Oleh : Hendrika LW
Sebuah kado spesial menghampiri, tepat di hari ulang tahunku. Hari itu, terasa sangat istimewa.
Sore itu Aldy ke asrama, disambut teman-teman di ruang tamu. Aku pulang kampung, untuk liburan kenaikan kelas tiga. Aldy menitip bingkisan. Sebuah album foto merah tua. “Selamat ulang tahun, Dian. Semoga kamu bahagia. Aldy.” Sederet kalimat ’emas’ itu kubaca berkali-kali.

Juni tahun ini, satu tahun aku pacaran sama Aldy. Cowok berambut ikal itu telah membuatku jatuh hati, sejak pandangan pertama. Saat itu, kami bertemu di Pagelaran Seni Budaya Balai Kota. Hari-hari selanjutnya begitu indah. Oh, inikah cinta? Yang membuatku selalu memikirkannya. Walau sekali-sekali saja kami bertemu. Namun surat bersampul biru, mampu menyambung rasa rinduku.
Sebuah penanggalan menunjukkan angka 10 di bulan Juli, mahasiswa semester lima mulai KKN. Aldy ditempatkan di kabupaten Banyuasin, Sumatra Selatan. So, sad. Aldy tidak sempat pamit. Hanya menitip sebuah pesan, kalau dia sudah berangkat. Berita gembiranya, tiap bulan ada surat untukku di kotak pos. Tak menunggu esuk, segera kutulis surat balasan, untuk mengalirkan perasaan. Desember aku menanti. Bulan ini terasa amat panjang, dan sunyi. Berulang kali aku melongok pos surat. Kosong. Rupanya tiga lembaran merah muda itu adalah surat terakhir, karena setelah itu tak ada lagi kabar darinya. Hanya deretan kata di album foto itu, yang kubaca berulang-ulang. Setahun kemudian, aku menemuinya di ruang tamu yang sama. Tapi perasaanku hampa. Sungguh, hampa.
Nonton TV
Aku, Danu dan Asih adalah teman akrab. Sejak kecil kami selalu bermain dan belajar bersama. Rumah kami berdekatan, di satu desa yang mayoritas penduduknya hidup dari hasil pertanian. Kami bertumbuh sebagai anak desa yang sederhana, jauh dari penerangan neon listrik. Hanya rembulan dan lampu pelita yang menerangi malam kami.
Di kampungku, televisi merupakan barang yang sangat mewah. Karena hanya orang kaya saja yang mampu membeli. Tapi mereka sungguh baik hati. Setiap akhir pekan, balai rumahnya terbuka untuk kami yang ingin nonton. Dunia dalam Berita, Film Cerita Akhir Pekan, dan Boneka Si Unyil, adalah menu favorit kami, setiap pekan.
Seperti biasa, hari itu warga kampung beramai-ramai ke rumah Bude Harni. Aku, Danu dan Asih mencari tempat duduk paling depan. Tiba-tiba dari arah pintu masuk, seseorang berteriak,” Wah, Danu pacaran sama Ratri, ya!” Sebagai gadis kelas enam, pikiranku masih sangat lugu. Aku merasa sangat malu, dengan ledekan itu. Spontan aku diam. Sejak saat itu, aku tak pernah bicara lagi dengan Danu. Sekali pun nonton televisi di ruang yang sama.
Kafe
Sore itu Abi mengajakku ngopi di sebuah kafe, pinggiran kota. Katanya, ada pekerjaan yang perlu dibicarakan. Sebagai staf, aku mengiyakan saja. Kupikir, pasti sangat penting. Karena Abi tidak biasa kopdar di luar kantor.
Jazz putih meluncur perlahan, menyusuri jalanan yang terkesan romantik. Tak ada firasat apapun. Polos-polos saja pikiranku. Setiba di sana, suasana jadi berubah. Ketika Abi bicara tentang dirinya dan bisnis yang digelutinya selama ini. Terlebih saat dia menggenggam tanganku, di antara hangatnya kepulan kopi luwak.
Perasaanku merambat kemana-mana. Aku mulai kagum padanya. Pada kecerdasan dan intuisi bisnisnya, yang luar biasa. Merembes juga rasa suka. “Duh, Gusti. Salahkah aku?” Beberapa jam saja di sini, membuat diriku seperti berada di atas awan. Mimpikah aku? Kucubit lenganku, sakit. Abi masih di dekatku, asyik menyeruput kopinya. Kuseruput juga kopiku. Lalu kami pulang. Dan setelah itu tak ada lagi cerita. Abi menghilang. Hanya kafe dan kepulan kopi luwak, yang menyimpan kisah.