan menghormati konteks budaya dalam menjalankan ibadah agama.
7 Alasan Puasa Arafah dan Idul Adha Ikuti Negeri Sendiri
KH Jeje Zaenudin mengungkapkan tujuh alasan mengapa puasa Arafah dan Idul Adha harus mengikuti penanggalan negeri sendiri.
Pertama, istilah “hari Arafah” sebenarnya merujuk pada tanggal, bukan tempat atau aktivitas tertentu. Hari Arafah jatuh pada tanggal sembilan Dzulhijah, tidak peduli apakah ada wukuf atau tidak, dan apakah ada puasa atau tidak.
Menurut Ketua Umum Pimpinan Pusat Persatuan Islam (PP Persis), KH Jeje Zaenudin, jika nama hari disebut dalam seminggu, maka itu merujuk pada hari tersebut secara harfiah. Misalnya, “yaum isnaen” berarti Hari Senin, tidak ada hubungannya dengan tanggal. Hari Senin bisa jatuh pada tanggal berapa pun.
Namun, jika nama hari yang disebutkan tidak termasuk dalam tujuh hari dalam seminggu, maka itu merujuk pada tanggal. Misalnya, “ayyamul bid” (hari-hari purnama) berarti tanggal 13, 14, dan 15 setiap bulan; “yaum tarwiyah” berarti tanggal delapan Dzulhijah; “yaum tasyrik” berarti tanggal 11, 12, dan 13 Dzulhijjah, tidak peduli hari apa pun.
“Maka demikian juga jika dikatakan ‘shaum yaum ‘arafah’, maksudnya adalah puasa tanggal sembilan Dzulhijah, tidak peduli jatuh pada hari Senin, Selasa, Rabu, Kamis, Jumat, Sabtu, atau Ahad,” kata KH Jeje dalam keterangan tertulisnya baru-baru ini.
KH Jeje menjelaskan bahwa perintah puasa Arafah adalah “Shaum yaum ‘arafah”, yang berarti “puasa pada hari Arafah”. Ini bukan puasa karena aktivitas jamaah haji yang sedang melakukan wukuf di Arafah atau karena tempat Arafah itu sendiri. Penting untuk memahami perbedaannya dengan baik, karena di sinilah perselisihannya terletak.
“Jika Arafah dianggap sebagai syarat atau aktivitas wukuf sebagai syarat, maka puasa Arafah hanya akan ada jika ada wukuf di Arafah. Padahal, syariat ibadah puasa Arafah berlaku baik ada yang wukuf atau tidak ada yang wukuf,” jelasnya.
Pelaksanaan wukuf oleh jamaah haji dan keberadaan tanah Arafah bukanlah bagian dari rukun, syarat, sabab, atau mâni’ (penghalang) dalam perintah dan pelaksanaan puasa Arafah.
Jika puasa Arafah dihubungkan secara langsung dengan aktivitas wukuf atau keberadaan tempat Arafah, maka puasa Arafah akan menjadi bagian dari hukum taklify (hukum yang bergantung pada aktivitas atau keadaan tertentu).
“Tidak ada dalil atau fatwa ulama yang menjadikan aktivitas wukuf sebagai rukun, syarat, atau sabab dalam pensyariasi puasa Arafah,” tegasnya.
KH Jeje juga menyampaikan bahwa puasa Arafah telah ditetapkan sebagai ibadah sejak tahun kedua Hijriah, sedangkan ibadah haji baru ditetapkan pada tahun keenam atau kesembilan Hijriah.
Selama empat atau tujuh tahun tersebut, umat Muslim berpuasa Arafah tanpa memperhatikan kapan jamaah haji melakukan wukuf atau apakah ada yang melakukan wukuf di Arafah.
“Pelaksanaan puasa Arafah tanpa memperhatikan penanggalan setempat akan menimbulkan masalah baru yang lebih sulit, yaitu penentuan hari raya Idul Adha. Jika memang ada perbedaan pendapat tentang pengertian puasa Arafah, apakah untuk hari raya Idul Adha juga harus mengikuti penanggalan Saudi?,” tanyanya.
“Jika itu terjadi, maka akan terjadi kekacauan dalam penanggalan bulan Dzulhijah setelah tanggal sepuluh. Kecuali jika kita konsisten sepanjang tahun dengan tidak menggunakan penanggalan negara masing-masing, tetapi mengikuti penanggalan tunggal berdasarkan hasil rukyat Saudi, maka negara-negara Muslim di seluruh dunia tidak akan memiliki kalender dan harus menunggu penetapan rukyat dari Kerajaan Saudi pada awal setiap bulan,” jelas KH Jeje.
