JAKARTA – Sejumlah tokoh diaspora Flores di Jabodetabek sepakat mendukung langkah hukum yang ditempuh Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI) berkaitan dengan dugaan penyalahgunaan wewenang (abuse of power), ancaman atau kekerasan terhadap wartawan melalui group Kaiser Hitam (KH) Destroyer dan dugaan tindak pidana lainnya yang melibatkan Kapolres Nagekeo, AKBP Yudha Pranata, SH, SIK, yang menyebabkan kegaduhan di tengah masyarakat Nagekeo, baik di daerah mapun di diaspora beberapa bulan terakhir.
Para tokoh tidak ingin kegaduhan sosial tersebut menjadi bias tak terkendali dan berpotensi menimbulkan konflik horisontal di tengah masyarakat Nagekeo.
Yohanes B. Doy, SH, juru bicara TPDI dalam paparan di hadapan sejumlah tokoh Flores diaspora dalam pertemuan di sebuah makan di Jl. Kapten Tendean, Jakarta Selatan, Senin (1/5) mengatakan, bahwa TPDI menempuh jalur hukum untuk menghindari konflik horisontal dan debat kusir yang tidak etis di sejumlah group WhatsApp.
“Sebagai orang Nagekeo saya sedih melihat dan mendengar masyakarat Nagekeo terpecah. Hampir tiap hari saling serang, saling sindir dan bahkan meneror, mengancam, memaki, dan merendahkan diantara orang-orang Nagekeo. Kearifan lokal _”Kolo setoko tali setebu”_ yang merupakan salah satu kekuatan inheren soliditas masyarakat Nagekeo saat ini lenyap tak berbekas. Yang ada malah _”Homo homini lupus,”_ (manusia menjadi serigala bagi sesama),” kata Yon sedih.
Menurut Yon, dari berbagai dinamika diskusi atau perdebatan dan narasi di berbagai group Wa, tampak bahwa persoalan di Nagekeo sangat kompleks, bukan saja berkaitan dengan upaya penegakan hukum, tetapi sarat dengan muatan politis, benturan kepentingan dan masalah ekonomi. Para pihak masing-masing mengkapitalisasi kasus hukum tertentu untuk kepentingan diri atau kelompok.
“Kami dari TPDI sejak awal fokus pada kasus dugaan penyalahgunaan wewenang, intimidasi terhadap masyarakat dan watawan, sepak terjang KH Destroyer bentukan Kapolres Nagekeo dan dugaan tindak pidana lainnya. Kami sama sekali tidak mengintervensi dan menghalangi proses hukum berkaitan dengan dugaan korupsi pembangunan pasar Danga yang sedang ditangani Polres Nagekeo. Kami dukung Polres Nagekeo untuk tuntaskan kasus hukum tersebut agar tidak jadi mainan politik dari pihak-pihak yang berambisi jadi pemimpin di Nagekeo,” tegas Yon.
Hal senada disampaikan oleh politisi partai Demokrat, M.Tardy Mbalembout, SH, MH. Dia menegaskan, agar persoalan Nagekeo harus diselesaikan melalui jalur hukum, baik menyangkut persoalan Pasar Danga maupun dugaan tindak pidana yang melibatkan Kapolres Nagekeo sebagaimana dilaporkan oleh TPDI ke Divisi Propam Mabes Polri, Kompolnas dan instansi terkait lainnya belum lama ini.
“Masyarakat harus membedakan bahwa ada dua kasus hukum yang jadi tranding topic di masyakarat saat ini. Kasus Pasar Danga sudah diproses dan sudah ditetapkan beberapa tersangka. Polres segera tuntaskan itu. Kasus hukum yang dilaporkan TPDI juga harus diproses oleh pihak yang berwenang. Biarkan hukum yang berbicara. Masyarakat tidak perlu terpengaruh oleh framing yang diciptakan pihak tertentu yang justru menambah runyam situasi di Nagekeo,” tegas Tardi
Invisible Hand
Sementara itu Letkol (Purn) Yosef Ratu menduga ada motif lain yang jadi pemicu kegaduhan dan perpecahan di antara masyarakat Nagekeo.
