Catatan Yos Naiobe dari Bone
Pemandangan memprihatinkan saat menyaksikan siswa SDN 238 Ujung Tanah, Kecamatan Mare, Kabupaten Bone, Sulawesi Selatan. Setiap hari harus menyebrangi sungai agar bisa sampai ke sekolah. Pada musim penghujan para siswa terpaksa memilih libur. Bila nekat artinya harus siap untuk bertarung nyawa.
Kondisi ini telah berlangsung bertahun-tahun dan luput dari perhatian pemerintah Kabupaten Bone. Secara geografis, para siswa yang berasal dari
Dusun Useng Desa Ujung Tanah Kecamatan Mare, memang sangat terisolasi. Hal ini diperparah dengan kurangnya perhatian pemerintah setempat membangun infrastruktur berupa jembatan di wilayah itu. Pemerintah bisa saja beralasan minim anggaran.
Alasan ini tidak masuk akal. Sebab pembangunan jembatan sangat urgen dan dibutuhkan untuk membantu siswa. Seorang siswa, Auliyah mengatakan membutuhkan jembatan penyeberangan sebab bila musim hujan terjadi banjir, Auliyah dan siswa lain tidak berani ke sekolah.
“Kalau banjir saya tidak ke sekolah karena takut hanyut,” ujarnya Senin (26/8).
Pengakuan Auliyah, mengingatkan para pengambil kebijakan terutama bupati dan dinas terkait untuk memenuhi permintaan siswa. Apalagi sungai yang memiliki lebar lebih kurang 60 meter, bila banjir meluap dipastikan menebar ancaman maut. Karena itu Auliyah dkk tentu saja tidak berani ke sekolah dan memilih libur ketimbang nyawa terancam.
Dusun Useng, Desa Ujung Tanah, dihuni 30 kepala keluarga. Para siswa yang tinggal bersama keluarga di dusun ini paling berdampak dengan sungai tersebut. Dapat dibayangkan tingkat kesulitan bagi anak-anak. Setelah menyebrangi sungai, di ujung sana masih terbentang jarak tempuh sejauh lebih dari satu kilometer yang harus ditempuh agar bisa tiba di sekolah. Pertanyaan kita hari ini adalah kemerdekaan ini untuk siapa?
