Dinamika Pemilihan Kepala Daerah Yang Sehat dan Bermartabat

Dinamika Pemilihan Kepala Daerah Yang Sehat Dan Bermartabat
Sosmed-Whatsapp-Green
Zonanusantara.com Hadir di WhatsApp Channel
Follow

Oleh Oswin Nule

Pemilihan kepala daerah (bupati, gubernur dan walikota) sebagai salah satu agenda besar demokrasi mewajibkan masyarakat untuk memilih kepala daerah secara langsung dan berkala.

Jumlah pemilih yang tinggi sering dengan latar belakang yang berbeda-beda menimbulkan pertentangan dan gesekan di publik terjadi. Keadaan yang menegangkan karena pertentangan dan gesekan inilah yang kemudian kita sebut sebagai Dinamika.

Secara etimologis, kata dinamika berasal dari bahasa Yunani yakni “dynamics” yang bermakna kekuatan.

Sementara menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), dinamika artinya gerak dari dalam, tenaga yang menggerakkan, dan semangat. Ada juga pandangan lain dari seorang bernama Slamet Santoso (2004) tentang dinamika, menurut Slamet dinamika adalah tingkah laku yang langsung mempengaruhi warga lain secara timbal balik.

Di sadari atau tidak di sadari pengertian tentang dinamika tersebut telah terpraktekan dalam momentum pemilihan kepala daerah. Arti dinamika sebagai kekuatan, gerak dari dalam dan semangat padahal sangat relevan dan menyatuh dengan keadaan di masyarakat.

Walaupun dinamika adalah hal yang lumrah dalam satu perhelatan politik, ternyata masih ada masyarakat yang merasa tabuh. Dinamika dalam konteks yang lain mungkin di pahami oleh masyarakat namun kalau dalam konteks Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) khususnya di Kabupaten Timor Tengah Utara, dinamika masih di anggap sebagai “barang baru.”

Menurut penulis hal ini terjadi karena beberapa faktor yakni:

1.      Rendahnya tingkat pendidikan

2.      Minimnya asupan informasi

3.      Pengalaman yang sangat terbatas

Selain masyarakat yang masih merasa tabuh dengan dinamika, ada juga yang sudah sangat paham dengan dinamika dan malah sudah berhasil mempraktekannya di lapangan. Dua karakter masyarakat yang paham dan tidak paham inilah yang kemudian turut melahirkan dinamika. Selain itu ada juga faktor lain yang mempengaruhi dinamika itu lahir yakni keberpihakan terhadap salah satu kandidat atau figur. Ini merupakan faktor politis yang wajar dan juga secara signifikan mempengaruhi tensi pilkada. Bagi orang yang sangat paham dengan dunia politik mereka akan menjadikan dinamika sebagai strategi untuk mencapai kemenangan. Sebaliknya bagi mereka yang tidak paham akan menghindar dan berpotensi kalah karena tergilas oleh dinamika itu sendiri.

Dinamika yang mulai di hidupkan untuk mempengaruhi orang lain dengan tujuan mengakomodir segalah bentuk harapan dan cita-cita yang di kehendaki oleh kelompook tertentu kemudian memunculkan isu sebagai “senjata” untuk melumpuhkan pihak lawan. Dalam kehidupan berdemokrasi dinamika tidak di larang namun ada batasan-batasan yang harus di patuhi dan di jalankan dengan penuh komitmen dan tanggung jawab. Contohnya dalam membangun isu untuk memenangkan salah satu kandidat, harus isu yang sehat dan bermartabat. Apalagi jika isu tersebut menjadi konsumsi publik akan sangat berbahaya jika di kemas dengan dendam dan kebencian. Silahkan ciptakan isu karena tidak di larang dan merupakan bagian dari strategi politik. Akan tetapi harus bisa di pastikan agar jangan sampai isu itu membawa kita pada kehancuran.

Baca Juga :  Ekho Wahyudi: Kunjungan Jokowi ke Bone Harus Jadi Momentum Peningkatan Kesejahteraan

Menurut penulis apapun ukuran dinamika yang baik dan ideal, ukuran paling tinggi adalah dinamika yang sehat dan bermartabat. Sangat tidak elok jika hubungan dan relasi yang sudah di bangun bertahun-tahun hancur karena sebuah isu. Amat di sayangkan pula jika kita  terpecah belah hanya karena sebuah isu. Dan akan sangat di sesalkan jika hubungan darah di antara kita sebagai sesama saudara terputus hanya karena sebuah isu murahan. Jika ingin menyerang, seranglah gagasan, ide dan pemikirannya bukan fisik, bukan rambut, bukan warna kulit, bukan agama, bukan suku, dan bukan ras.

Pertarungan yang sehat adalah pertarungan yang mengadu visi-misi dan program kerja bukan asal-usul suku, ras, dan agama. Mungkin yang penulis tangkap ini akan berbeda dengan yang di lihat oleh orang lain. Namun penulis yakin apa yang penulis sampaikan di atas tidak keliru karena penulis juga mengikuti secara baik dinamika yang selama ini terjadi di masyarakat baik di media sosial maupun di lapangan. Dalam berdinamika martabat lawan juga harus di hargai dan junjung tinggi. Ibarat dalam peperangan jika ingin menjadi seorang satria sejati maka wajib hukumnya untuk menghargai dan menjunjung tinggi harga diri dan wibawa dari pihak lawan. Jangan semena-mena karena kebebasan sekalipun juga memiliki batasnya.

