Stunting Moral dan Upaya Mewujudkan Politik Beradab dalam Pilkada: Tinjauan Filosofis dan Regulatif

184f4b3b fe3d 4f91 b2de 9737300d24aa - Zonanusantara.com
Penulis: Andi Geerhand, Alumnus SKPP Bawaslu RI
sosmed-whatsapp-green
Zonanusantara.com Hadir di WhatsApp Channel
Follow

Politik seharusnya menjadi instrumen untuk mencapai tatanan sosial yang lebih baik, dengan keadilan, kebebasan, dan kesejahteraan sebagai tujuan utamanya. Namun, realitas politik di banyak negara, termasuk Indonesia, kerap kali menyimpang dari idealisasi ini. Politik tidak lagi dipahami sebagai ruang untuk merumuskan dan menjalankan kebijakan yang membawa manfaat bagi masyarakat luas, melainkan menjadi arena perebutan kekuasaan yang didorong oleh ambisi pribadi dan kelompok. Di tengah situasi seperti ini, muncul fenomena yang dapat disebut sebagai “stunting moral”, di mana nilai-nilai moral yang seharusnya menjadi fondasi dalam setiap tindakan politik justru mengalami degradasi yang signifikan.

Stunting moral dalam politik mencerminkan kondisi di mana etika publik seperti kejujuran, integritas, keadilan, dan tanggung jawab terkikis, sehingga mempengaruhi perilaku politik aktor-aktor yang terlibat dalam proses tersebut. Kondisi ini dapat dianalogikan dengan fenomena stunting dalam dunia kesehatan, di mana kekurangan asupan gizi mengakibatkan keterhambatan dalam perkembangan fisik anak. Dalam konteks moralitas, stunting ini terjadi karena masyarakat—baik politisi, penyelenggara pemilihan, maupun pemilih—kehilangan akses terhadap nilai-nilai luhur yang seharusnya menjadi “gizi” bagi pembentukan karakter moral yang baik. Akibatnya, tercipta masyarakat yang cenderung permisif terhadap pelanggaran moral dalam politik, seperti korupsi, politik uang, penyebaran hoaks, dan eksploitasi identitas, yang semuanya menjadi ciri dari stunting moral ini.

Fenomena ini bukanlah sesuatu yang muncul tiba-tiba. Berbagai aspek dalam politik Indonesia, terutama dalam Pilkada, turut menjadi penyebab terjadinya stunting moral. Praktik politik transaksional, penggunaan uang sebagai alat untuk mempengaruhi pilihan politik, dan manipulasi media serta informasi, semakin memperparah kondisi ini. Banyak politisi yang rela mengesampingkan nilai-nilai moral demi meraih kemenangan, dengan mengorbankan kepercayaan publik terhadap integritas politik itu sendiri. Situasi ini menimbulkan dampak negatif yang meluas, tidak hanya dalam hal kualitas pemimpin yang dihasilkan, tetapi juga dalam pembentukan kultur politik yang beradab dan demokratis.

Dari sudut pandang filosofis, stunting moral ini mengindikasikan adanya krisis eksistensial dalam cara kita memandang politik. Ketika politik tidak lagi diorientasikan untuk mencapai kebaikan bersama, tetapi lebih pada kepentingan pribadi atau kelompok tertentu, maka moralitas terpinggirkan. Aristoteles, dalam karya besarnya “Politika”, menekankan bahwa politik seharusnya bertujuan untuk mencapai “eudaimonia”, yaitu kebahagiaan atau kesejahteraan tertinggi bagi seluruh masyarakat. Politik yang kehilangan aspek moralitasnya, baik melalui korupsi, manipulasi, maupun pelanggaran etika lainnya, berarti telah melenceng jauh dari prinsip tersebut. Sebaliknya, politik menjadi sekadar alat untuk mencapai kekuasaan, tanpa memedulikan dampak etis dari tindakan-tindakan tersebut.

