
BONE–Perayaan Hari Jadi Bone yang ke-694 menjadi momentum yang istimewa bagi masyarakat dan pemerintah Kabupaten Bone untuk merayakan dan memelihara warisan budaya yang kaya. Dalam rangka memeriahkan acara tersebut, berbagai tradisi budaya dilakukan, termasuk Massimang untuk Malekke Toja, yang merupakan ritual pengambilan air untuk persucian sebelum pelaksanaan Mattompang Arajang.
Pj. Bupati Bone, Drs. H. Andi Islamuddin, MH, mengungkapkan pentingnya tradisi Pra Mattompang sebagai bagian dari persiapan untuk menjaga kebersihan dan kelestarian benda pusaka Arajang. Kegiatan Pra Mattompang ini berlangsung di Museum Arajang, dan menariknya, disaksikan langsung oleh sejumlah tokoh penting, termasuk Pj. Gubernur Provinsi Sulsel, Dr. Bahtiar Baharuddin, M.Si, serta tamu kenegaraan dari Selangor Malaysia dan para Unsur Forum Komunikasi Pimpinan Daerah Kabupaten Bone.
“Setelah kegiatan Pra Mattompang akan digelar Mattompang Arajang sebagai puncak peringatan Hari Jadi Bone Ke-694 Sabtu, 20 April 2024 di halaman Kompleks Rumah Jabatan Bupati Bone,” ungkap Pj. Bupati Bone Jumat, 19 April 2024.
Dalam prosesi Pra Mattompang, benda-benda pusaka peninggalan Arung Palakka dibersihkan oleh para Bissu, yang merupakan bagian tak terpisahkan dari tradisi ini. Benda-benda seperti Teddung Pulaweng, Sembang Pulaweng, Kelewang Latea Ri Duni, Keris La Makkawa, Tombak La Sagala, serta Kelewang Alameng Tata Rapeng menjadi fokus pembersihan.
“Pentingnya prosesi ini tidak hanya sebagai bagian dari ritual budaya, tetapi juga untuk menjaga agar benda-benda pusaka tersebut tidak berkarat dan tetap terjaga keasliannya,” terangnya.
Menurut Pj. Bupati Bone, Drs. H. Andi Islamuddin, MH, Pra Mattompang merupakan bagian yang tak terpisahkan dari tradisi membersihkan benda pusaka sebelum pelaksanaan Mattompang Arajang. Hal ini dilakukan untuk memastikan bahwa prosesi Mattompang dilaksanakan dengan sempurna dan dalam keadaan bersih. Sehingga, Perayaan Hari Jadi Bone bukan hanya sekadar perayaan, tetapi juga kesempatan untuk memperkuat dan memelihara warisan budaya yang menjadi identitas dan kebanggaan masyarakat Bugis.
Dengan menjaga dan memelihara tradisi seperti Mattompang, masyarakat Bone menegaskan komitmen mereka untuk melestarikan dan mewarisi nilai-nilai budaya yang kaya kepada generasi mendatang.
“Perayaan Hari Jadi Bone yang ke-694 menjadi bukti nyata bahwa warisan budaya adalah sebuah harta yang harus terus dijaga, diperjuangkan, dan dirayakan bersama,” tandasnya.
Sementara itu, Sesepu Tokoh Adat Bone, H. Andi Muhammad Yushan Latenritappu, menguraikan secara mendalam tentang tradisi luar biasa Mattompang Arajang.
Tradisi ini, yang merupakan bagian penting dari warisan budaya Bone, dilaksanakan dengan penuh kekhusukan dan diwarnai oleh ritual yang kaya akan makna. H. Andi Muhammad Yushan Latenritappu menjelaskan bahwa proses Mattompang Arajang tidak sekadar membersihkan benda pusaka, tetapi juga sebuah upacara sakral yang menghubungkan masa lalu dengan masa kini.
Salah satu elemen penting dalam prosesi ini adalah penggunaan jeruk nipis untuk membersihkan benda pusaka hingga karatnya hilang dan kembali ke bentuk semula. “Kini, jarang sekali orang yang membuat dedak, maka pembersihan terakhir menggunakan Tissu,” jelasnya.
Tahapan-tahapan prosesi Mattompang Arajang memperlihatkan betapa dalamnya nilai-nilai kearifan lokal yang dipegang teguh oleh masyarakat Adat Bone. Sebelum benda pusaka dikeluarkan dari tempat persemayamannya, tradisi masa lampau mengamantrai oleh para bissu. Kemudian, benda pusaka itu diperlihatkan kepada Mangkao dan dewan adat sebelum menjalani proses Mattompang Arajang.
Prosesi selanjutnya, setelah persaksian oleh Mangkao dan dewan adat, benda pusaka diserahkan kepada Pattompang untuk dilanjutkan dengan acara Mattompang Arajang. Upacara ini, yang dipimpin oleh Bissu dan diiringi oleh gendang Bali Sumange, berlangsung hingga benda pusaka tersebut bersih dari segala kotoran dan karat.
