Cerpen : Parno

Screenshot 20210307 1105305 - Zonanusantara.com
Ilustrasi
sosmed-whatsapp-green
Zonanusantara.com Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Screenshot 20210307 1105305 - Zonanusantara.com
Ilustrasi

Oleh : Hendrika LW

Terik menyengat tubuh kurus itu tanpa ampun. Seorang pria paruh baya, bernama Parno, bermandi keringat. Kendati demikian, karyawan PT KAI itu tak pernah mengeluh. Menjaga perlintasan tanpa palang pintu adalah amanah, menyelamatkan orang dari ancaman maut.

Berhenti! Teriaknya setiap kali ada orang yang nekat. Suara pria berambut putih itu terdengar lirih. Peluit dan bendera kuning, membantunya memberi tanda kepada mereka. Kadang Parno kesal. Orang-orang yang melintasi rel tak menghiraukan aba-abanya. Padahal ia berusaha melindungi nyawa mereka. Berhenti! Perempuan itu tetap melajukan motornya. Tak bisa dihindari, ia terseret puluhan meter. Nyawa perempuan yang terbilang nekat itu seketika lepas dari raganya.

Kejadian seperti ini bukan sekali. Selalu berulang di depan mata Parno. ‘Ya Tuhan, aku sudah berusaha mengingatkan, namun kecelakaan terulang lagi. Penyesalan Parno menumpuk di atas sajadah. Terburai bersama penyesalan yang berhamburan.

Berangkat sebelum subuh, pulang setelah senja merayap ke peraduan. Demi anak istri. Demi asap dapur tetap mengepul. Demi sebuah asa yang tak pernah meredup. Ia menjalani pekerjaan ini dengan senang hati. Sore itu, Parno merasa sangat lelah. Ia segera duduk di pos bercat abu-abu itu. Dalam hitungan menit dia tertidur pulas. Seorang perempuan cantik menepuk bahunya perlahan. “Bangun Pak, sudah waktunya pulang.” Parno kaget bukan kepalang. Perempuan itu yang mengalami kecelakaan tujuh hari lalu.

Baca Juga :  Puisi Akhir Pekan

***

 

Pemulung

Sinar rembulan menerobos atap rumah batako buram 4 x 6, tanpa meteran PLN. Karman dan anak istrinya bertahun-tahun mendiami rumah di pinggir sungai. Setiap lepas subuh, mereka ‘berdinas’ di sepanjang jalan kota, lapangan atau keliling kampung. Memunguti rejeki yang tercecer. Sebuah cermin kehidupan bersahaja. Jauh dari mapan. Namun mereka menikmatinya dengan bahagia. Hidup apa adanya. Tak berani berutang. Tak mengeluh kekurangan.

Kaum marjinal. Klasifikasi masyarakat pinggiran. Karman tak memikirkan julukan itu, yang ia mengerti, ia wajib melanjutkan kehidupan dari Sang Pencipta. Bersyukur dan bekerja. Mengais rupiah dari barang bekas, satu-satunya pekerjaan yang menghidupinya. Berton-ton limbah plastik, kardus, kertas dan sebagainya dirupiahkan Karman dan kawan-kawannya. Pekerjaan yang dipandang sebelah mata, mampu mengurangi polusi, yang makin meresahkan. Lagi-lagi pemerintah yang didaulat mengatasi masalah sampah. Padahal masyarakat yang menimbulkannya. Aneh ya?

“Ini satu-satunya pekerjaan untuk saya bisa hidup,” katanya pada mahasiswa yang lagi riset. Senyum dan semangat Karman kembali berbaur di antara tumpukan sampah. Bukit sampah di pinggiran kota itu, tiap hari dipadati pemulung, yang seakan kebal dengan bau menyengat.

***

Ratmi

Namaku Ratmi. Aku kehilangan harapan hidup, sejak nasib mengubahku menjadi orang cacat. Saat berusia 14 tahun, aku bekerja sebagai asisten rumah tangga. Kondisi ekonomi memaksaku putus sekolah dan mengadu nasib ke kota. Majikanku sangat galak. Tapi aku berusaha bertahan. Kupikir, hanya pekerjaan ini yang menghasilkan uang.

Baca Juga :  "Firdaus" di Desa Langda

Nyonya seorang sosialita. Suatu hari dia ke Singapore. Hanya tuan di rumah. Seperti biasa, aku membereskan kamar majikan. Tak ada firasat. Tiba-tiba tuan masuk mendekapku. Mulutku tak mampu berteriak. Kehormatanku lenyap seketika. Tuan mengancam komembunuhku bila aku melapor. Ya Tuhan, aku hanya bisa mengadu padaMu. Tuan melakukannya setiap ada kesempatan. Sore itu, nyonya marah besar. Nyonya mengambil pisau, melemparkannya ke arahku. Sadar-sadar, aku terbaring di rumah sakit. Perutku diperban. Nyonya memaksaku makan obat yang bukan dari dokter. Seketika, aku lumpuh. Tak bisa bicara.

Aku dipulangkan ke kampung. Sontak, keluargaku shock. Aku di kursi roda. Mulutku perot. “Oalah, Nak, kenapa kamu jadi begini?” tangis ibuku kian menjadi. Aku tak tahu harus berbuat apa. Menggerakkan tangan saja tak mampu. Ya Tuhan, tolong! Tak kusangka-sangka, pagi itu malaikat datang padaku. Seorang suster. Ia membawaku ke panti. “Belajar ikhlas memaafkan, ya,” suster memelukku. Air mataku mengalir tak henti bagai anak sungai.

Ikuti Zonanusantara.com untuk mendapatkan informasi terkini.
Klik WhatsApp Channel & Google News

Related posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *