JAKARTA – Putusan Majelis Kehormatan MK (MKMK) No. 2/MKMK/L/ARLTP/10/ 2023, tgl.7/11/2023 yang memberhentikan Anwar Usman (ipar Presiden Jokowi) dari jabatan sebagai Ketua MK, karena terbukti melakukan pelanggaran berat Kode Etik dan Perilaku Hakim Konstitusi semakin mempertegas, bahwa Presiden Joko Widodo diduga kuat terlibat dalam konspirasi politik memuluskan Putusan MK No.90/PUU-XXI/ 2023, tgl.16/10/ 2023 yang sarat nepotisme. DPR RI dapat menjadikan putusan MKMK tersebut sebagai amunisi politik untuk mengimpeachment Presiden Joko Widodo.
Demikian ditegaskan oleh Petrus Selestinus, S.H., Koordinator TPDI dan Perekat Nusantara melalui rilis yang diterima media ini, Senin (13/11).
Saat ini, lanjut Petrus, Indonesia sedang prihatin dan cemas karena 3 (tiga) lembaga negara yaitu Presiden, Mahkamah Konstitusi (MK) dan Komisi Pemihan Umum (KPU) yang kewenangannya diberikan langsung oleh UUD 1945, namun pimpinannya diduga terlibat dalam konspirasi dengan supra struktur politik istana dalam politik praktis.
“Padahal baik MK maupun KPU RI, merupakan lembaga negara yang kemandirian dan independensinya dijamin oleh UUD 1945, seharusnya tidak boleh diintervensi secara melawan hukum oleh siapapun juga, terlebih-lebih oleh supra struktur politik demi politik praktis lewat nepotisme,” tegas Petrus
Oleh karena itu, dalam menetapkan Paslon, KPU dituntut menempatkan Putusan MKMK, sebagai landasan Hukum dan Etik, terlebih-lebih karena MKMK berhasil membongkar konspirasi politik di supra struktur politik (Istana) melalui jejaring nepotisme di MK, satu dan lain karena menjadikan MK sebagai instrumen politik.
Menurut Petrus, KPU tidak boleh membiarkan dirinya hanya berfungsi sebagai eksekutor pihak Istana, mengeksekusi Putusan MK No.90/PUU-XXI/2023, tgl.16/10/ 2023 dan mengabaikan Putusan MKMK yang secara Moral dan Etik mengembalikan wibawa dan marwah Mahkamah Konstitusi.
KPU harus pahami bahwa putusan MK No.90/PUU-XXI/2023 dimaksud adalah produk konspirasi supra struktur politik Istana, memperalat MK melalui Anwar Usman, ipar Presiden Jokowi, demi meloloskan GRR mendampingi Bacapres Prabowo Subianto, sebagaimana secara eksplisit dan implisit diungkap dalam Putusan MKMK. Oleh karena itu suka tidak suka Putusan MKMK itu berimplikasi menimbulkan cacat hukum pada pencawapresan GRR, sehingga KPU tidak punya pilihan lain selain harus menyatakan batal pencawapresan GRR.
Putusan MK dan MKMK dimaksud, kata Petrus, merupakan alat bukti “sempurna”, bahwa Etika kehidupan berbangsa dan bernegara di era Presiden Joko Widodo berada di titik nadir. Ini tentu mengancam integrasi nasional menuju krisis multi dimensi dan lahirnya krisis kepercayaan publik yang meluas kepada Pemerintah.
Hentikan Nepotisme
Sudah menjadi rahasia umum bahwa nepotisme memiliki daya rusak yang dahsyat terhadap
sendi-sendi etika bernegara (kejujuran, rasa malu, keteladanan, toleransi, menjaga kehormatan serta martabat diri sebagai warga bangsa). Nepotisme menempatkan kepentingan diri, keluarga dan kelompok di atas kepentingan umum.
“Nepotisme sangat berbahaya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, karena melahirkan ketidakpuasan, dan amarah dari masyarakat luas.
Praktek bernegara dengan cara mengabaikan etika bernegara, kata Petrus, jelas menyimpang dari Pembukaan UUD 1945, TAP MPR No. XI/MPR/ 1998 dan TAP MPR No. VI/MPR/ 2001, yang secara tegas melarang relasi keluarga dalam Penyelenggaraan Negara (Nepotisme) melalui UU No. 28 Tahun 1999.
“Secara kasat mata terdapat fakta yang notoire feiten, betapa etika bernegara (budi pekerti, kejujuran, integritas, rasa malu, toleransi) mengalami penghancuran secara sistemik, selama 10 tahun Presiden Joko Widodo berkuasa. Lembaga Kepresidenan, MK dan KPU, terkena imbas dari proses kehancuran akibat penyalahgunaan wewenang dengan menggunakan relasi keluarga dalam Tata Kelola Pemerintahan dan Penyelenggaraan Negara, tanpa rasa malu dan bersalah, karena itu harus diakhiri sekarang juga,” tegasnya.
Petrus mengatakan, bahwa untuk menghentikan nepotisme yang diduga dilakukan oleh Presiden Joko Widodo dengan daya rusak yang tinggi, hanya bisa dilakukan dengan 2 (dua) cara, yaitu:
Pertama, Anwar Usman mundur total atau dipecat dari Hakim Konstitusi, sedangkan GRR segera mundur atau ditarik dari posisi Bacawapres dan diganti oleh Pimpinan Parpol dalam KIM.
Jika cara pertama gagal dilakukan, maka pilihan cara kedua, sebagai langkah konstitusional, yaitu memproses hukum Presiden Joko Widodo melalui impeachment atas dugaan telah melanggar UUD 1945 dan peraturan hukum lainnya.