Oleh Yulius Salu
Pesisir hutan jati tanpa suara dan dedaunan rapuh mengepak diantara langkah bocah kampung. Tetes-tetes peluh mengucur di wajah lugu. Setiap langkah memancar asa. Rambut kariting kemerahan bagai sedang berbicara tentang harapan bocah kampung dan sandal jepit kusam seolah menceritakan keindahan yang diangan-angankan. Langkah berderap, seragam merah putih melekat ditubuh-tubuh karempeng, kaki mungil menerjang kerontangnya musim, dan mereka tersenyum sembari terus menelusuri setapak demi setapak jalanan panjang. Bersekolah! Bersekolah, mencari jejak kecerdasan yang tertimbun batas keterbatasan subsidi. Mereka jalani juga dalam keterbatasan daya upaya, hingga tas sekolah pun tak punya. Bekas genggam telapak menempel dikulit buku-buku, gudang kepintaran yang hanya bisa dibeli dengan uang.
Bocah di perbatasan antar negara itu, diterik mentari menyengat ubun-ubun dan helai-helai daun jati luruh. Mereka mewartakan pesan ketulusan menjalani apa yang tidak mereka kehendaki. Belajar tentang kecerdasan yang dibangun oleh peradaban untuk membentuk pemahaman pada peradaban itu sendiri agar dirinya tumbuh menjadi beradab; belajar menghitung hari berlalu mengitari waktu yang meninggalkan keterpurukan bagi yang telah kalah atau dikalahkan dan membawa kegembiraan bagi yang menang atau dimenangkan; belajar berdoa secara baik untuk merayakan Tuhan agar memberinya sebatang pensil, karena yang selama ini dipakainya itu bekas kakaknya; belajar menghormati dengan selalu mengucapkan selamat pagi kepada gurunya, walau sang guru mengajarkan kesantunan itu, tapi tak pernah melakukan kepada si murid dan belajar tentang kehidupan yang memberi banyak harapan, tetapi juga menghiasi dengan keluhan.
Bocah di tapal batas wilayah negara Indonesia dan Timor Leste itu, rambut kariting asli kucuran gen para leluhur. Kebanyakan dan hampir semua penghuni jagat di belahan Indonesia Timur memiliki ciri khas sama. Kulit hitam rambut keriting bergulung-gulung menyerupai ombak di pesisir. Dan sosoknya yang ramah menyebar wewangian kerendahan hati yang tumbuh di jantung pulau Timor. Pulau ini mirip sekali “Surga” di dunia, tempat bocah itu lahir, besar, dan beranak pihak. Kulitnya….kulitnya yang kurang terang tidak merembes ke jiwanya untuk melihat lawan sebagai mangsa.
“Kasihan mereka mandi keringat untuk suatu waktu yang belum tentu memberinya kemudahan kelak”,ini bahasa pak supir, yang dalam mobilnya memuat beberapa penumpang dan terus melewati bocah-bocah ini, padahal klaksonnya sebagai isyarat hendak menikung dibalas bocah-bocah dengan senyum dan lambaian tangan, simbol persaudaraan ala kampung yang mulai tak diminati supir yang juga berasal dari kampung.
Bocah tapal batas. Ia gambaran masa depan yang sedang tumbuh. Celoteh datangnya sepanjang jalan meriangkan harinya, desiran angin mengiringi langkahnya dan perlahan namun pasti ia belajar mengukir perjalanannya.