Urgensi Pemilu Demokratis dan Aspek Hukum Konstituonalitas PT 20 Persen

IMG 20220204 173244 - Zonanusantara.com
Ist
IMG 20220204 173244 - Zonanusantara.com
Ist

Oleh : Yosef Naiobe dan Solahuddin Matdoan

Masih dalam semangat yang sama, Raja dan Sultan Nusantara sependapat dengan Ketua DPD RI AA Lanyalla Mahmud Mattalitti, agar PT diturunkan menjadi 0 persen.

Read More

Pemilihan umum (Pemilu) merupakan agenda politik nasional yang sering kita ikuti bersama dalam dinamika demokrasi dan pergantian kekuasaan atau dalam sistem ketatanegaraan Indonesia kita kenal dengan pesta demokrasi lima tahunan yang bertujuan untuk memilih kepimimpinan nasional, memilih wakil rakyat yang bertugas di lembaga Dewan Perwakilan rakyat atau legaslatif  dan eksekutif untuk melaksanakan agenda agenda pembangunan dan demokrasi nasional.

Dalam konteks demokrasi, pemilu merupakan bagian dari perwujudan hak-hak politik warga Negara, ikut berpartispasi guna memilih dan dipilih oleh rakyat secara langsung,demokratis, jujur dan adil, sebagimana diatur dalam kontisusi Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 dan hasil amandemen yang menjadi kerangka dasar berbangsa dan bernegara, yang menjadi panduan dan pedoman dasar bernegara.

Untuk itu maka Negara harus hadir dalam hal mewujudkan keseluruhan proses politik lima tahunan ini serta tahapanya dengan sempurna dan dapat menghadirkan wajah demokrasi yang komperhensif.

Problematik sistem kepemiluan di Indonesia, sering mengalami berbagai perubahan dan maslah masalah krusial baik secara regulative konsepsional alias kelembagaan hingga peran dan pengaruh politik partai politik dalam menentukan arah dan kebijakan politik Negara.

Hal ini dapat saja kita amati bersama secara kasatmata tentang hiruk pikuk dan tarik menarik bahkan menjadi fenomena politik pada tataran lembaga legislatif atau DPR dalam merumuskan kebijakan dan regulasi bersama pemerintah guna menentukan arah kebijakan politik lima tahunan serta presentase suara berdasar pada analisis politis dan matematis tentang jumblah suara dan kursi partai politik di lembaga politik dewan perwakilan Rakyat dengan metode system presentase suara, baik berupa Parlemntary electoral maupun Presiden Treschold.

Saat ini yang sangat urgen adalah  masalah yang terkait ambang batas suara dalam pemilihan Presiden dan Wakil Presiden atau yang disebut Presiden Treschold (PT) 20 Persen. Hal ini dimaknai sebagai sesuatu yang penting untuk menuju perhelatan kontestasi  pemilihan presiden (pilpres) 2024.

Wacana ini tampak di publik dengan berbagai respon oleh para elit politik, akademisi, dan para pengamat politik serta lembaga survei politik tentang sisi positif maupun sisi negatif dari fenomena  dan sejumlah narasi yang berkembang di masyarakat tentang perubahan regulasi kepemiluan dan aspek, politik, konsepsionalitas serta konstitusionalitas berupa kedudukan hukum legal standing, dan aspek teknis lainya tentang kesiapan lembaga Pemilihan Umum itu sendiri dalam  menyiapkan perangkat peraturan Komisi Pemulihan Umum agar dapat menjadi panduan teknis penyelengaran pemilu nasional secara demokratis, sehingga pada giliranya rakyat dapat memilih wakilnya di lembaga legaslatif serta memilih pemimpin nasional ke depan yang kuat dan demokratis.

Baca Juga :  Kegagalan adalah Jalan Berputar, Bukan Jalan Buntu

Makna penting dari proses pemilihan Presiden dan Wakil Presiden pada tahun 2024 nanti, sangat tergantung kepada aspek partai politik dalam menerjemahkan semangat dan nilai-nilai kontistusional sebagaimana yang diamanatkan dalam Undang Undang Dasar 1945 pasal 6 A  hasil amandemen  menyatakan , Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam paket secara langsung oleh Rakyat.

Elemen penting dari demokrasi itu sendiri adalah rakyat, di mana rakyat dapat menggunakan hak politiknya untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden secara langsung,umum bebas dan rahasia serta dijamin hak-hak politiknya oleh negara.

Dengan demikian jika kita membedah wacana ambang batas pemilihan prseiden dan wakil presiden secara politik hukum, maka kita akan menemukan beberapa alasan pokok yang menjadi variabel dalam melihat problematika ambang batas pemilihan presiden dan wakil presiden atau yang disebut dengan preshiden trechold antara lain, alasan kontistusional, aspek regulasi beruapa undang-undang sebagai turunan dari amanat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 dan hasil amandemen, serta makna filosofisnya, makna yuridis, serta aspek sosiologis dalam kerangka hirarki hukum ketatanegaran yang dapat digunakan dalam menerjemahkan problem krusial soal ambang batas pemeilihan presiden dan wakil presiden.