Dia menunjukkan juga bahwa fakta ilmiah menunjukkan bahwa negara-negara Muslim terbagi menjadi dua wilayah mathla’ (tempat munculnya hilal) yang kadang-kadang berbarengan dan kadang-kadang berbeda. Penampakan hilal tidak selalu sama pada setiap awal bulan.
Selain itu, terdapat perbedaan waktu antara negara Muslim di wilayah barat dan wilayah timur, yang dapat mencapai hingga 12 jam. Sementara pelaksanaan wukuf hanya berlangsung selama sekitar enam jam, dari waktu Dzuhur hingga Maghrib.
Jadi, jika umat Muslim tinggal di benua Amerika yang memiliki perbedaan waktu antara tujuh hingga delapan jam, mereka tidak dapat melaksanakan ibadah puasa Arafah karena waktunya sudah berakhir.
“Sebaliknya, umat Muslim di Australia juga tidak bisa berpuasa Arafah karena ketika wukuf baru dimulai, mereka sudah memasuki waktu malam,” tambahnya.
Dia juga menyebut fakta historis bahwa selama berabad-abad, umat Muslim di seluruh dunia melaksanakan puasa Ramadhan dan Arafah berdasarkan penanggalan negara masing-masing.
Sejak wafatnya Rasulullah hingga abad kedua puluh, tidak ada satu pun negara Muslim yang menyesuaikan penanggalan mereka dengan hasil rukyat Saudi, kecuali setelah ditemukannya alat komunikasi dan transformasi yang canggih saat ini.
“Bagaimana mungkin pada masa itu kita bisa memberi tahu hasil rukyat di Saudi kepada pusat khalifah Islam di Baghdad dan Cordoba, atau kepada pusat Islam di Jawa dan Sumatra, atau kepada pusat Islam di India, dan sebagainya? Kecuali ke negara-negara Islam yang berdekatan dengan Mekah atau Jazirah Arab. Hal ini merupakan pendekatan yang rasional dan realistis,” jelasnya.
KH Jeje menambahkan bahwa tidak ada dalil yang membedakan antara penentuan awal bulan untuk Idul Fitri dengan Idul Adha. Rasulullah bahkan bersabda, “Siapa di antara kalian yang melihat hilal Dzulhijah dan ingin berqurban, maka janganlah ia mencukur rambut dan memotong kuku” (Hadis Sahih Muslim).
Beliau juga mengutip sabda Rasulullah, “Hari raya adalah ketika kalian merayakannya, dan hari berqurban adalah ketika kalian menyembelih hewan qurban” (Hadis Sahih riwayat Tirmidzi).
“Kedua hadis ini berlaku untuk semua negara Muslim, bukan hanya untuk Arab Saudi saja,” tegasnya.
“Dengan demikian, pelaksanaan puasa Arafah dan Idul Adha mengikuti penanggalan dan hasil rukyat negara masing-masing, insya Allah telah memenuhi kriteria ijtihadiyah-ilmiyah sesuai dengan syariat Islam. Wallahu ‘Alam bishawab,” tambah ia.
Dalam kesimpulannya, KH Jeje Zaenudin menekankan bahwa penyebutan istilah “hari Arafah” pada dasarnya merujuk pada tanggal, bukan tempat atau aktivitas tertentu. Hari Arafah adalah tanggal sembilan Dzulhijah, baik ada wukuf atau tidak, baik ada puasa atau tidak.
Puasa Arafah merupakan ibadah yang dilakukan pada tanggal sembilan Dzulhijah tanpa terkait langsung dengan aktivitas wukuf jamaah haji di Arafah atau keberadaan tempat Arafah itu sendiri. Pelaksanaan wukuf dan keberadaan tanah Arafah tidak termasuk dalam rukun, syarat, atau penyebab dari perintah dan pelaksanaan puasa Arafah.
Beliau menekankan pentingnya mengikuti penanggalan dan hasil rukyat setempat untuk menentukan pelaksanaan puasa Arafah dan Idul Adha, mengingat adanya perbedaan geografis, waktu, dan praktik historis yang telah berlangsung selama berabad-abad dalam umat Muslim di seluruh dunia.
Dengan demikian, umat Muslim di Indonesia dan negara-negara lainnya diimbau untuk mengikuti penanggalan setempat dalam melaksanakan ibadah puasa Arafah dan merayakan Idul Adha sesuai dengan penanggalan negara masing-masing.