Pemikiran Hannah Arendt tentang “banalitas kejahatan” juga memberikan pandangan yang mendalam tentang fenomena stunting moral ini. Arendt menggambarkan bagaimana kejahatan dalam konteks tertentu, tidak selalu dilakukan oleh orang yang secara sadar berniat jahat, melainkan terjadi karena adanya proses normalisasi atas tindakan-tindakan amoral dalam masyarakat. Dalam politik Pilkada, misalnya, praktik politik uang dan eksploitasi isu identitas seringkali tidak lagi dianggap sebagai kejahatan serius, tetapi sebagai bagian dari “strategi” yang umum dilakukan untuk memenangkan pertarungan politik. Fenomena ini memperlihatkan betapa dalamnya moralitas telah tersingkir dari arena politik, sehingga apa yang seharusnya menjadi pelanggaran besar justru diterima sebagai praktik yang wajar.

Namun, stunting moral ini bukan hanya masalah yang berakar pada elite politik, melainkan juga mencerminkan kondisi masyarakat secara keseluruhan. Ketika masyarakat sebagai pemilih mulai permisif terhadap praktik-praktik amoral dalam politik, seperti menerima uang untuk memilih, maka fenomena stunting moral ini menjadi masalah yang lebih sistemik. Demokrasi yang seharusnya menjadi sistem yang menjamin adanya partisipasi politik yang etis dan bertanggung jawab, justru terdistorsi oleh kepentingan-kepentingan pragmatis yang mengorbankan nilai-nilai moral.

Dengan demikian, fenomena stunting moral dalam politik, khususnya dalam Pilkada di Indonesia, bukan sekadar masalah teknis tentang pelanggaran aturan dalam pemilihan, melainkan sebuah krisis moral yang jauh lebih mendalam. Ini adalah sebuah cerminan dari betapa jauhnya politik telah terlepas dari akar moralitas yang seharusnya menjadi panduan utama dalam setiap tindakan politik. Untuk mengatasi masalah ini, dibutuhkan pendekatan yang tidak hanya bersifat teknis-regulatif, tetapi juga filosofis dan kultural, di mana masyarakat secara kolektif perlu mengembalikan politik kepada tujuannya yang luhur: untuk mencapai kebaikan bersama.

Dimensi Regulatif : Kelemahan Implementasi Hukum dalam Pilkada

Secara normatif, Indonesia telah membangun kerangka hukum yang cukup komprehensif untuk menjaga integritas proses demokrasi, termasuk dalam penyelenggaraan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada). Salah satu fondasi hukum yang berperan penting dalam hal ini adalah Undang-Undang No. 10 Tahun 2016 tentang Pilkada. Regulasi ini secara eksplisit menegaskan larangan terhadap berbagai bentuk kecurangan, seperti politik uang, manipulasi suara, dan segala upaya yang bertujuan merusak prinsip-prinsip kejujuran, keterbukaan, dan akuntabilitas dalam proses pemilihan. Pasal 73 Ayat (4) secara khusus mengatur mengenai larangan bagi calon atau pasangan calon, anggota partai politik, tim kampanye, dan pihak-pihak terkait lainnya untuk melakukan tindakan melawan hukum, baik secara langsung maupun tidak langsung, dengan cara memberikan uang atau materi lain sebagai imbalan untuk mempengaruhi pilihan politik masyarakat.

Baca Juga :  Olahraga Sebagai Sarana Penguatan Komunitas: Dukungan Masyarakat Terhadap BerAmal di Bone

Regulasi ini sudah dirancang untuk memastikan agar proses Pilkada berjalan bersih, jujur, dan adil, di mana setiap kandidat dapat bersaing secara sehat berdasarkan kualitas kepemimpinan dan visi politiknya, bukan melalui kekuatan finansial atau taktik manipulatif. Namun, realitas di lapangan sering kali menunjukkan bahwa undang-undang tersebut gagal dijalankan secara efektif. Banyak kasus pelanggaran dalam Pilkada yang berakhir tanpa penindakan serius, atau bahkan dibiarkan tanpa penyelesaian, menandakan adanya kesenjangan besar antara regulasi yang sudah baik secara teks dan implementasi yang masih lemah.