Jika Presiden Threshold ini dapat kita maknai dari persepektif Konstitusional maka bisa saja muncul beragam pendapat hukum atau yuridis lainya yang berkaitan dengan politik hukum atau aspek hak-hak politik warga Negara sebagai bagian dan unsur elemen dalam Negara yang telah diatur untuk turut serta sebagai pemilih dalam memilih pemimpin atau presiden masa depan, baik kelompok masyarakat yang melembagakan dirinya dalam instrument partai politik atau kelompok elemen masyarakat lainya yang dapat saja melihat problem ambang batas Presiden Traschold 20% ini sebagai bagian dari upaya Politik oleh partai politik besar untuk membatasi stiap warga Negara dalam mencalonkan diri menjadi Presiden atau wakil presiden atau kata lainya membatasi hak-hak politik warag Negara Dalam demokrasi.

Dalam prespektif hak hak demokrasi dan politik maka, kehadiran para akademisi atau pengamat dalam menerjemahkan problem ambang batas pada ranah pengujian konstitusional serta peran kelompok-kelompok masyarakat dapat mengajukan pengujian konstitusinalitas dalam uji materi pada kerangka yudisial di Mahkamah Konstitusi.

Baca Juga :  " Jika Anda Tidak Bekerja pada Diri Sendiri, Siapa yang akan ?"

Sejumlah figur yang dimunculkan ke publik, tidak ada nama baru. Kebanyakan di antara mereka, telah lama dikenal. Sebut saja, Ganjar Pranowo, Puan Maharani, (PDI P) Prabowo Subianto, (Gerindra) dan Hartanto Airlangga (Golkar). Dalam deretan nama tersebut dikenal luas sebagai kader partai politik.

Dus itu berarti, pemain lama yang selama ini berlindung dan merasa nyaman dalam perlindungan ambang batas pencalonan presiden sebesar 20 persen,
Ketentuan ini diyakini sebagai akal – akalan untuk mengebiri hak politik rakyat sekaligus menumbuhkan politik oligarki.

Persoalan mengemuka lantaran sebagian elemen masyarakat merasa tidak puas, lantas menggugat ketentuan tersebut melalui Mahkamah Konstitusi (MK). Mereka menghendaki agar ketentuan ambang batas atau presidential threshold 20 persen diubah menjadi nol persen.

Para penggugat terdiri dari sejumlah aktivis, pakar hukum, termasuk Anggota DPD RI, Fahira Idris. Substansi gugatan itu menyoal presidential threshold 20 persen dalam Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017, yang dinilai bertentangan dengan Pasal 6 dan 6A ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 (UUD NRI 1945). Hal itu diungkapkan oleh Lieus Sungkharisma dalam sebuah video yang diunggah dikanal YouTube Refly Harun pada Kamis, 30 Desember 2021.

“Pasal 222 itu Undang-Undang Pemilu ya? Iya itu jelas bertentangan, karena di UUD ’45 nggak ada tentang threshold 20 persen,” kata Aktivis Sosial yang juga Tokoh Tionghoa itu.

Dia menjelaskan, dalam UUD 1945, hanya disampaikan partai politik yang menjadi peserta pemilu mempunyai hak untuk mencalonkan presiden dan calon wakil presiden.

Hingar-bingar adu argumentasi memunculkan polimik di tengah masyarakat yang ikut mempersoalkan ambang batas 20 persen. Wakil Ketua Umum Partai Demokrat Benny, K Harman,  menyatakan hal terpenting dari adanya presidential threshold 20 persen adalah digunakannya kekuatan oligarki untuk menghadang munculnya calon pemimpin yang dikehendaki masyarakat.

Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan Hasto Kristiyanto menyatakan presidential threshold atau ambang batas pencalonan presiden sebesar 20 persen merupakan syarat minimum agar pemerintah dapat bekerja secara efektif.

“Minimum (presidential threshold) 20 persen itu untuk memastikan efektivitas dari kerja pemerintah yang dipilih oleh rakyat,” kata Hasto, sebagaimana dilansir KOMPAS.COM belum lama ini.

Muara dari polemik yang ada, intinya, syarat ambang batas 20 persen ditinjau kembali. Sultan Nusantara yang tergabung dalam Majelis Adat Kerajaan Nusantara (MAKN) juga ikut menggugat ke Mahkamah Konstitusi (MK) dalam bentuk judicial review. Raja dan Sultan Nusantara sependapat dengan Ketua DPD RI AA Lanyalla Mahmud Mattalitti, agar PT diturunkan menjadi 0 persen.

Related posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *