Oleh Hendrika LW
Waktu tak seperti cemara, yang meliuk ke segala arah mengikuti gerak angin.
Aku dan Panji masih di situ, menikmati lekuk cemara yang menari, menebar aroma balsamea yang khas.
Sementara semilir angin bukit tak henti menerpa tubuhku. Dan bayang-bayang cahaya rembulan, sesekali menyembul di balik daun-daun lembutnya.
Sesekali pula aku memeluk Panji, yang membelai rambutku. Seakan menghitungnya helai demi helai.
Baca juga : Cerpen ” Cemara Dua Rindu (Bag.1)
Kupejamkan mata. Aroma parfum Giorgio Armani, menerbangkan imajiku ke awang-awang.
“Say, ke villa, yuk. Kamu pasti suka sama arsitekturnya.”
Panji menarikku ke sana. Dia berlari kecil. Olahraga, katanya. Langkahnya makin cepat. Jauh mendahuluiku.
“Njii, tungguuuu!” teriakku.
Namun dia terus saja berlari. Kukejar. Panji malah mempercepat kakinya.
“Capek, ah! Biarin dia lari ke sana sendirian, aku nunggu di sini aja.”
Dalam gerutu kesal, aku nyerah dan duduk di gazebo kayu di bawah cemara yang rimbun.
“Amazing, gazebo ini sangat artistik.”
Aku menyukai seni. Model gazebo berbahan kayu plus ornamen unik seperti ini bisa jadi inspirasi buat berkreasi.
Kuamati sekitar. Mataku menyapu hingga ujung jalan. Sepi. Tak ada orang lewat. Hanya lengkingan tonggeret dan jangkrik, yang memberi isyarat hari berganti malam.
“Hayooo, lagi mikirin apa?” tiba-tiba Panji memelukku dari belakang.
“Ya ampun, Nji! Mesti loh, suka ngagetin,” kucubit lengannya.
“I love you, Say,” bisik Panji mengecup keningku.
“Luv yu tu,” balasku memeluknya.
Beberapa saat suasana jadi hening. Aku merasakan, ada sesuatu yang mengalir dalam hatiku.
Inikah cinta? Entahlah. Aku menatap Panji, yang menelanjangi wajahku dengan bola matanya yang hitam menawan.
“Nji, boleh aku nanya sesuatu. Kenapa kamu…,”
Belum selesai aku bicara, dia menyergah.
“Kan sudah kubilang, ini anugerah, Say,” Panji mencium rambutku.
Kutatap wajahnya, kupandangi lagi sorot mata yang teduh itu.
Pendar-pendar rembulan kian menyilaukan.
Kurasakan tubuhnya bergerak selembut pelukan cemara. Tanpa kuminta pergi, logikaku menghilang sendiri. Membiarkanku larut dalam kelembutan tangannya.
“Biarkan semua ini mengalir, kita jalani aja,” Panji membawaku ke pucuk cemara.
Aku seperti tersadar dari sebuah keraguan. Tapi aku belum yakin akan apa yang baru saja terjadi.
“I Love You.”
Kata itu bertuan. Seperti panah asmara yang menancap jiwaku.
Hipnotis yang baru saja terlontar dari bibir cowok simpatik ini, telah meluruhkan semua perasaanku.
Tak kusadari senja makin gelap. Sang malam ikut terkulai dihempas sapuan angin sepoi.
Burung camar pun terbang rendah menandakan alam sudah gulita, andai tak ada bias lampu di sana.
Angin bukit kembali mengusik gerai rambut panjangku, hingga menggigil dingin.
“Nji, sudah malam, pulang yuk,” pintaku.
Aku melirik tangan Panji. Jam Rolex made in Swedia itu, menunjuk angka sembilan.
Kabut semakin tebal menyelimuti kulitku, yang masih lekat dengan keharuman jasmine.
“Waahh, gak terasa ya, seperti baru sepuluh menit kita di sini,” Panji memegang bahuku.
Dia bangkit dari gazebo. Meluruskan kedua lututnya, yang mulai kesemutan.
“Makasih ya, Say, untuk bahagia hari ini,” ucapnya lirih.
Semilir cemara terus mengibas waktu. Panji memelukku erat. Aku menariknya untuk segera jalan.
Tak henti kupandangi cemara-cemara itu, yang seolah mengerti perasaanku.
Cemara yang tumbuh rapi. Berbaris menghiasi kaki bukit, yang membawaku larut dalam ilusi kepekatan malam.
Kami menyusuri aspal yang basah. Rupanya rintik hujan baru saja turun, melengkapi romantisme lampu jalanan, yang membuatku enggan pulang.
“Hati-hati Nji, slow aja, jalanan licin,” kataku meliriknya.
