Oleh Yos Naiobe
Ribuan detik telah kulewati dengan melamun, tak ada setitik terang yang mampu biaskan embun.
Sebuah kota kecil di Sulawesi Tengah, tampak menepi dari keramaian. Kota itu adalah Parigi. Secara geografis, diapit oleh kota Palu dan Poso. Di sudut-sudut kota, nyaris tak ada aktivitas yang berarti. Seperti menyimpan rahasia tersembunyi. Hanya sunyi yang menemani waktu mengintip lambaian dedaunan.
Miranda murung. Gadis berkulit kuning langsat berambut pirang itu, perasaannya terhimpit gundah gulana dengan asmara yang menyelimuti dirinya. Mira biasa ia disapa sedang menuntut ilmu di sebuah perguruan tinggi, kehilangan gairah. Wajahnya berlumur kekesalan. Bayang bayang keceriaan hanya ilusi belaka. Ia merenungi nasibnya yang terhempas.
Mahkota miliknya terenggut oleh cinta palsu menjerumuskanya ke dalam jurang penyesalan. Rongga dadanya tercabik-cabik. Mahkota yang dititipkan ibunya sejak masih menghuni bumi terindah selama sembilan bulan dalam kandungan, tak mampu mempertahankan kesuciannya.
“Tidak harus sekarang, Arman. Masih ada hari esok. Atau tunggulah kalau kita sudah menikah. Nanti di malam pertama, aku akan menyerahkan permataku,” kata Miranda meronta seraya mencoba bertahan sebisa mungkin. Kata-kata itu ditujukan kepada Arman yang terus mendesah dengan napas terengah engah seperti habis lari maraton, merayu kekasihnya dengan jurus tingkat dewa hingga membuat gadis berparas cantik itu menyerah. Pasrah. Sebagai perempuan ia tak mampu melumpuhkan rayuan Arman yang terus melumat bibirnya dan sudah kehilangan akal sehatnya. Teriakan Miranda seraya terisak dibiarkan begitu saja. Seolah angin lalu.
Sejurus kemudian hujan derai air mata jatuh berderai, melerai belahan pipinya yang memerah. Air matanya mengguyur seluruh organ tubuhnya. Gerimis senja ikut menyaksikan desiran angin pantai. Tangisan Miranda kian kencang setelah ia sadar, ada yang lepas. Ada yang hilang dari tubuhnya. Mahkota yang ia pertahankan mati-matian diraih Arman yang dikenalnya sejak di bangku SMA. Tiga tahun silam.
Sejak kejadian itu Miranda, merasa dunia tempat ia berpijak dan menumbuhkan harapannya terasa asin. Serupa air laut. Sekali pun gadis berbintang Scorpio ini belum pernah mencicipi air laut untuk merasakan rasa asinnya. Namun ia mengetahuinya dari buku Biologi yang ia pelajari tentang kuota laut. Jauh di lubuk hati Mira, perasaannya sudah melewati rasa asin itu sendiri. Seandainya ia tidak mengingat petuah dari almarhumah ibunya, Mira yang kini duduk di semester V Fakultas Psikologi di sebuah kampus di kota Parigi, ingin mengakhiri saja hidupnya. Hidup baginya hanyalah sampah yang terbuang dari aksi-aksi jahat yang menistakan kehidupan.
“Nak. Hidup ini tak seindah seperti yang dibayangkan banyak orang. Terkadang manis, namun juga pahit. Tergantung kondisi kebatinan seseorang,” kata-kata ini masih tergiang indah di telinga. Petuah Fatimah, ibunya membuat diri Mira kuat bagai karang yang tak mudah goyah menghadapi dasyatnya gelombang kehidupan.
Sebagai anak pertama, ia memiliki tanggungjawab terhadap dua adiknya Farhan dan Irfan. Sejak ditinggalkan kedua orangtuanya, Mira menjadi orang tua dadakan. Ia mengambil alih kemudi bahtera rumah tangga sebagai nahkoda. Kejadian malam itu bersama kekasihnya, hanya seberkas noda yang menempel dan mengotori jiwanya. Karena itu ia berjanji akan melupakan peristiwa itu sambil terus melangkah guna menatap serta merajut masa depan.
Permata itu berlian yang melekat erat dalam batin. Itulah harta karun yang tak terhingga yang ditipkan sejak masih dalam kandungan ibuku, kini sirna. Lenyap seperti embun. Ribuan detik telah kulewati dengan melamun, tak ada setitik terang yang mampu membiaskan embun. Aku hanya bisa menasihati diri sendiri agar tampak seperti embun yang jernih di pagi hari, di mana setiap tetesannya mempunyai makna tersendiri.
Sejak pertama mengenal Arman, pamannya pernah mewanti wanti keponakannya agar berhati-hati memilih teman. Namun kisah Pantai Nalera, tempat wisata yang mempesona di Kabupaten Parigi, membuatnya lupa. Bukan saja melupakan nasihat adik ibunya paman Firdaus yang telah mengasuh dirinya bersama dua adiknya. Mira bahkan lupa diri. Ia rapuh. Tubuh mungilnya seperti tidak dilapisi tulang. Saat memadu asmara dengan Arman, di pantai Nalera, ia menghabiskan waktu bersama kakak semesternya itu. Kedua sejoli yang sama sama kuliah di universitas yang sama hanya beda fakultas. Arman di Kedokteran sementara Mira Psikologi. Pantai Nalera. cukup terkenal karena mempunyai pasir putih dan bersih. Bahkan, air yang sangat jernih bisa memperlihatkan karang berwarna-warni.
Di tempat wisata ini Mira dan Arman mempertaruhkan realita dan harapan. Antara cinta dan cita- cita. Lembayung senja dijadikan sebagai pijaran lampu yang meredup membuat keduanya terlena dan meredupkan semuanya. Setelah sadar semuanya telah terlambat. Arman yang mencoba meminta maaf sudah tidak dihiraukan. Permintaan maafnya semakin membuat perasaan Mira membeku dan tanpa bekas.
Burung camar yang terbang di alam bebas. Sore itu, sesekali melengkung di bibir pantai Narela, memberikan ketenangan batin bagi Miranda. Ia bangkit dari mimpi buruk yang baru saja menimpanya. Kejadian itu membuat hidupnya laksana burung bersayap patah yang tidak bisa terbang.
Suatu waktu di Kota Parigi, Sulawesi Tengah, Senin, 16 September 2024