Oleh Hendrika LW- Malang
Terpujilah wahai engkau ibu bapak guru
Namamu akan selalu hidup dalam sanubariku.
Semua baktimu akan kuukir di dalam hatiku
S’bagai prasasti t’rima kasihku ‘tuk pengabdianmu.
Engkau sebagai pelita dalam kegelapan
Engkau laksana embun penyejuk dalam kehausan. Engkau patriot pahlawan bangsa pembangun insan cendekia
***
Lirik Hymne Guru ciptaan Sartono, seorang guru seni musik kelahiran Madiun ini, merupakan penghargaan untuk guru di tanah air.
Seperti halnya apresiasi yang diberikan SMAK Kolese Santo Yusuf (Kosayu) Malang kepada guru dan karyawan yang telah menyelesaikan masa baktinya. Dan kali ini Drs. Pius Tokan, guru sejarah yang telah usai membaktikan diri selama 32 tahun.
Acara pelepasan guru dan karyawan yang telah memasuki masa pensiun ini, sudah menjadi agenda rutin tahunan, dengan kegiatan yang berbeda-beda.
Sepenggal kisah di Utama Raya Beach
Perjalanan dimulai Rabu pagi, 19 Juni. Dua bus Restu Panda yang dipenuhi keluarga besar guru dan staf, beriringan melintasi tol panjang menuju kota Situbondo, Jawa Timur.
Jalanan yang mulus, melancarkan laju bus hingga tiba di pantai Utama Raya. Sebagian segera menyerbu pantai, sebagian duduk-duduk di teras villa yang berhias kamboja merah nan elok.
Tak terasa senja merambat demikian cepat, hingga pekat menutup eksotika pantai.
Pukul enam petang, semua berkumpul untuk menikmati makan malam bersama. Kemudian dilanjutkan acara riang ria, game dan karaoke yang dipandu MC andalan Kosayu, Yohana Ika Dewanti dan Prasetya Citra Sukoco.
Kepala SMAK Kosayu, Petrus Harjanto, M. Pd., menitipkan pesan dan minta kepada jajaran guru dan karyawan agar tetap menjalin silaturahmi walaupun sudah purna tugas.
“Walaupun sudah pensiun, saya harap tetap menjalin silaturahmi dengan baik. Karena kita keluarga besar Kosayu,” katanya
Malam kian larut, hanya lampu temaram yang menghias deretan villa. Menandakan penghuninya sudah terlelap dalam mimpi. Namun ada beberapa yang konon tak bisa memejamkan mata sedetik pun, saking asyiknya bercengkerama hingga subuh tiba.
Pukul lima pagi, sang surya membangunkan penghuni villa, lewat celah jendela yang tertutup tirai coklat susu. Semua bangun. Kembali menyerbu pantai yang menghadirkan hangat semburat fajar. Meski rasanya enggan beranjak, namun rombongan mesti melanjutkan perjalanan ke Pantai Pasir Putih, sekitar 30 menit lamanya.
Pesona Pasir Putih
Rombongan segera turun. Ada yang duduk-duduk menikmati pemandangan. Ada yang menghambur ke laut dengan ban dan kano. Ada yang mencari obyek untuk pengambilan gambar.
Sementara angin pantai tak henti mengibas dedaunan yang melindungi daratan dari abrasi. Dan perahu-perahu kecil pun, menunggu untuk mengantar pengunjung yang ingin melihat panorama bawah air lebih dekat.
Tak terkecuali Drs. Pius Tokan, sang guru sejarah yang duduk-duduk di bawah pohon waru, menyaksikan debur ombak, seperti mengenang masa kecilnya yang tinggal di pantai Wailebe, Adonara Barat, NTT.
Saat ditanya, alumnus IKIP Negeri Malang (kini Universitas Negeri Malang) ini menyampaikan rasa senangnya menjadi guru, walaupun awalnya bukan cita-citanya.
“Saya senang sekali bertemu anak-anak dengan berbagai keunikannya. Terlebih melihat mereka sukses,” ujarnya.
Sayonara Pasir Putih
Debur ombak menghias pantai
Melepas pandang hingga ke ujung tak bertepi. Menghantar kita pulang dengan hati berseri
Sayonara….