“Iyaa, Sayang.”
Sepanjang perjalanan, sepanjang itu pula Panji bercerita. Tangan kirinya meraih jemariku. Digenggamnya erat. Aku justru sibuk dengan pikiranku sendiri.
“Hmm, rasanya ingin berlama-lama bersamamu, Nji. Semalaman juga gak apa- apa.”
Hatiku berbunga-bunga. Perasaan seperti ini baru kunikmati kali ini, di sepanjang hidupku.
Pukul sepuluh. Sampailah di halaman rumahku.
Panji memarkir Xtrail putihnya di bawah pohon jambu madu merah, yang berbuah lebat selama dua musim ini. Biasanya, sepulang sekolah anak-anak tetangga berebut mengambilnya.
“Kinara, makasih ya.”
Panji meraih punggungku. Dekapan lengannya membuatku tak bisa bernafas.
“Makasih juga, Nji.”
Kuhadiahi kecupan di pipinya yang hangat.
“Selamat malam. Hati-hati di jalan, ya,” berat hati aku melepasnya.
Aku masih berdiri di halaman, hingga deru mobilnya tak terdengar lagi.
Di antara lembayung senja, aku menitipkan pesan kerinduan. Hingga malam menghempas lamunan di antara resah rindu.
Kak Klara sudah menungguku di depan pintu. Dia tak akan tidur sebelum aku pulang.
“Malam, adikku sayang, kelihatannya lagi happy nih,” goda kak Klara.
Kak Klara menggandengku masuk rumah.
“Ah, kakak,” sahutku tersipu.
“Ya udah, istirahat dulu ya. Besok baru cerita-cerita.”
Aku senang punya kakak yang sabar dan perhatian. The best deh, pokoknya. Aku segera memeluk bantal dan berharap tenggelam dalam mimpi indah.
Bolak balik aku terbangun, ingat Panji. Kubuka Wa-nya, tidak aktif. Hingga fajar menjelang, masih centang satu.
Ah, aku mulai resah. Aku mondar-mandir dengan perasaan gundah.
“Ya udahlah, mungkin lagi habis kuota,” pikirku.
Pagi itu, aku segera bersiap ke kantor.
“Kak, ayo berangkat!” kupanggil kak Klara.
Ternyata dia sudah di garasi, bersiap dengan Sigra silvernya.
“Pagi sayang, kok keliatan unhappy, sih. Pagi-pagi harus gembira, dong,” kak Klara tersenyum ceria.
Aku juga melempar senyum manisku. Biar kak Klara tak tahu gejolak dalam hatiku.
Sigra silver segera melaju perlahan.
Kebetulan aku dan kak Klara bekerja pada kantor yang sama. Tapi beda divisi. Jadi selalu barengan.
Hari ini aku tak bisa fokus pada pekerjaan. Aku masih penasaran, kenapa tak ada berita dari Panji.
Bener juga kata orang, kalau lagi jatuh cinta sehari serasa setahun.
“Ya Tuhan, Panji kenapa ya? Kenapa hp nya gak aktif?” batinku gelisah.
Ya sudahlah, kutepis semua pikiran irasionalku.
Kuhela nafas panjang, kucoba fokus dengan pekerjaan yang menumpuk di meja. Tapi susah juga.
Kali ini waktu terasa amat lama, karena menunggu sesuatu yang membuatku cemas.
“Ayo Ki, pulang!” Mahesti membuatku kaget.
“Oh iya, Hes, duluan deh. Aku bentar lagi,” jawabku seraya membereskan laptop.
Menjelang petang di teras rumah. Aku menikmati secangkir teh pomegranate, bikinan kak Klara. Lagi asyik menulis cerpen, Samsung Galaxy ku berdering. Bergegas aku menyambarnya.
Ternyata Panji. Meski cuma sepintas namun perasaan resahku lenyap seketika.
“Sorry, Say. Maaf baru respon, aku lagi kurang sehat. Entah lelah atau kenapa, aku gak tahu,” begitu katanya.
“Gpp, istirahat aja Nji. Lebih baik segera ke dokter. Lekas sembuh, ya,” kataku cemas.
“Iya makasih, Say,” jawabnya menutup telepon.
Setelah itu off. Bahkan pesan WA yang aku kirim pun tak pernah dibalas.
Aku mulai gelisah. Gerangan apa yang terjadi dengan Panji. Kulihat pesan WA centang dua, juga tak dibaca.
“Panji kenapa ya, berubah sikap secepat itu? Apa yang salah denganku. Rasanya aku gak bicara apa-apa,” aku membatin.
Dua minggu keadaan benar-benar sunyi. Aku mulai belajar menata perasaan. Pagi itu kukirim WA, dengan harap ada respon karena dia sedang online.
