Komunitas Rumah Sahabat dihuni kaum difabel. Mereka menjalani hidup ini sebagai suatu pilihan dan menerimanya sebagai takdir.
Oleh : Hendrika LW- Malang
Sebuah rumah tinggal yang beralamat di Jl. Bandulan Gang 8/ K 243 Malang, Jawa Timur, sekilas tampak biasa-biasa saja. Rona kehidupan dengan rutinitas keseharian hidup juga tampak seperti rumah – rumah lain di sekitarnya. Namun siapa sangka bangunan yang tergolong lusuh itu dihuni oleh belasan kaum difabel.
Sesama kita yang berkemampuan khusus ini ditampung di rumah itu. Sebuah rumah tinggal yang disulap menjadi Komunitas Rumah Sahabat Indonesia (KRSI).
Hal yang membedakan dengan lingkungan sekitar, penghuni KRSI jarang ditemui di tempat tinggal tersebut. Ada waktu-waktu tertentu mereka bisa bersantai bersama di situ. Selebihnya, waktu dipakai mencari nafkah, berkompetisi tanpa kenal lelah. Keterbatasan fisik tidak mematahkan semangat juang mencari nafkah.
Saat dijumpai di kediamannya, belum lama ini, mereka sedang duduk- duduk di ruang tengah. Sewaktu ditanya tentang suka dukanya, Rofi salah seorang diantara mereka menyampaikan keluhan, karyanya belum bisa naik.
“Gimana ya, dukanya ya karena karyanya belum naik- naik, hanya promosi aja”, begitu keluhnya.
Hal senada juga diungkapkan Joko, “Aku senang berkarya Bu, tapi selama ini belum bisa kemana-mana. Itu aja dukanya,”kata Joko.
Yang dimaksud dengan karya belum naik-naik, atau menanjak adalah karya di bidang musik. Pernah rekaman sejumlah lagu termasuk tampil di radio namun belum maksimal. Hal ini juga disampaikan Akhiles Kako, yang selama ini bertindak sebagai pengasuh.
Pria asal NTT ini menceritakan, sudah pernah membuat rekaman lagu-lagu Jawa dan menghasilkan ratusan keping Compac Disk (CD), serta promosi di beberapa radio. Tetapi hasilnya belum sesuai yang diinginkan. Untuk memenuhi kebutuhan sehari -hari, ada donatur untuk kontrak rumah dan bahan pangan pokok, untuk lauk sayur, mereka mencari sendiri dengan berjualan krupuk dan praktik pijat.
Selanjutnya ia mengatakan harapannya, agar mendapat dukungan dan ruang untuk berkarya. Dan menjadi musisi profesional. Sehingga mereka bisa mendapat penghidupan dari karya musiknya.
“Saya berharap ada perhatian dan dukungan. Kalau ada acara seperti pesta ulang tahun, pernikahan atau yang lainnya, panggil kami dong. Biar kami bisa hidup dari musik, gak perlu jualan krupuk lagi”, tambah Akhiles
Meski memiliki semangat juang yang tangguh, sebagai orang normal kita bisa menangkap kisah pelik di baliknya. Selain itu mereka (kaum difabel) membutuhkan sebuah panggung pentas untuk mengekspresikan kemampuan mereka di bidang musik.
Sebagian diantaranya pandai bermain gitar dan menyanyi. Seperti dikisahkan Arkiles, jika ada dermawan yang bisa memanggungkan mereka, setidaknya akan memenuhi harapan – harapan yang diimpikan selama ini.
Dus itu berarti, bisa meringankan beban hidup yang ditanggung. Namun, jika kelak harapan itu sirnah, kisah hidup yang dialami tak akan pernah tuntas. Semoga!