Jakarta -Pemberitaan beberapa media nasional (12/4/2023) bahwa Hak Pengelolaan Lahan (HPL) atas Pulau Rempang telah diberikan Kementerian ATR/BPN kepada BP Batam sebagai berita yang diragukan kebenarannya, karena Kementerian ATR/BPN hingga saat ini masih kesulitan untuk mendapatkan kepastian soal luas dan batas-batas lahan sebagai syarat untuk diterbitkan HPL.
Demikian ditegaskan oleh Petrus Selestinus, SH, Koordinator TPDI dan Advokat Perekat Nusantara melalui rilis yang diterima media ini, Senin (25/9).
“Pernyataan Muhammad Rudi, Kepala BP. Batam dan Bahlil Lahadalia, Menteri Investasi dan BKPM pada 12/4/2023 lalu bahwa BP. Batam telah memperoleh HPL atas Pulsu Rempang dari Kementerian ATR/BPN, patut diduga sebagai suatu kebohongan publik demi memuluskan upaya untuk menggusur warga dari Pulau Rempang,” tegas Petrus.
Kebohongan Muhammad Rudi dan Bahlil Lahadalia itu, lanjut Petrus, kemudian diperjelas oleh pernyataan Menteri ATR/ BPN, Hadi Tjahjanto pada 17/9/2023 bahwa, hak pengelolaan lahan (HPL) Pulau Rempang untuk BP Batam masih dalam proses, karena hingga sekarang masalah luas dan pematokan batas-batas lahan yang hendak diberikan HPL masih bermasalah akibat penolakan warga.
Menteri Hadi Tjahjanto sebelumnya menegaskan, bahwa Kementerian ATR/BPN belum bisa memastikan kapan HPL BP Batam bisa diterbitkan. Soal pematokan dan pengukuran lahan di Pulau Rempang bermasalah, karena warga keberatan dan menolak pematokan itu.
Pernyataan Menteri ATR/BPN ini sekaligus membantah pernyataan Muhammad Rudi dan Bahlil Lahadalia pada 12/4/2023.
Menurut Petrus, publik menilai bahwa pernyataan Menteri ATR/BPN Hadi Tjahjanto, sebagai pernyataan yang jujur, benar dan transparan serta melegakan publik. Hal itu bertentangan dengan pernyataan Rudi dan Lahaladia.
“Tampaknya ada yang salah dalam manajemen kebohongan oleh elit pejabat negara kita. Semua pejabat atau pimpinan Kementerian berlomba-lomba memberikan klarifikasi yang berbeda-beda atas kasus Pulau Rempang. Mereka memproduksi kebohongan pejabat yang satu untuk menutupi kebohongan pejabat yang lain dengan target Pulau Rempang harus segera dikosongkan,” kata Petrus.
Kebohongan-kebohongan yang diproduksi oleh para elit, kata Petrus, bukan menyelesaikan masalah, tapi justru membangkitkan kekuatan perlawanan rakyat secara spontan sebagai bentuk empati kepada warga Pulau Rempang, yang terancam tergusur secara tidak berperikemanusiaan oleh Negara atas nama investasi dan Proyek Strategis Nasional (PSN).
Petrus berharap, Presiden Jokowi sebaiknya menunjuk pejabat Negara yang masih netral dalam menyelesaikan konflik masyarakat Pulau Rempang dengan BP Batam. Kendalikan pejabat yang tidak populis.
“Sebaiknya Presiden Jokowi menunjuk Menko Perekonomian Airlangga Hartarto, Menteri Agraria Hadi Tjhajanto, Gubernur Kepri, Ketua Komnas HAM dan dari unsur Masyarakat WALHI sebagai Mediator sekaligus pengganti Panitia Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum,” saran Petrus.