Hendrika LW
Hawa dingin makin menggigit tulang. Ramli dan motor Yamaha bebeknya berpeluk kabut, menyusuri lereng gunung Bromo. Obrog bambu kian erat mencengkram boncengan, seakan takut terhempas di kegelapan. Jam dua dini hari. Padu nyanyian serangga hutan, menghibur Ramli di sepanjang jalan. Hampir separuh usia, Ramli mengadu nasib di pasar induk kota Malang sebagai penjaja sayur.
Berangkat dini hari, pulang jam satu siang. Dilakoninya dengan semangat demi anak lelaki satu-satunya, yang ditinggal ibunya sejak usia lima tahun. Keuntungan yang tak seberapa, dibawanya pulang dengan senyum mengembang. Tentu saja untuk buah hatinya, Hasnan.
Siang itu Ramli benar-benar sangat lelah. Obrog kosong diletakkan begitu saja di bawah pohon mangga kweni, yang lagi berbuah lebat. Di kursi panjang, Ramli tertidur, lelap. Ketika bangun, bukan kepalang kagetnya dia. Dompetnya lenyap. Dicari-carinya di dalam rumah. Nihil. Ramli menemukan sebuah amplop di bawah meja, surat panggilan untuk orangtua. Tak lama, seorang guru datang. “Hasnan sudah seminggu tidak masuk sekolah, Pak”.