Catatan : Yos Naiobe
Hari Pers Nasional mengusung tema “Pers Mengawal Ketahanan Pangan untuk Kemandirian Bangsa.
Perayaan Hari Pers Nasional (HPN) tahun ini berpusat di Kalimantan Selatan (Kalsel), Minggu 9 Pebruari 2025. Perayaan yang sama juga dilakukan oleh kalangan insan pers di masing-masing daerah di Indonesia. Ditilik dari sejarah, HPN kini telah berusia 79, sejak 9 Februari 1946 yang dimulai dengan adanya Kongres Pers Indonesia pertama di Surakarta (Solo), Jawa Tengah.
Sejak itu, hingga kini, selalu diperingati sebagai HPN berdasarkan Keputusan Presiden RI Nomor 5 tahun 1985, yang ditandatangani Presiden Soeharto, 23 Januari 1985. Keputusan presiden tersebut merupakan cikal bakal lahirnya ide HPN setelah kongres ke-28 di Padang tahun 1978.
PWI sendiri merupakan organisasi wartawan pertama di Indonesia sebagai wadah berhimpun bagi insan Pers di Indonesia.
Makna di balik HPN adalah untuk mengenang peran penting pers dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia. Pada masa kolonial, pers menjadi salah satu sarana yang efektif untuk menyebarkan ide-ide kemerdekaan dan membangkitkan semangat perjuangan rakyat Indonesia.
Dalam tata penyelenggaraan negara, Pers merupakan salah satu pilar demokrasi penting dalam membangun bangsa selain eksekutif, yudikatif dan legislatif. Karena itu peringatan HPN tidak semata menggelar acara seremonial namun dijadikan kesempatan untuk memperingati peran pers dalam membangun identitas bangsa.
Tantangan pers ke depan
Tidak bisa dipungkiri, hadirnya media sosial (sosmed) yang dianggap sebagai ruang publik, merupakan tantangan yang sulit dihadiri. Selain itu, perkembangan teknologi yang sangat cepat, seperti Teknologi AI termasuk bagaimana pers bisa menangkal maraknya hoax yang diproduksi oleh media sosial, marak di era digital saat ini.
Hoax sulit diberangus, apabila tidak ada tindakan infiltrasi sebagai penangkal. Adanya undang undang ITE pun belum cukup efektif untuk menepis adanya hoax. Ujung-ujungnya, pelaku diancam pidana. Pertanyaan kita adalah mengapa hoax begitu masif dan sulit diberangus?
Salah satu sarana berkembang pesatnya hoax adalah ruang publik. Dulu ruang publik terbatas. Terdiri dari koran, majalah, radio dan televisi. Karena itu, hanya profesi wartawan yang punya tugas untuk menulis berita (publikasi) di koran, majalah atau radio dantelevisie. Untuk menjadi wartawan pun tidak mudah seperti saat ini. Melaui test, dan wawancara. Pendidikan minimal sarjana. Media cetak dan elektronik kala itu, sepi dari hoax karena wartawannya benar- benar profesional. Setiap berita yang disajikan ke publik melalui pertimbangan yang matang dan proses editing. Berita tidak asal.
Kini ruang publik banyak sekali beriringan dengan ada perkembangan teknologi informasi yang berkembang begitu pesat. Sebut saja beberapa di sini, semisal Facebook, instagram, tiktok yutube, dll. Setiap orang dengan mudah menulis pada ruang-ruang tersebut.
Setiap orang dengan mudah mengakses dan bahkan memproduksi informasi tanpa melakukan cros cek terlebih dahulu. Di sinilah pentingnya publik perlu diedukasi untuk membedakan mana produk pers dan yang bukan produk pers. Salah satu, produk pers yakni berbadan hukum dan ditulis oleh wartawan yang profesional.
***
Yosef Naiobe : Wartawan dan Penulis sastra. Mengawali karier sebagai jurnalis, di beberapa media. Pernah di KORAN SINDO, milik Hary Tanoesoedibjo (HT), sempat bekerja di SCTV di NTT.
Prestasi : juara 2, Lomba Karya Jurnalistik (LKJ) pada peringatan HPN tahun 2019 silam di Malang Jawa Timur.
Menulis buku antologi puisi berjudul Nyanyian Hati bersama penulis lainnya. Juga penulis buku Sejarah lahirnya Kabupaten Timor Tengah Utara, (TTU) Provinsi Nusa Tenggara Timur, pada tahun 2008.