KEFAMENANU,- Wakil Bupati Timor Tengah Utara, Nusa Tenggara Timur Drs. Eusabius Binsasi membuka kegiatan lokakarya penyusunan panduan/pedoman penanganan dan rujukan layanan kekerasan seksual berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) di NTT yang berkeadilan gender dan inklusif.
Kegiatan ini diselenggarakan oleh Forum Pengada Layanan di NTT khususnya di daratan Timor yang terdiri dari Yayasan Amnau Bife Kuan (YABIKU) NTT, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Apik NTT dan Sanggar Suara Perempuan Soe, Timor Tengah Selatan (TTS) di Frawijaya Holl, Rabu (22/5).
Lokakarya ini berlangsung selama 3 hari, tanggal 22-24 Mei 2024. Atas kerjasama FPL Nasional dan didukung The Asia Fondation.
Dalam sambutannya, Wakil Bupati yang didampingi langsung Direktur YABIKU NTT, Maria Filiana Tahu dan hadir secara online Direktur program The Asia Fondation, Ibu Renata Arianingtyas serta Sekertaris Nasional (Seknas) FPL Indonesia, Ibu Ziti Mazuma memberikan apresiasi yang tinggi kepada Forum Pengada Layanan NTT khusus di daratan Timor (Yayasan Amnau Bife Kuan (YABIKU) TTU, Lebaga Bantuan Hukum (LBH) Apik NTT, Sanggara Suara Perempuan (YSSP) Soe, TTS, yang menginisiasi kegiatan yang penting dan bermartabat ini.
“Kegiatan ini merupakan langkah konkret yang sangat dibutuhkan dalam upaya kita menangani dan merujuk layanan kekerasan seksual,” tegas Wabup Eusabius.
Dikatakan, berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual, mengamanatkan untuk memberikan perlindungan maksimal kepada korban kekerasan seksual.
Undang-undang ini menjadi landasan hukum yang kuat bagi semua untuk bertindak tegas dan tepat dalam menangani kasus-kasus kekerasan seksual.
“Patut kita apresiasi karena Forum Pengada Layanan NTT, melalui inisiatif YABIKU, LBH Apik NTT, dan Sanggar Suara Perempuan (YSSP) TTS, telah menunjukkan komitmen yang luar biasa dalam upaya ini,” ungkap Wabup Eusabius.
Menurutnya, lokakarya yang di laksanakan hari ini bertujuan untuk menyusun Standar Operasional Prosedur (SOP) rujukan kasus kekerasan seksual yang inklusif. Hal ini sangat penting untuk memastikan bahwa setiap langkah yang diambil dalam penanganan dan rujukan kasus kekerasan seksual sesuai dengan standar yang telah ditetapkan dan mampu memberikan perlindungan serta bantuan yang dibutuhkan oleh korban.
Wabup Eusabius dalam lokakarya tersebut, menekankan tiga hal penting untuk perhatikan bersama yakni;
1. SOP yang disusun harus inklusif dan sensitif terhadap kebutuhan korban. Kita harus memastikan bahwa setiap korban mendapatkan perlindungan dan layanan yang tepat tanpa diskriminasi.
2. SOP harus menjamin koordinasi yang efektif antar lembaga terkait, baik itu di tingkat pemerintah daerah, kepolisian, layanan kesehatan, maupun organisasi masyarakat sipil
3. SOP harus mudah dipahami dan diimplementasikan oleh semua pihak yang terlibat dalam penanganan dan rujukan kasus kekerasan seksual.
Pasangan Bupati Drs. Juandi David ini berharap lokakarya dapat menghasilkan pedoman penanganan dan alur rujukan kasus kekerasan seksual yang komprehensif dan aplikatif.
“Dengan adanya pedoman ini, kita dapat memberikan perlindungan yang lebih baik kepada korban dan memastikan bahwa setiap kasus kekerasan seksual ditangani dengan serius dan profesional,”tukasnya.
Diakhir sambutan, mantan Dirjen Bimas Katolik RI ini mengucapkan terima kasih kepada Forum Pengada Layanan NTT, khususnya YABIKU, LBH Apik NTT, dan Sanggara Suara Perempuan (YSSP) TTS, atas inisiatif dan kerja kerasnya dalam menyelenggarakan lokakarya ini.
“Ucapan terima kasih juga kepada The Asia Fondation yang telah memberikan perhatian kepada masyarakat NTT melalui Forum Pengada Layanan untuk melaksanakan program bermartabat ini,” pungkasnya.
Direktur YABIKU NTT, Maria Filiana Tahu mengatakan, kegiatan ini sesungguhnya didesign berdasarkan perintah undang-undang Nomor 12 Tahun 2022 untuk memaksimalkan pelayanan di mana setiap stakeholder harus mempunyai peran untuk memberikan yang terbaik bagi korban kekerasan seksual.
Oleh karena itu, imbuh Filiana Tahu, begitu ia disapa rujukan dan layanan benar-benar harus inklusi dan melibatkan semua pihak yang memberikan pemenuhan terhadap hak korban kekerasan seksual.
“Berharap, hasil dari Lokakarya ini menghasilkan satu panduan yang bisa digunakan oleh semua pihak, baik lembaga-lembaga peduli perempuan dan anak dikalangan lembaga layanan maupun di Pemerintah,” imbuhnya.
Amatan wartawan, Lokakarya dihadiri para peserta yang berasal dari Pemerintah dalam hal ini DP3A dari Kabupaten TTU, TTS dan Kabupaten Kupang, Rumah Sakit Daerah, serta sakti peksos dari Dinas Sosial kabupaten TTU.
Selain itu hadir juga, Satgas PP TPKS dari UNIMOR dan STIH CW Kefamenanu, Tim pencegahan Kekerasan dari SMA Negeri 1 Kefamenanu, Yayasan Tapen Bikomi, juga lembaga layanan korban yang ada di lembaga keagamanan misalnya PPA Gmit-Imanuel dan Muslimat NU Kefamenanu, serta beberapa paralegal komunitas.