Seperti yang pernah diungkapkan oleh Jimly Asshiddiqie, undang-undang yang baik tidak akan berarti apa-apa tanpa penegakan hukum yang konsisten dan kuat. Pernyataan ini menggarisbawahi kenyataan bahwa kelemahan utama dari sistem Pilkada bukan terletak pada substansi regulasi, melainkan pada lemahnya implementasi. Hukum yang seharusnya berfungsi sebagai instrumen penegakan keadilan malah kehilangan efektivitasnya karena berbagai faktor yang bersifat struktural maupun kultural. Sehingga dalam banyak kasus, pelanggaran seperti politik uang sering kali terjadi secara masif, terutama di daerah-daerah yang kurang berkembang secara ekonomi. Masyarakat yang berada dalam situasi ekonomi sulit cenderung lebih mudah tergoda oleh imbalan materi untuk memberikan suaranya kepada kandidat tertentu.

Sementara itu, meskipun undang-undang telah menetapkan larangan yang tegas terhadap praktik semacam ini, penegakannya di lapangan kerap kali diabaikan. Salah satu alasan utamanya adalah kompleksitas politik lokal dan masyarakat yang menyaksikan atau mengalami langsung praktik politik uang atau kecurangan lainnya sering kali tidak berani melaporkan pelanggaran tersebut karena takut terhadap intimidasi atau ancaman dari pihak-pihak yang terlibat.

Di sisi lain, ada pula masalah kultural yang turut mempersulit penegakan hukum dalam Pilkada. Dalam budaya politik Indonesia, politik uang dan kecurangan lainnya sering kali dipandang sebagai bagian dari “aturan main” yang telah mengakar. Bagi banyak masyarakat, menerima uang atau imbalan materi dari kandidat dianggap sebagai hal yang wajar, bukan sebagai pelanggaran hukum atau moral. Hal ini menunjukkan betapa mendalamnya stunting moral telah mengakar dalam masyarakat, sehingga norma-norma etika dan hukum yang seharusnya dipegang teguh justru mengalami erosi. Tanpa adanya perubahan fundamental dalam kesadaran politik masyarakat, upaya untuk menegakkan hukum yang adil dalam Pilkada akan selalu terbentur pada tembok besar berupa toleransi terhadap pelanggaran moral dan etika.

Dalam konteks filsafat hukum, pemikiran Immanuel Kant melalui konsep “Imperatif Kategoris” dapat digunakan untuk mengkritik fenomena ini. Kant mengajarkan bahwa tindakan moral harus bisa diterima oleh semua orang secara rasional dan universal, yang berarti tindakan tersebut harus berlandaskan pada prinsip kejujuran, keadilan, dan penghormatan terhadap hak-hak orang lain. Setiap individu yang terlibat dalam proses politik, termasuk dalam Pilkada, harus bertindak berdasarkan prinsip-prinsip universal ini. Namun, kenyataannya, praktik politik transaksional seperti politik uang dan manipulasi media justru bertentangan dengan prinsip-prinsip Kantian tersebut. Tindakan-tindakan tersebut tidak hanya merugikan individu atau kelompok tertentu, tetapi juga merusak integritas politik secara keseluruhan.

Lebih jauh, Kant juga menekankan bahwa tindakan moral tidak boleh didasarkan pada tujuan pragmatis semata, melainkan harus berlandaskan pada kewajiban moral yang murni. Dalam konteks Pilkada, ini berarti bahwa kandidat, partai politik, dan pemilih harus bertindak bukan demi keuntungan pribadi atau kelompok jangka pendek, tetapi demi menjaga prinsip-prinsip demokrasi yang adil dan beradab. Ketika politik uang, manipulasi suara, dan eksploitasi isu identitas menjadi norma yang diterima, maka proses politik kehilangan dimensi moralnya dan berubah menjadi sekadar arena untuk transaksi kekuasaan yang penuh dengan kalkulasi egoistik.

