Majelis Hakim Diduga Tidak Netral Dalam Sidang Terdakwa Johny G Plate

Screenshot 2023 07 05 09 34 29 04 6012fa4d4ddec268fc5c7112cbb265e7 - Zonanusantara.com
Petrus Selestinus

JAKARTA – Ketua Majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat, Fahzal Hendri yang memeriksa perkara korupsi Menara BTS 4G yang menghadirkan terdakwa mantan Menteri Kemenkominfo Johny G. Plate diduga tidak netral, karena melanggar hak ingkar terdakwa yang dijamin Undang-undang. Hal itu disampaikan oleh Koordinator TPDI, Petrus Selestinus, SH melalui rilisnya yang diterima media ini, Rabu, 5/7, menanggapi pernyataan Ketua Majelis hakim usai terdakwa dan penasihat hukumnya membacakan eksepsinya.

“Pernyataan Ketua Majelis hakim Pengadilan Tipikor di PN Jakarta Pusat yang menyatakan bahwa jangan anggap pengadilan sebagai alat politik sangat tendensius. Itu jelas merupakan pernyataan yang melanggar Hak Ingkar Terdakwa yang dijamin Undang-undang sebagaimana diatur dalam Pasal 52 KUHP dan Pasal 17 UU No. 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman,” tegas Petrus Selestinus, SH.

Read More

Menurut Petrus, pernyataan itu memperlihatkan sikap arogansi Ketua Majelis Hakim, karena mengambilalih hak dan wewenang Jaksa Penuntut Umum (JPU), karena setelah terdakwa Johny G. Plate dan PH-nya membacakan Eksepsi, maka kewenangan untuk mengomentari eksepsi terdakwa dan PH berada di tangan JPU, bukan porsi Ketua Majelis Hakim.

“Ketua majelis hakim seharusnya setelah eksepsi terdakwa dan PH dibacakan, bola itu dilempar ke JPU dengan memberikan kesempatan kepada JPU untuk memberikan tanggapan, bukan malah ketua majelis hakim sendiri membuat komentar yang menyudutkan terdakwa dan PHnya secara tidak etis. Para pihak seharusnya patuh pada aturan main dan asas dalam Hukum Acara Pidana,” kata Petrus Selestinus, SH.

Baca Juga :  Terpidana Kasus Korupsi di Malang Dikabarkan Bebas

Petrus Selestinus menegaskan, jika saja belum apa-apa Ketua Majelis Hakim sudah membatasi hak-hak terdakwa, tanpa dasar hukum, maka pandangan Terdakwa dan PHnya bahwa Pengadilan menjadi alat politik menjadi tak terbantahkan, karena di sini Hakim tidak menunjukan netralitasnya, melainkan telah melakukan tindakan  sewenang-wenang yang dapat dikategorikan sebagai telah mengeluarkan pernyataan di sidang tentang keyakinannya mengenai salah atau tidaknya terdakwa.

Padahal di dalam Pasal 52 KUHP dan 158 KUHAP, lanjut Petrus, ditegaskan tentang Hak Ingkar Terdakwa dan larangan dimana Hakim dilarang menunjukan sikap atau mengeluarkan pernyataan di sidang tentang keyakinan mengenai salah atau tidaknya terdakwa.

“Kecenderungan sikap Ketua Majelis Hakim dengan membatasi hak ingkar Terdakwa dan PHnya merupakan sinyal dari Ketua Majelis Hakim yang memberi pesan dimana Pengadilan menjadi alat politik, sebagaimana didalilkan oleh Terdakwa dan PHnya,” ungkapnya.

Padahal, kata Petrus, di dalam Kode Etik dan Pedoman Perilalu Hakim terdapat larangan yaitu, “Hakim dilarang bersikap mengeluarkan perkataan atau tindakan lain yang dapat menimbulkan kesan memihak, berprasangka, mengancam, atau menyudutkan para pihak (Terdakwa, PH, JPU, Saksi) dan harus pula menerapkan standar perilaku yang sama yaitu berperilaku adil terhadap semua pihak ( Advokat/PH, JPU, Panitera dan Saksi).

Berhak Bela Diri

Terdakwa Johnny G. Plate dan PHnya berhak nembela diri atas dakwaan JPU melaui Eksepsi, baik dari Terdakwa maupun PHnya. Apapun nota pembelaan, termasuk menyinggung soal politik seharusnya tidak boleh dikomentari oleh Majelis hakim dengan alasan apapun. Itu kewenangan JPU dalam proses tanya jawab dengan Terdakwa dan PHnya. Alasannya, segala penilaian dan komentar Hakim terhadap seluruh dinamika persidangan akan tiba waktunya bagi Majelis Hakim, ketika Majelis Hakim akan membuat Pertimbangan Hukum dan Amar Putusan melalui musyawarah Majelis Hakim, itupun sifatnya sangat rahasia.

Baca Juga :  Pengeroyokan di Malam Tahun Baru, Polisi Amankan Belasan Orang

“Materi Surat Dakwaan JPU dalam perkara dugaan korupsi BTS 4G dengan Terdakwa Johny G. Plate dkk. merupakan persoalan hukum yang timbul akibat produk kebijakan politik negara dalam pembangunan dan penegakan hukum. Apa lagi proses penyelidikan, penyidikan dan penuntutan oleh Kejaksaan terjadi pada saat bersamaan dengan momentum Pemilu di mana spektrum politik antar kubu saat ini terjadi saling gusur dan saling menyudutkan antar kelompok politik yang satu dengan yang lain pada saat ini. Suka tidak suka hal itu akan mempengaruhi semua kekuasaan lembaga negara termasuk kekuasan Yudikatif menjadi tidak netral,” kata Koordinator Advokat Perekat Nusantara tersebut.

Karena itu, tegas Petrus, tidak ada salahnya bahkan sangat beralasan hukum, manakala di dalam Nota Keberatan/Eksepsi Terdakwa dan PH terdapat narasi yang bersifat sekedar ingin meneguhkan sikap Hakim agar tidak tergoyahkan oleh sebab apapun juga, terkait kondisi politik yang beririsan, baik yang mendahului, menyertai atau yang akan terjadi, sehingga Terdakwa berhak mendalilkan dalam Nota Keberatan tanpa harus dibatasi secara tidak bertanggung jawab.

Related posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *