Menjaga ‘Api’ Ingatan Tragedi Kemanusiaan Mei 1998

Menjaga ‘Api’ Ingatan Tragedi Kemanusiaan Mei 1998
Fathia (kanan)
Sosmed-Whatsapp-Green
Zonanusantara.com Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Menjaga ‘Api’ Ingatan Tragedi Kemanusiaan Mei 1998
Ita Fatia Nadia (Kanan)

JAKARTA – Peneliti sejarah, Ita Fatia Nadia mengingatkan perlunya menjaga ‘api’ ingatan terhadap kerusuhan Mei 1998.  Kerusuhan rasial terhadap etnis Tionghoa tersebut termasuk tragedi kemanusiaan.

Aktivis perempuan ini meminta masyarakat termasuk etnis Tionghoa tidak melupakan peristiwa kerusuhan tersebut.

“Kita harus tetap menjaga ingatan bahwa kerusuhan, pembunuhan, perkosaan pada Mei 1998 itu ada. Jangan sampai dilupakan. Itu yang membuat saya terus berjuang untuk ‘api’ ingatan terhadap Kerusuhan Mei 98,” ungkap Ita F. Nadia, Senin (9/5).

Apalagi lanjutnya,Komnas (Komisi Nasional) Perempuan sudah tidak lagi memperhatikan peristiwa Mei 98. Seharusnya Komnas perempuan menyelenggarakan upacara terus menerus peringatan Mei 1998.

Ita mengaku sempat membaca beberapa tulisan anak-anak muda (generasi millennial/mereka yang lahir pada 1980 – 1990, atau pada awal 2000) tentang 1998 di medsos (media social).

“Semua tulisan/testimoni melenceng. Tulisan generasi millenial mengenai Kerusuhan Mei 98) seakan-akan, saya (dicap) tidak bisa move on. Sehingga saya jelaskan bahwa Mei 98 sebuah kejahatan kemanusiaan yang diingkari oleh Bangsa Indonesia sendiri,” tandas Ita F. Nadia.

Generasi millennial menilai dirinya (Fatia Nadia) tidak pernah capek menceritakan, mengulas kerusuhan Mei 1998 seakan belum move on. Tetapi baginya, tidak ada sikap menyerah apalagi melupakan.

Hal tersebut bukan masalah move on atau tidak, tapi kejahatan kemanusiaan yang diingkari oleh Bangsa Indonesia sendiri.

Baca Juga :  Ketua DPD RI Dijamu Nasi Lakkai Oleh Bupati Lampung Barat

Dijelaskan alam peristiwa itu, seorang korban Ita Martadinata, rela mati daripada menyerah. Karena itu Fatia menilai rencana peringatan 12 Mei 2022 di Semarang, sangat relevan untuk mengenang para korban termasuk mendiang Ita Martadinata.

Ita adalah martir. Ia mewakili seluruh korban Mei 98. Acara di Semarang tidak saja Peringatan Sin Chi Ita Martadinata (di Rumah Doa Boen Hian Tong, Gg. Pinggir No. 31 Semarang), namun upaya menjaga ingatan pada peristiwa Mei 1998.

“Apapun alasannya, saya harus datang, walaupun keesokan harinya (tgl 13/5) saya sudah harus berangkat ke Belanda. Saya tetap berangkat dari Yogyakarta ke Semarang, setelah itu ke Jakarta (bandara Soekarno Hatta, Cengkareng) dan terbang ke Belanda,” kata Ita F. Nadia.

Bahkan ada pembuat film, yakni Andrea (berlatar belakang Tionghoa) hadir di Semarang untuk pembuatan film dokumenter. Produsernya, Mandy Marahimin yang ibunya keturunan Tionghoa (bekerja sebagai chef masakan Tionghoa). Andrea dan Mandy bekerjasama menyutradarai film dokumenter dan pribadinya sangat concern dengan peristiwa kemanusiaan Mei 1998.

“Saya juga berharap generasi millennial, anak-anak muda Tionghoa agar tidak melupakan kewajiban untuk tetap menjaga ‘api’ (ingatan terhadap kerusuhan berdarah Mei 1998. Sehingga peristiwa yang sama tidak akan terulang lagi,” beber Ita F. Nadia.

Baca Juga :  Unidha Malang Menorehkan Prestasi Terbaik Penerima Dana  Abdimas Terbanyak dari LLDIKTI Wilayah VII Jawa Timur.

Ibunya almarhum Ita, (yakni) ibu Wiwin yang tinggal di Surabaya juga akan ke Semarang, hadir dan berdoa. Ini pertama kali, ibu Wiwin sebagai bhiksuni kembali mendoakan anaknya, Ita Martadinata. Karena selama ini, keduanya sangat dekat dan sering komunikasi. Ibu Wiwin sempat mengalami depresi, namun sekarang sudah mulai baik karena hidup sendiri di biara menjadi bhiksuni.

“Dia terbantu (pemulihan). Pada acara peringatan di Semarang (12/5), pertama kali, dia mendoakan anaknya, alm. Ita Martadinata,” ujar Ita F. Nadia.

Ia mengaku masih ingat beberapa aktivis Posko Buddhis (Tim Relawan untuk Kemanusiaan/TRUK, didirikan Romo Sandyawan) terutama Apong Tamora yang membawa ibu Wiwin pertama kali ke sekretariat Kalyanamitra (Kelompok studi gender Surakarta; para aktivisnya antara lain Sita Aripurnami, Ita F Nadia, Mira Diarsi, Lies Marcoes, Yuyud, Sekar Pireno). Dari Posko (Komunitas) Buddhis, ibu Wiwin terdorong aktif di Kalyanamitra. Selanjutnya, ibu Wiwin datang sendiri.

“Waktu mau ke Amerika (bersama alm. Ita Martadinata) untuk memberi kesaksian, bersama beberapa tokoh Buddhis, kami sempat rapat di Wihara Ekayana Graha (Jl. Mangga Dua, Tanjung Duren). Inisiatif awal dari Setiawan Liu, Apong Tamora,”pungkasnya. Setiawan Liu)

Ikuti Zonanusantara.com untuk mendapatkan informasi terkini.
Klik WhatsApp Channel & Google News

Related posts