Kini di media sosial banyak isu bertebaran namun kebanyakan dari isu itu sangat sedikit yang mempertimbangkan sisi martabat dan harga diri orang lain. Saya merasa banyak masyarakat telah terdoktrin dengan ajaran hitam yang menganggap “Politik itu keras, jadi apapun bisa di halalkan dan siapapun bisa di korbankan.” Masyarakat yang awam ketika terpapar oleh doktrin seperti ini pasti serta-merta akan menelannya bulat-bulat tanpa terlebih dahulu menguji kebenarannya. Hal semacam ini kemudian berimbas sampai pada ajang pilkada.

Harapan banyak orang termasuk saya adalah kami akan sangat senang apabila tensi politik memanas karena persaingan ide dan gagasan. Dan kami juga pasti akan sangat kecewa dan menyesal jika memanasnya pilkada di sebabkan karena saling serang pribadi. Dualisme ini yang sementara terjadi dan sebagai negara yang demokratis wajib melakukan refleksi dan pembenanahan karena nilai demokrasi benar-benar di pertaruhkan secara mutlak dalam setiap momentum pemilu termasuk pilkada. Bukan ingin mengutuk tapi saya berkeyakinan bahwa kita bisa gagal menjadi negara demokrasi apabila kesadaran masyarakat tentang politik yang sehat dan bermartabat masih rendah. Bahkan kita akan kehilangan DNA kita sebagai negara demokrasi apabila terjadi perpecahan dan pertumpahan darah hanya karena menggunakan politik sebagai senjata untuk  menyerang dan menghancurkan orang lain.

Baca Juga :  Bone Siap Bersaing, Bimtek Penyuluh Pertanian dorong Peningkatan Produksi Padi Nasional

Kita mesti sadar bahwa walaupun arena perhelatan pemilu hanya di level daerah, akan tetapi nilai demokrasi tetap di pertaruhkan. Justru pilkada juga adalah salah satu arena politik yang dapat menguji seberapa demokratis bangsa ini. Tentu semua yang baik hanya akan di capai dengan proses perjuangan yang panjang. Saya tetap percaya dari waktu ke waktu masyarakat kita akan mampu berubah menjadi lebih bijakasana dalam berdinamika dan berpolitik. Intinya tetap menjaga kesadaran, rasionalitas dan perasaan agar dinamika yang sehat dan bermartabat dapat terus tumbuh dan terpelihara dengan baik.

Orang tentu memiliki ukurannya masing-masing dalam melihat dinamika politik yang baik dan ideal. Namun penulis yakin bahwa dinamika politik yang baik dan ideal hanyalah dinamika yang sehat dan bermartabat. Penulis berani simpulkan bahwasannya orang atau kelompok yang tetap menganggap tabu dan cenderung menolak dinamika dalam pilkada akan bertemu dengan kegagalan. Hal ini terjadi karena dinamika adalah elemen penting  dari perubahan, bahkan perubahan itu akan menjadi hal yang utopis atau mustahil jika dalam prosesnya tidak ada dinamika. Bahkan karena dinamika begitu penting dalam proses perubahan orang kemudian menganggap proses (dinamika) dalam konteks apapun menjadi hal yang paling daripada hasilnya. Sudah tentu kedepan dinamika yang terjadi pasti tensinya akan lebih tinggi dari sekarang. Semakin dekat dengan momentum pemilihan dinamikanya akan semakin memanas hingga ketika perhelatan selesai maka dengan sendirinya semua keadaan yang menegangkan akan kembali normal seperti biasa.

Sampai sekarang penulis melihat dinamika pilkada di banyak tempat terlebih di kabupaten Timor Tengah Utara khususnya masih berjalan dengan wajar dan belum ada yang bombastis dan membahayakan. Semoga kedepan masyarakat kita menjadi lebih bijaksana dalam berpolitik sehingga proses pemilihan kepala daerah dapat berjalan dengan aman, tertib, dan damai serta pemimpin yang terpilih pun adalah pemimpin yang benar-benar mampu mengabdikan dirinya untuk masyarakat.

Dalam dunia pergerakan terkenal sebuah adegium “Bangsa Yang Menolak Perubahan Akan Tergilas Oleh Perubahan Itu Sendiri”. Masih dalam kaitannya dengan dinamika pilkada, seorang politikus sekaligus akivis 98 Adian Napitupulu juga pernah berkata “semakin tinggi dinamika dan partisipasi masyarakat dalam setiap momentum pemilu maka semakin demokratis pula masyarakat tersebut.” Oleh karena itu berdinamikalah  dengan cara-cara yang sehat dan bermartabat karena itu tidak di larang dan justru merupakan bagian dari usaha untuk memupuk demokrasi agar bisa tetap semakin hidup dan tumbuh subur di negara tercinta kita: Indonesia. Merdeka !

Ikuti Zonanusantara.com untuk mendapatkan informasi terkini.
Klik WhatsApp Channel & Google News

Related posts