Kelemahan penegakan hukum dalam Pilkada juga memperlihatkan betapa pentingnya adanya reformasi yang lebih mendalam dalam sistem hukum dan politik di Indonesia. Penegakan hukum yang tegas dan konsisten memerlukan adanya kemauan politik yang kuat dari para pemimpin serta institusi-institusi yang berwenang. Selain itu, dibutuhkan pula perubahan budaya politik di kalangan masyarakat, di mana mereka harus mulai memahami bahwa pelanggaran etika dan hukum dalam politik bukanlah sesuatu yang dapat ditoleransi. Kesadaran ini hanya bisa dibangun melalui pendidikan politik yang intensif, yang menekankan pentingnya integritas, keadilan, dan tanggung jawab moral dalam proses politik.

Dalam konteks ini, peran institusi seperti KPU dan Bawaslu menjadi sangat krusial. Keduanya memiliki mandat untuk memastikan bahwa setiap proses Pilkada berjalan sesuai dengan prinsip-prinsip demokrasi yang bersih dan adil. Namun, agar bisa menjalankan mandat ini secara efektif, kedua institusi ini harus dibekali dengan sumber daya yang memadai serta independensi yang kuat dari tekanan-tekanan politik. Tanpa itu, regulasi yang sudah dirancang dengan baik akan terus menjadi teks yang tidak memiliki kekuatan di lapangan.

Mewujudkan Politik Beradab: Sinergi Antara Refleksi Filosofis dan Reformasi Hukum

Untuk mewujudkan politik beradab dalam Pilkada, sinergi antara refleksi filosofis dan reformasi hukum yang mendalam sangat diperlukan. Politik yang idealnya menjadi alat untuk mencapai kebaikan bersama sering kali terdistorsi oleh kepentingan pribadi dan kelompok, menjadikan nilai-nilai moral seperti keadilan, kejujuran, dan integritas semakin terkikis. Seperti yang diungkapkan oleh John Rawls dalam konsep “Justice as Fairness” politik harus mampu menciptakan distribusi kekuasaan yang adil, terutama bagi kelompok-kelompok yang lemah dan rentan. Sayangnya, praktik politik uang dan berbagai bentuk kecurangan lainnya justru memperparah ketidakadilan, memperkokoh ketimpangan, dan merusak fondasi demokrasi yang seharusnya berpihak kepada semua warga negara.

Baca Juga :  Mengasah Kearifan Lokal dalam Penegakkan Hukum Membangun “Kampung Restorative Justice" (1)

Fenomena “stunting moral” ini mencerminkan kemerosotan nilai-nilai etika dalam politik, di mana perilaku transaksional telah menjadi hal yang lazim dalam arena politik, termasuk Pilkada. Budaya politik yang transaksional tidak hanya melemahkan kepercayaan publik, tetapi juga menghalangi demokrasi yang sehat dan adil. Untuk mengatasi masalah ini, pendidikan politik yang berfokus pada etika dan tanggung jawab menjadi kebutuhan mendesak. Masyarakat harus dididik untuk memahami bahwa politik bukan sekadar perebutan kekuasaan, melainkan sarana untuk memperjuangkan kesejahteraan bersama. Pendidikan ini tidak hanya terbatas pada lembaga formal, tetapi juga harus melibatkan berbagai pihak, termasuk lembaga pendidikan, media, dan tokoh masyarakat, dalam menanamkan nilai-nilai integritas dan moralitas.

Dalam konteks ini, pandangan Nurcholish Madjid, atau yang lebih dikenal sebagai Cak Nur, tentang konsep “Civil Society” menjadi sangat relevan. Menurut Cak Nur, Civil Society adalah masyarakat yang sadar akan hak dan tanggung jawabnya, serta berperan aktif dalam menjaga dan memelihara nilai-nilai demokrasi, keadilan, dan kebebasan. Cak Nur memandang bahwa masyarakat madani yang kuat adalah pilar utama dalam menciptakan politik yang beradab. Dalam konsep ini, masyarakat tidak hanya menjadi penonton pasif, melainkan aktor utama yang terlibat aktif dalam proses politik, terutama dalam mengawasi dan mengontrol kekuasaan.