“Pagi Nji, apa kabar?” tulisku resah.
“Pagi juga, kabar baik,” balasnya.
“Sukses ya, Nji.”
“Iya makasih, sukses juga untukmu.”
Aku masih penasaran dengan sikapnya yang berubah. Hingga aku memberanikan diri untuk bertanya apa gerangan yang terjadi.
“Nji, boleh aku nanya, ada apa denganmu?” tanyaku ragu-ragu.
“Gak kenapa-kenapa, aku lagi belajar untuk ikhlas,” begitu jawabnya.
Aku tak mengerti apa yang dia maksud ikhlas. Apakah dia mau menjauhi aku?
Ah, semoga dugaanku salah. Aku penasaran dan ingin tahu apa yang terjadi.
“Iya bener Nji, kita harus ikhlas.”
Padahal aku tak mengerti apa maksudnya. Aku tak paham, ke arah mana pembicaraannya itu.
“Nji, aku minta maaf ya kalau selama ini ada salah.”
“Aku yang minta maaf, Ki. Aku yang salah.”
Duh, Gusti. Aku makin bingung. Apa yang salah. Menurutku tak ada yang salah. Entahlah. Sejak itu tak ada komunikasi lagi.
Kucoba untuk tetap menyenangkan diri, tak mau baper. Aku belajar berdamai dengan perasaanku.
Kak Klara seperti bisa menangkap sinyal kegelisahanku, yang frekuensinya naik turun.
“Kenapa Kinara sayang, sepertinya ada sesuatu?”
Pertanyaan kak Klara membuatku kaget. Apalagi, belum kuceritakan jika Panji hilang bak ditelan bumi.
Meski kututup rapat, ternyata kak Klara bisa merasakan denyutan rasa pada diriku.
Tapi aku membohongi kak Klara.
“Gak ada apa-apa, Kak. Cuma masalah kecil.”
Jauh di lubuk hati, aku menahan tangis.
“Panji, ya?” tebakan kak Klara bener.
Aku terpaksa jujur jika hubunganku dengan Panji belakangan renggang. Aku juga tak tahu penyebabnya.
“Iya, kak. Aku udah putus. Aku gak tahu. Dia gak ngasih alasan apa-apa. Ngilang gitu aja,” jawabku berkaca-kaca.
Kakakku manggut-manggut menatapku. Sebelum kak Klara menimpali, aku sudah sambung lagi.
“Mestinya dia bilang alasannya apa. Sportif. Aku bisa ngerti, kok.” Air mataku berderai.
“Sabar ya, Sayang. Pinginnya sih, seperti itu. Tapi kita gak bisa maksain orang lain seperti yang kita mau,” kak Klara memelukku.
“Mungkin dia gak punya keberanian untuk menjelaskannya.”
Kak Klara memang jago dengan petuah. Ia pandai berfilsafat seperti Socrates.
“Masih ingat gak, mati satu tumbuh seribu. Itu nasehat siapa, hayo. Kamu yang kasih nasehat kakak waktu itu, kan?” kak Klara mencolek pipiku.
Butiran bening deras mengaliri pipiku. Aku jadi ingat, ketika kak Klara putus sama kak Nugra.
Mati satu tumbuh seribu. Ya, peribahasa itu diajarkan Bu Ninik, guru bahasaku di SMA dulu. Meski sudah kumal dimakan waktu, kata-kata itu terasa masih baru dalam pikiranku.
“Mati satu tumbuh seribu. Hilang satu cari yang baru. Dunia tak selebar daun pisang, guys.”
Aku tersenyum saja dengan candaan Mahesti, yang berusaha menghiburku.
Teman-teman sudah mulai berkemas. Jam kerja hari Sabtu memang lebih pendek. Aku pun merapikan mejaku.
Aku segera turun ke lantai bawah dan meluncur ke Mall Anggrek. Demi menghibur hati, aku ingin memberi hadiah spesial untuk diriku sendiri.
Mungkin alam yang memintaku ke sini. Saat antre di kasir tak sengaja aku menginjak kaki orang di sebelahku.
Astaga, Panji! Dia bersama seorang perempuan bercadar hitam.
“Maaf,” aku gemetar.
Hanya itu yang bisa kuucapkan. Aku tersenyum getir. Lalu bergegas meninggalkannya.
Hatiku bergemuruh. Aku menoleh. Dia mengantarku sampai di pintu keluar dengan pandangannya.
Senja itu masih kuingat. Saat hatiku terbuai oleh desiran angin manja. Kecupan dan pelukan hangat, sesaat kemudian membeku seperti salju. Membisu dalam selimut rindu di antara bisik daun cemara.
The End