Demokrasi, Siri’Na Pacce dan Jalan Pulang Ke Akar Budaya

Demokrasi, Siri'Na Pacce Dan Jalan Pulang Ke Akar Budaya
Rohzali Putra Badaruddin, SH Komisioner Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Kabupaten Bone

Demokrasi di Indonesia selalu menjadi medan tarik antara keinginan publik atas pemerintahan yang representatif dan kebutuhan menjaga akar Budaya serta norma agama. Dalam masyarakat Bugis di Sulawesi Selatan, terdapat warisan filosofis yang dalam, yaitu pangadereng, yang meliputi unsur-adat (ade’), norma sosial (rapang), peraturan lisan dan hukum adat (bicara), hierarki sosial (wari’), dan setelah Islam mengakar, unsur syariat (sara’) turut menjadi bagian integral dari sistem nilai masyarakat Bugis. Interaksi antara unsur Islam dan adat lokal ini, terutama melalui nilai siri’ na pacce, membentuk jenis demokrasi yang tidak hanya prosedural tetapi juga etis dan manusiawi. Penelitian kualitatif di Bugis-Makassar menunjukkan bahwa siri’ na pacce — di mana siri’ mengandung makna harga diri, malu bermartabat, dan kehormatan serta pacce mengandung rasa empati, kepedulian sosial, dan solidaritas — berfungsi sebagai dasar moral dalam penyelesaian konflik sosial serta sebagai alat kontrol sosial yang menjaga keadilan dan keharmonisan masyarakat (Humaniora Sains, 2025).

Nilai-nilai ini sangat cocok bila disejajarkan dengan konsep demokrasi dalam Islam, khususnya syura (musyawarah) dan ‘adl (keadilan). Dalam Al-Qur’an dan hadis, syura digambarkan sebagai mekanisme bagi umat untuk berdiskusi dalam persoalan umum; keputusan yang diambil melalui musyawarah diyakini membawa keberkahan dan legitimasi moral lebih tinggi. Penelitian literatur kontemporer di Indonesia, seperti Aksin, Nurjanah, & Kurniawan (2025), menunjukkan bahwa prinsip-prinsip demokrasi seperti kebebasan berpendapat, partisipasi, persamaan di hadapan hukum, dan keadilan sosial mendapat dukungan kuat dari ajaran Islam.

Ketika Islam diterima dalam kerangka kerajaan-kerajaan Bugis seperti Bone dan Wajo, unsur sara’ dalam pangadereng menjembatani adat dan syariat. Sebelum kedatangan Islam, pangadereng mengandung keempat unsur adat; kemudian syariat Islam masuk dan memperkaya pangadereng dengan norma agama yang mengatur moral publik, perilaku pemimpin, dan kehidupan spiritual masyarakat adat Bugis (Nurnaningsih, 2015). Dari situ, demokrasi tidak dipahami sekadar sebagai kompetisi politik, melainkan juga sebagai kesadaran menjaga martabat manusia dan solidaritas sosial.

Baca Juga :  Penunjukkan Ayodhia Kalake Sebagai Pj Gubernur NTT Kangkangi Demokrasi

Jika ditarik perbandingan, nilai demokrasi berbasis budaya ini juga hadir dalam komunitas lokal lain di Nusantara. Misalnya pada masyarakat Minangkabau, falsafah adat basandi syarak, syarak basandi Kitabullah (adat bersendi agama, agama bersendi kitabullah) menunjukkan integrasi antara Islam dan adat, hampir paralel dengan pangadereng Bugis. Demokrasi Minangkabau tercermin dalam sistem nagari yang menekankan musyawarah dan mufakat, di mana musyawarah di balai adat menjadi sarana deliberasi kolektif. Peneliti seperti Kato (2005) menegaskan bahwa sistem nagari adalah salah satu bentuk demokrasi lokal yang paling mapan, karena menggabungkan representasi keluarga, kaum, dan tokoh agama dalam pengambilan keputusan.

Sementara pada masyarakat Jawa, terdapat konsep musyawarah mufakat yang lekat dengan filosofi harmoni (rukun). Clifford Geertz (1960) dalam kajian klasiknya menunjukkan bahwa budaya Jawa sangat menekankan pada kerukunan dan penghindaran konflik terbuka, sehingga musyawarah menjadi sarana menjaga konsensus. Walau berbeda dari siri’ na pacce yang berbasis kehormatan dan solidaritas, atau nagari Minangkabau yang berbasis adat dan syariat, musyawarah Jawa tetap memperlihatkan bagaimana nilai lokal memberi warna pada praktik demokrasi.

Kesamaan mendasar dari Bugis, Minangkabau, dan Jawa adalah penekanan pada musyawarah, kolektivitas, dan etika sosial. Perbedaannya terletak pada fondasi moralnya: Bugis menekankan siri’ na pacce, Minangkabau mengintegrasikan syariat Islam dalam adat, sementara Jawa menekankan harmoni sosial. Semua menunjukkan bahwa demokrasi Indonesia tidak pernah kosong dari nilai, melainkan selalu tumbuh dari dialektika agama dan budaya.

Baca Juga :  Bersikap Adil Kepada SPI

Namun, globalisasi, individualisme, dan modernisasi menghadirkan tantangan. Di Bugis, nilai siri’ dan pacce mulai terkikis oleh politik transaksional. Di Minangkabau, sistem nagari yang dulu deliberatif mengalami intervensi birokrasi negara. Di Jawa, musyawarah kadang dikritik karena terlalu mengedepankan konsensus sehingga mengabaikan suara minoritas. Meskipun demikian, ketiganya tetap memberi sumber inspirasi bagi demokrasi Indonesia: bahwa demokrasi tidak cukup berhenti pada prosedur pemilu, melainkan harus berakar pada etika, solidaritas, dan partisipasi kolektif.

Ketika Hari Demokrasi Internasional diperingati setiap 15 September, kita diingatkan bahwa demokrasi bukan hanya soal frekuensi pemilu apalagi sekadar suara mayoritas, tetapi tentang bagaimana demokrasi menyentuh manusia dengan martabatnya, menjaga siri’ (kehormatan), menghidupi pacce (empati), menghidupkan syarak dalam adat Minangkabau, dan menjaga harmoni dalam musyawarah Jawa. Peringatan ini menjadi momentum refleksi: apakah demokrasi di Indonesia sudah berkeadaban? Apakah ia sudah mengakar pada kearifan budaya lokal dan nilai religius, atau sekadar prosedur kosong? Jawaban atas pertanyaan itu sangat penting, sebab hanya demokrasi yang berakar pada budaya dan agama yang mampu bertahan di tengah gelombang globalisasi dan tetap berpihak pada rakyat. (*)

Tetap Terhubung
Ikuti Zonanusantara.com untuk mendapatkan informasi terkini.

Related posts