Bagi Cak Nur, Civil Society berfungsi sebagai penyeimbang antara negara dan rakyat, di mana kekuatan moral masyarakat berperan penting dalam mencegah terjadinya penyalahgunaan kekuasaan. Dalam konteks Pilkada, pandangan ini mengandung implikasi yang mendalam. Partisipasi aktif masyarakat dalam Pilkada yang dilandasi oleh kesadaran moral akan membantu meminimalisasi praktik-praktik politik yang tidak etis, seperti politik uang, manipulasi isu identitas, dan kecurangan lainnya. Dengan adanya Civil Society yang kuat, masyarakat dapat menjadi pengawas yang efektif, memastikan bahwa proses politik berjalan sesuai dengan prinsip-prinsip keadilan dan transparansi.

Lebih lanjut, Cak Nur juga menekankan bahwa Civil Society harus dibangun di atas nilai-nilai agama dan moralitas. Meskipun konsep Civil Society seringkali dikaitkan dengan demokrasi sekuler, Cak Nur menegaskan bahwa agama memainkan peran penting dalam membentuk kesadaran etis masyarakat. Menurutnya, nilai-nilai universal dalam agama, seperti keadilan, kebebasan, dan kesetaraan, harus menjadi dasar bagi Civil Society yang berfungsi secara baik. Oleh karena itu, dalam konteks Pilkada, pendidikan politik yang berlandaskan pada nilai-nilai moral dan agama dapat membantu membangun masyarakat yang lebih sadar dan bertanggung jawab secara politik.

Pentingnya Civil Society yang matang dalam mewujudkan politik yang beradab menjadi lebih jelas ketika melihat peran masyarakat dalam menjaga etika politik. Partisipasi masyarakat madani tidak hanya sebatas pada hari pemilihan, tetapi juga dalam mengawasi setiap tahapan proses politik. Sebuah Civil Society yang aktif dan beretika akan mendorong pelaku politik untuk bertindak lebih bertanggung jawab, karena mereka tahu bahwa tindakan mereka diawasi oleh masyarakat yang kritis dan berdaya. Di sinilah letak kekuatan pandangan Cak Nur: bahwa demokrasi hanya bisa berkembang dengan baik jika masyarakatnya memiliki kesadaran moral yang tinggi dan berperan aktif dalam proses politik.

Di sisi lain, reformasi hukum yang menyeluruh juga diperlukan untuk memperkuat penegakan aturan dalam Pilkada. Lembaga-lembaga seperti KPU, Bawaslu, dan aparat penegak hukum harus menjalankan tugas dan wewenangnya secara tegas dan tanpa kompromi terhadap setiap bentuk pelanggaran, mulai dari politik uang, netralitas ASN, hingga manipulasi isu identitas. Penegakan hukum yang independen dan tidak terpengaruh oleh kepentingan politik akan mempersempit ruang bagi praktik-praktik kotor yang sering kali merusak integritas Pilkada.

Dengan demikian, sinergi antara refleksi moral yang mendalam dan reformasi regulatif yang tegas adalah kunci untuk menciptakan politik yang beradab. Pandangan Cak Nur tentang Civil Society menunjukkan bahwa masyarakat yang beretika dan sadar politik memiliki peran vital dalam menjaga dan memperkuat demokrasi. Hanya dengan keterlibatan aktif masyarakat yang dilandasi nilai-nilai moral dan didukung oleh penegakan hukum yang konsisten, kita bisa mengatasi fenomena “stunting moral” dalam politik dan membangun demokrasi yang lebih sehat dan berintegritas.

Mewujudkan politik yang beradab bukanlah tanggung jawab pemerintah semata, tetapi merupakan tanggung jawab kolektif yang melibatkan semua elemen masyarakat. Tanpa kesadaran politik yang kuat dan berbasis nilai-nilai etis, Pilkada akan terus menjadi ajang perebutan kekuasaan yang mengabaikan prinsip-prinsip luhur demokrasi. Oleh karena itu, membangun kembali integritas politik melalui pendidikan moral dan penguatan Civil Society adalah langkah penting untuk mengatasi kemerosotan moral dalam politik dan mewujudkan Pilkada yang adil, transparan, dan beradab. (Tulisan ini hadir setelah menyaksikan salah satu tayangan Indonesia Lawyers Club terkait Fufufafa). (*)

Ikuti Zonanusantara.com untuk mendapatkan informasi terkini.
Klik WhatsApp Channel & Google News

Related posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *