Senin, 27 Mei 2024 dosen Antropologi Budaya, Andi Haryati Hasrib melakukan study budaya bersama mahasiswa prodi DIII Keperawatan Universitas Andi Sudirman pada masyarakat suku bajo di bajoe. Study budaya ini dilakukan dalam rangka mengenal adat budaya suku Bajo khususnya dalam bidang kesehatan sebagai salah satu materi yang harus diketahui mahasiswa pada mata kuliah Antropologi Kesehatan
Suku bajo adalah suku yang kehidupannya erat kaitannya dengan laut dan keahlian dalam menangkap ikan meski saat ini banyak tinggal didarat tetapi ketergantungan suku ini terhadap laut belumlah hilang. Anak-anak mereka berteman dan bermain dilaut. Mereka hidup dan dihidupi dengan lingkungan laut. Kemungkinan besar karena alasan inilah mereka membangun rumah ditepian pantai atau diatas permukaan laut yang dangkal.
Dalam study ini kami mengambil data dari 2 informan suku bajo untuk menanyakan berbagai hal seperti budaya atau perilaku masyarakat suku bajo dalam menanggapi penyakit tapi karna study budaya ini menggunakan pendekatan perspektif holistik maka mahasiswa bisa bertanya diluar dari tema kesehatan seperti budaya melaut, budaya pernikahan, budaya hakikah, pandangan suku bajo terhadap pendidikan dan lain sebagainnya.
Adapun informasi yang kami dapatkan yang berkaitan dengan kesehatan adalah pengobatan suku bajo dalam menangani sakit yakni dengan menggunakan air disertai dengan “jappi-jappi” yang mereka yakini dapat menangani sakit yang dideritanya. Mereka juga menggunakan bahan-bahan herbal dalam menangani sakitnya, beda penyakit beda bahan herbalnya. Salah satu contoh ramuan atau obat tradisional yang digunakan suku bajo adalah kunyit campur santan untuk menangani perut kembung dan ternyata ini sejalan dengan arikel yang dibagikan Dinas kesehatan Jogja yang menyatakan bahwa Kurkumin pada kunyit membantu mengurangi tekanan gas pada perut dan membantu lambung untuk menghentikan produksi asam secara berlebihan (https://dinkes.jogjaprov.go.id/berita/detail/15-manfaat-kunyit-untuk-kesehatan-secara-ilmiah-perkuat-imun).
Kami juga menanyakan budaya melaut suku Bajo yakni apabila suaminya pergi melaut, istrinya tidak boleh pergi jauh dari rumah dan tidak boleh berisik dalam rumah karna diyakini ikan-ikan dilaut akan menjauh dan susah ditangkap. Suku bajo juga memiliki tradisi yang di sebut Bapongka merupakan kegiatan melaut dengan bermalam dilaut selama 3 hari sampai sebulan. Mereka pergi ke satu tempat di luar kampungnya untuk mencari hasil laut secara berkelompok . setiap kelompok terdiri dari 3-5 perahu, masing-masing perahu terdapat 1 orang.
Pembentukan kelompok kecil bapongka lebih sering dilakukan berdasarkan kedekatan hubungan, biasanya kelompok kecil ini akan bertemu dengan kelompok kecil lainnya di suatu lokasi penangkapan ikan dan akhirnya membentuk kelompok besar yang jumlahnya bisa mencapai 15 bahkan 20 perahu.
Suku Bajo memiliki identitas yang membedakan antara dirinya dengan suku lain seperti memasang bendera ula-ula pada saat digelarnya acara-acara tertentu seperti acara pernikahan (Pabbottingang), acara sunatan (sunna’). Bendera ula-ula berbentuk menyerupai manusia, memiliki kepala, dua tangan, dan dua kaki. Ula-ula sendiri merupakan representasi sang leluhur.
Di suku Bajo lain, ula-ula bahkan dipasang di perahu. Sebagai simbol bahwa nenek moyang bersama mereka melaut. Saat bendera tersebut dinaikkan harus diiringi dengan taburan gendang dan Gong. Apabila tuan rumah yang membuat hajatan tidak memasang bendera ula-ula tersebut biasanya akan ada hal – hal yang tidak dinginkan terjadi apakah tuan rumah tersebut tiba-tiba sakit, kesurupan bahkan meninggal. Suku Bajo juga memiliki budaya saat bayi lahir, ari-arinya dibuang ke laut dan tidak boleh melihat ke kanan dan ke kiri ketika membuang ari-ari tersebut karena dipercaya dapat membuat mata si bayi juling. Pada ibu hamil tidak boleh melilitkan handuk di lehernya karna diyakini janin dalam kandungannya akan terlilit tali pusat
Lalu, bagaimana pandangan suku bajo terhadap pendidikan ? dulu Suku Bajo menyekolahkan anaknya hanya sampai tingkat SD asalkan anaknnya sudah bisa membaca dan menulis maka anak tersebut akan berhenti sekolah walaupun baru kelas 2 atau kelas 3 SD dan kalau sudah bisa ikut melaut maka anak tersebut akan ikut bersama ayah atau keluarganya melaut karna suku bajo dulu punya pemikiran bahwa “anak saya tidak usah sekolah tinggi-tinggi karna tidak mungkin juga anak saya jadi guru, sudah banyak guru” tapi itu dulu. Sekarang, seiring dengan perkembangan zaman yang sudah modern, maka baik itu perilaku masyarakat suku bajo dalam menanggapi penyakitnya sudah menggunakan layanan kesehatan tanpa meninggalkan budaya “jappi-jappi” dan bahan herbalnya dalam menangani sakit maupun pandangan suku bajo terhadap pendidikan sdh baik, mereka yang memiliki ekonomi menengah ke atas menyekolakan anaknnya sampai ke Perguruan Tinggi.
Itulah sedikit ilmu yang bisa saya paparkan terkait study budaya pada masyarakat suku bajo d Bajoe, diharapkan kepada pembaca agar dapat memahami, menghargai budaya yang ada pada masyarakat suku bajo
Akhir kata izinkan saya membuat kutipan “ pendidikan memiliki peran yang sangat penting untuk masa depan individu dan masyarakat. Selain memberikan pengetahuan dan keterampilan, pendidikan juga membantu dalam membangun karakter, peningkatan kesempatan kerja, pemberdayaan individu dan menciptakan masyarakat yang lebih maju dan harmonis” untuk itu tempulah pendidikan setinggi mungkin. (*)