MALANG- Belajar dari masa lalu pemimpin yang menjadikan budaya sebagai panglima, dan menghadirkan politik yang berbudaya adalah suatu bentuk politik sehat yang menghasilkan tindakan, dan kebijakan menempatkan kepentingan bersama di atas segalanya.
Pandangan ini disampaikan pemerhati budaya, Isa Wahyudi atau biasa disapa Ki Demang, Kamis (30/3/2023).
Penggagas Kampung Budaya Polowijen, Kota Malang, Jawa Timur ini mengingatkan agar masyarakat dalam mencari pemimpin tidak mengabaikan aspek pemimpin yang berbudaya. Hal ini kata dia acapkali dalam mencari pemimpin yang paham soal budaya termasuk pemimpin sebagai pelaku budaya tidak banyak di ulas dalam ragam seminar maupun diskusi.
“Ketika budaya telah menjadi panglima, pada akhirnya kembali kepada hakikat aslinya, bukan budaya politisasi,” tandasnya.
Menurutnya kebudayaan adalah arah pembangunan yang tidak hanya bertumpu pada orientasi ekonomi dan pembangunan infrastruktur semata. Tapi kebudayaan itu dapat membangun rasa keadilan sosial dan ketertiban nasional. “Sehingga di butuhkan pemimpin yang peka terhadap kebudayaan dan kearifan lokal guna menopang pembangunan,”ucap Ki Demang.
Dijelaskan hal yang perlu di cermati masyarakat bahwa kekeliruan dalam memilih pemimpin menimbulkan banyak masalah. Salah satunya banyak pemimpin baik di legislatif maupun eksekutif terlibat kasus korupsi.
Karena itu ia berharap masyarakat mengajukan pemimpin yang berkarakter baik, jujur tidak korupsi, merakyat dan sederhana, tegas berwibawa, punya kinerja baik saat memimpin, serta mempunyai pengalaman dan kecakapan memimpin, memiliki integritas dan taat beragama.
Hal penting lain yang harus diperhatikan yakni kearifan lokal yang bertumpu pada norma adat dan kebiasaan. Ia mencontohkan budaya Jawa dari zaman dahulu terkenal sebagai budaya adiluhung yang menyimpan banyak nilai yang sangat luhur, mulai dari etika dan sopan santun di dalam rumah sampai sopan santun di ranah publik.
“Bagaimana mengeluarkan pendapat, berbicara kepada orang tua, berpakaian, makan, memperlakukan orang lain dan sebagainya semuanya telah ada dalam budaya Jawa. Bahasa dijadikan sebagai alat untuk memahami budaya,” ujarnya.
Dikatakan masalah kearifan lokal atau tata krama juga bertalian dengan peribahasa yang memiliki makna tertentu. Misalnya mengkaji dan memahami ungkapan seperti peribasa kebasan, dan saloka hamangku, hamengku, hamengkoni.
Hamangku diartikan sebagai sikap dan pandangan yang harus berani bertanggung jawab terhadap kewajibannya. Hamengku diartikan sebagai sikap dan pandangan yang harus berani ngrengkuh (mengaku) sebagai kewajibannya. Dan hamengkoni dalam arti selalu bersikap berani melindungi dalam segala situasi, itulah peminpin yang di butuhkan kedepan yang berbasis pada penerapan nilai lokal
“Manakala seorang pemimpin berada di tengah-tengah rakyatnya, dia harus mangun karsa (memberi semangat) agar rakyat tidak mudah putus asa jika menghadapi segala macam cobaan. Ketika dia ada di belakang dia harus selalu tut wuri handayani (mau mendorong) agar rakyatnya selalu maju,” pungkasnya.