“Kalau murni kasus hukum, tanpa motif lain, maka kasus hukum di Nagekeo sebenarnya tidak menjadi sumber perpecahan di antara masyarakat Nagekeo, karena kasus hukum adalah kewenangan penyidik Polri. Tidak bisa diintervensi pihak lain,” tegasnya.
Yosef Ratu mensinyalir ada tangan yang tak kelihatan (invisible hand) yang menjadi sutradara dan sekaligus beking dari kelompok yang begitu militan mendukung Kapolres.
“Dari narasi kelompok pro Kapolres, tampak ada orang kuat di belakang dia dan para pendukung. Mereka begitu jumawa terhadap langkah hukum yang ditempuh di TPDI. Seolah-olah langkah hukum TPDI mubazir,” paparnya.
Hal senada disampaikan Dr. Ignas Iriyanto Jou, Paskalis da Cuncha, SH, Drs. Aleks Dungkal, Romsnus Muda Kota, S.Fil, SH. Mereka sependapat bahwa persoalan di Nagekeo _by design._ Ada sutradara dan bekingnya. Tampaknya ada objek yang menjadi target sosok-sosok invisible hand, yaitu Proyek Strategis Nasional Waduk Mbay-Lambo. Di sana ada dana besar sekitar Rp 1,8 T. Masyarakat diadu domba dan saling mendiskreditkan satu sama lain dan lupa ada sumberdaya yang diincar orang.
Sementara itu Pieter Sambut mengingatkan para tokoh supaya belajar dari kasus serupa di Labuanbajo beberapa tahun lalu.
Di lihat dari modus dan strateginya tampak sangat mirip. Ada tangan tersembunyi yang bermain dengan menggunakan orang-orang lokal sebagai tameng atau buzzer. Orang-orang lokal ini dilatih khusus sehingga jadi militan dan loyal. Mereka menyerang siapapun tanpa etika dan bahkan secara kasar serta brutal tanpa kecuali.
Bahkan institusi gereja Katolik dan para klerus, termasuk pimpinan tertinggi Keuskupan Ruteng tidak luput dari serangan brutal. Uskup Ruteng, alm Mgr Hubertus Leteng harus lengser dan diasingkan dari padang penggembalaannya karena vokal menentang ketidakadilan dan konsisten memperjuangkan keutuhan ciptaan, termasuk sumberdaya lokal yang menjadi incaran para petualang yang ingin meraup abnormal profit untuk kepentingan diri/kelompok.
Mengakhiri pertemuan, Yon Doy, SH sebagai putra daerah Nagekeo sangat sedih mendengar adanya invisible hand yang bermain di Nagekeo dan sekaligus beking bagi pion-pion yang mereka ciptakan.
“Sebagai putra daerah yang lahir dan besar di Nagekeo saya sedih melihat perpecahan masyarakat Nagekeo saat ini. Sebelum ada proyek strategis nasional waduk Mbay-Lambo tidak ada riak sosial, politik dan hukum di Nagekeo. Aman tentram. Saya sangat shok apabila invisible hand itu adalah elit-elit dari Nagekeo sendiri.” ujarnya menutup pertemuan.
Sejumlah tokoh Flores diaspora yang hadir antara lain Paul Doni Ruing dari Lembata, Paskalis da Cuncha dan Petrus Selestinus dari Sikka, Ignas Irianto Jou dan Richard Raja dari Ende, Hans Aja, Romanus Muda Kota, Klemens Ame dan Yon Doy dari Nagekeo, Yosef Ratu dan Aleks Dungkal dari Ngada dan Pieter Sambut dari Manggarai. Didi Nong Saya dan Jack Jagong berhalangan hadir.