Oleh : Yosef N.
Purnama hanya tersenyum di balik awan. Gugusan bintang berkilau. Cakrawala bercahaya sempurna, membiarkan ilalang terluka.
Sudah sepekan aku tiba di Bungku. Sebuah wilayah yang kotanya diapit di antara lereng gunung dan samudera. Saban hari aku menyaksikan kesibukan di Kantor Syahbandar Bungku. Instansi pemerintah itu tampak sibuk sepanjang hari mengikuti roda waktu. Aktivitas jam dinas itu baru berhenti setelah azan magrib seiring kepergian waktu masuk ke dalam porosnya.
Gedung sederhana bercat putih dengan garis biru itu, menambah semangat melayani customer, agen kapal, mitra dan pengguna laut. Kantor itu dinahkodai seorang pakar hukum. Orang-orang menyapanya pak Bas. Nama itu sangat beken dan familiar.
Pria asal wilayah kerajaan Arung Pallaka Bone ini, merupakan salah satu sosok yang mengagumi filsafat dan ilmu kosmologi.
Kota Bungku, terkesan beda, namun bikin para pelancong, merasa terkesima. Memiliki pesona laut, lereng gunung, gadis-gadis tinggi semampai menyerupai keindahan garis pantai di Pelabuhan Bungku. Gadis-gadis lereng gunung memiliki kecantikan aduhai laksana bidadari dari khayangan yang tersesat di Morowali.
Bila malam tiba, pesisir pantai itu disesaki penikmat kuliner. Ada yang duduk sambil kongkow di sebuah dipan melepas kepengapan setelah seharian bekerja. Alunan live musik ikut menyemarakkan suasana malam. Hidangan minuman tradisional seperti sarabah, lebih banyak diburu customer, ketimbang memesan kopi panas. Pisang goreng atau ubi rebus turut menghangatkan suasana.
“Hei nona manis siapa namata, (namanya, red) boleh dong kenalan,”sapa Fauzi sambil menyodorkan tangan.
Cowok bugis itu penampilannya maco kayak lelaki fitnes. Mungkin itu yang membikin Fauzi merasa percaya diri untuk mendekati gadis lereng gunung. Konon ada kisah, gadis-gadis itu umumnya tertutup terhadap laki-laki. Untuk menghindari godaan bila bepergian keluar rumah gadis-gadis itu memakai jilbab bahkan tidak sedikit yang menggunakan cadar.
Gadis lereng gunung benar-benar terasing dari dunia pergaulan bebas. Mereka juga tidak mudah terpengaruh oleh bujuk rayu para lelaki, apalagi orang asing yang belum dikenal. Wilayah itu memegang teguh ajaran leluhur yang terkesan kuno alias ketinggalan zaman tapi adabnya tinggi. Ketika zaman sudah baju dan modern, perlahan akan mengikis budaya tradisional peninggalan para para leluhur karena akan dianggap out to date.
Ulah Fauzi malam itu mendadak memecah keheningan. Gadis lereng gunung itu diam seribu basah. Ia tak menghiraukan sapaan cowok berkulit kuning itu. Gadis itu terus memacu langkahnya kian cepat menyelinap di antara hiruk pikuk kerumunan pengunjung pantai. Sesekali gadis lereng gunung berkerudung itu menoleh ke belakang, kwatir ada yang membuntuti.
“Sialan. Jualan itu cewek,”umpat Fauzi . “Hei daeng ada apa keliatan ngelamun,”selidik Udin.
Hmm… Fauzi tarik napas dalam-dalam seperti orang latihan Yoga. Gadis lereng gunung itu makin jauh. Hilang ditelan bumi entah ke mana. Fauzi hanya bisa mengelus dada. Ia sedikit terhibur dengan irama musik yang diputar pemilik kedai kopi. Syair dan lagu merayu bersama angin.
Saat air laut pasang, aku menuliskan sebuah puisi di bibir pantai. Kujadikan pasir putih sebagai selembar kertas. Syair itu kutulis dalam penghayatan mendalam bagaikan seorang biksu yang sedang bertapa.
“Ketika aku tidur dan bermimpi, aku melihat, hidup ini suatu keindahan. Ketika aku bangun dan melihat, hidup ini suatu kewajiban”.
Kata-kata puitis itu lenyap. Terhempas oleh pasang surutnya air laut. Dari kejauhan tampak lampu mercusuar berkedip seakan sedang memberi isyarat agar aku pulang. Gadis lereng gunung itu terjebak dalam dunia hiburan malam namun ia tahu batas-batasnya.
Ia membiarkan aku bercumbu dalam kecemburuan. Rindu dendam mengikuti irama musik malam itu. Malam di pantai kawasan Pelabuhan Bungku, Morowali.
Bungku, 20 Mei 2024
Dari atap rumah tetangga
Aku mengintip cakrawala yang sudah sepekan memberikan aku inspirasi.