“Setelah selesai dibersihkan, benda pusaka dikembalikan kepada Raja Bone (Mangkao) dan seluruh dewan adat untuk diperlihatkan dan disarungkan kembali,” lanjut H. Andi Muhammad Yushan Latenritappu.
Benda-benda pusaka yang dibersihkan meliputi Keris Lamakkawa dan Lateya Riduni, bersama dengan tujuh senjata pusaka Dewan Adat. Keris Lamakkawa, yang merupakan keris pusaka raja Bone, dikenal karena goresannya yang bisa mengakibatkan kematian seketika. Sementara Lateya Riduni, pedang alameng tata rapeng, memiliki sejarah yang mengagumkan karena muncul kembali setelah beberapa kali dikuburkan.
Selain itu, terdapat tujuh senjata pusaka lainnya yang dikenal sebagai Alameng Tata Rapeng, merupakan senjata pusaka dari tujuh kerajaan Bone. Salah satu di antaranya adalah Tombak La Salaga, yang merupakan milik Raja Arung Palakka yang legendaris.
Tradisi Mattompang Arajang juga mengungkapkan pentingnya pelatihan dan keturunan dalam melaksanakan upacara ini. Orang-orang yang melaksanakan prosesi ini biasanya telah terlatih sejak masa kerajaan hingga masa republik, dan kebanyakan diambil dari keturunan pawang atau Pattompang dengan makna dan pengetahuan yang mendalam.
“Dengan demikian, tradisi Mattompang Arajang tidak hanya merupakan penghargaan terhadap warisan budaya yang kaya, tetapi juga simbol kekuatan dan kesatuan masyarakat Adat Bone,” tandas H. Andi Muhammad Yushan Latenritappu yang juga merupakan Wasekjen Ikatan Cendekiawan Kraton Nusantara Pusat.
Dengan rincian yang begitu mendalam, pengungkapan H. Andi Muhammad Yushan Latenritappu tentang tradisi Mattompang Arajang mengungkap kekayaan budaya yang dijunjung tinggi oleh masyarakat Adat Bone, sementara juga menginspirasi untuk memelihara dan melanjutkan tradisi tersebut dalam jangka panjang.
Untuk diketahui bahwa salah satu dari sekian banyak pusaka yang menghiasi kejayaan Kerajaan Bone adalah La Salaga. Tombak ini, dengan pegangan dekat mata tombak yang dihiasi dengan emas, tak hanya menjadi alat perang, tetapi juga menjadi simbol kehadiran Raja. Kehadirannya melambangkan kekuasaan dan otoritas, mewakili keagungan leluhur dan tanggung jawab terhadap kerajaan.
Tak kalah megahnya, Alameng menampilkan keanggunan dalam setiap seratnya. Jenis Kalewang yang hulu dan sarungnya dilapisi dengan emas, menjadi bagian integral dari pakaian kebesaran Anggota Ade Pitu. Keindahannya tidak hanya terletak pada estetika, tetapi juga menandakan status sosial dan kehormatan dalam masyarakat.
La Makkawa, atau yang dikenal sebagai Tappi Tatarapeng, membawa cerita epik Kerajaan Bone ke-15, La Tenri Tatta Arung Palakka. Keris pusaka ini, dengan seluruh hulu dan sarungnya yang berlapis emas, bukan hanya sebuah senjata, melainkan penanda keabsahan dan kewibawaan seorang Raja. Kehadirannya melintasi waktu, menjadi bagian penting dalam upacara pelantikan dan pengangkatan Raja-Raja Bone.
Teddung Pulaweng, atau Payung Emas, melambangkan perlindungan dan kemegahan. Sejak zaman kejayaan Raja Bone ke-15, La Tenri Tatta Arung Palakka, payung pusaka ini telah hadir sebagai alat perlengkapan resmi dalam berbagai upacara kerajaan. Kehadirannya mencerminkan kesucian dan kewibawaan, menjadi penanda kemegahan sebuah tradisi yang abadi.
Sembang Pulaweng, atau Selempang Emas, menggambarkan hubungan yang kuat antara Kerajaan Bone dan Raja Pariaman. Sebagai penghargaan atas keberhasilan dalam membangun kerja sama, pusaka ini menjadi bagian tak terpisahkan dari upacara pelantikan dan penobatan Raja-Raja. Kecemerlangannya menjadi simbol dari kekuatan dan kehormatan sebuah kerajaan yang berakar dalam sejarah.
Pusaka Kerajaan Bone bukan hanya sekadar artefak bersejarah, melainkan warisan yang hidup, terus mengalir dalam setiap upacara dan peristiwa penting. Mereka bukan hanya benda mati, tetapi juga penjaga tradisi dan nilai-nilai yang diperjuangkan oleh nenek moyang. Dalam gemerlapnya emas dan keanggunan, mereka menyuarakan kejayaan dan keadilan yang abadi dalam setiap detiknya. (*)