Karya : Irene S.
Kabar menyenangkan perasaan acapkali meletupkan kegirangan tak tekira. Hal yang sama dialami Mia. Cerpen kearifan lokal ini terjadi di Sikka – Flores Nusa Tenggara Timur.
Berikut kisahnya ;
“ Hore, kami mau sambut baru! “ Begitu riuh suara anak-anak kelas IV SDI Ahuwair, tatkala mendengar penyampaian dari Pak Abdon, guru Mata Pelajaran Agama. Bara angan meletup-letup tak sabar menunggu dering pelajaran berakhir. Semua terlihat mencoba mengekang gelora di dada. Gelora untuk segera menyampaikan kabar gembira itu. Begitu dering lonceng panjang meraung, semua berhamburan ke luar dari kelas dengan wajah berbinar. Tak sabar menunggu respon orang tua menerima kabar dari guru Agama tadi. Sambil bercanda ria bersama teman-teman, tak sadar Mia sudah menerobos masuk di sebuah rumah yang tampak tua dimakan zaman. Rumah tempatnya berlindung dari terik dan hujan.
“Ibu…! Bu..!”, panggil Mia sembari meletakan tasnya begitu saja di atas bale-bale kamar tidurnya.
Dicopotnya sepatu butut dan kaos kaki yang telah memucat warnanya dari kakinya yang mulai terasa pegal karena semangatnya berjalan untuk cepat sampai ke rumah.
“Iya. Ada apa? Kamu lapar?”, jawab ibunya dari kajang tempatnya menenun setiap hari.
“Pak Guru Agama bilang kami mau sambut baru sudah.”, lanjut Mia sambil menanggalkan kemeja putihnya yang sudah memudar kecoklatan oleh debu tanah liat.
Mia lantas bergegas ke dapur, membuka tutupan periuk, mencomot sepotong ubi lalu dimakan dengan lahapnya. Sesaat dia melongo ke arah kajang, untuk memastikan apakah ibunya masih di sana. Sedikit heran karena tidak mendengar respon.
“Kenapa ibu diam saja?” Mia membatin.
Diambilnya sepotong lagi ubi di periuk, dimakannya sambil berjalan menuju tempat mamanya menenun.
“Bu, kami sudah mau sambut baru. Benar, kata Pak Guru tadi.” , tegas Mia lagi.
“Iya. Ibu sudah dengar tadi.”, timpal ibunya tanpa ekspresi sambil tangannya sibuk melakukan aktivitas tenunnya.
“Ibu tidak senang?”, selidik Mia ketika mendapati ekspresi ibunya yang datar itu.
“Kata siapa? Ibu senang ko.” jawab ibunya sekenanya sambil tersenyum. Senyum yang terpaksa dihiaskannya demi Mia putri kesayangannya.
“Asyik…!” respon Mia semangat. Tanpa sempat membaca guratan sendu di wajah mamanya.
***
Setelah puas menikmati istirahat kedua, siswa-siswi kelas IV tak sabar mengikuti pelajaran Agama bersama Pak Abdon. Tak seperti biasanya, mereka sudah rapih di kelas, siap menyalami Pak Abdon yang diyakini membawa berita baru mengenai sambut baru. Setelah kompak menyalami Pak Abdon mereka kembali duduk rapi. Mia duduk di deret paling depan.
“Nah, anak-anak, hari Minggu depan setelah misa kalian harus ikut kegiatan SEKAMI. Ini persyaratan agar kalian bisa sambut baru,” tegas Pak Abdon sebelum memulai pelajaran.
“Iya, Pak”, jawab semua siswa kompak. Kegiatan sekami (sekolah Minggu) selama sebulan diikuti Mia dan kawan-kawan sekelasnya dengan penuh semangat. Sebelum menutup kegiatan, Ibu Seli, guru sekami berpesan bahwa mulai minggu depan akan dimulai pendampingan bagi orang tua calon sambut baru. Diwajibkan orang tua ikut misa dan setelahnya mengikuti pendampingan tersebut, karena akan diabsen. Sebuah ancaman yang mujarab bagi orang tua calon sambut baru setiap tahun.
“Ibu, Minggu depan pergi sembayang sudah. Nanti diabsen,”kata Mia sembari menanggalkan pakaian Gerejanya yang seadanya itu.
“Ibu belum punya baju untuk misa juga,”timpal ibunya seraraya mencari alasan.
“Pake baju lama dengan sarung saja juga baik ko bu.”
“Iya,” Jawab ibunya sengaja menutup percakapan itu.
“Pokoknya aku harus terus mengingatkan ibu,” Mia membatin penuh semangat.
Sementara itu, di atas bale-balenya Mia terbaring, hanyut sesaat dalam angan-angan penuh warna suka cita. Baju yang akan dikenakannya, juga orang-orang yang akan menyalaminya silih berganti menari- nari di dalam angannya.
***
“Mia! Woe Mia! Pak Abdon panggil tu,” teriak Cika teman sekelas Mia. Segera Mia berbalik ke arah suara itu dan berlari tergesa ke ruang guru. Disusul Cika dari belakangnya.
“Mia, Ayo masuk,”ujar Pak Abdon begitu melihat Mia berdiri ragu di depan pintu ruang guru dengan napas tersengal. Cika yang berdiri tepat di belakangnya mendorongnya agar Mia segera masuk.
“ I..Iya, Pak,” jawab Mia gugup lalu bergegas masuk dengan beribu rasa penasaran di dadanya.
“Jadi begini,Mia. Tahun ini kamu belum boleh sambut baru.” ,lanjut Pak Abdon
“ Ta…tapi, kenapa,Pak?”, sahut Mia gugup. Belum yakin benar dengan kalimat yang baru saja didengarnya. Harapannya semoga dia sedang salah dengar.
“ Maaf Mia. Setelah bapak cek administrasi kamu, ternyata kamu belum permandian.”, jelas Pak Abdon cukup hati-hati.
“ Ja..jadi?”, tanya Mia tak mengerti. Pesona di wajahnya memudar sekejap. Dahinya berkerut. Segurat kecewa membias di wajah lugunya. Pak Abdon berusaha menatapnya setenang mungkin.
“Kamu belum boleh sambut baru.” ,tegas Pak Abdon lagi.
“Nanti aku kasih tahu ibu supaya permandian, Pak.” Semangatnya tersembul dari dada kecilnya yang sedang tak banyak mengerti itu.
“Tapi, Mia. Itu tidak mungkin,” potong Pak Abdon dengan nada iba sembari menatap Mia dengan harapan agar Mia memahaminya. Tatapan yang tanpa disadarinya memenggal asa Mia yang meletup-letup.
“Tidak mungkin? “ tanya Mia sambil menyeka keringat yang mulai berguguran.
Dahinya berkerut lagi. Berpikir keras mencari jawaban dari pertanyaannya sendiri. Sendi-sendi tangannya dirasakan seperti tak ada tenaga lagi. Wajahnya memucat. Sepenggal asa yang menyeruak dari bilik hatinya bagai komando yang mengharuskan Dia segera beranjak dari ruang guru. Mia harus segera menemui ibunya. Sekarang juga. Lebih cepat, lebih baik. Ditinggalkannya Pak Abdon yang masih menatapnya. Tanpa permisi. Direnggutnya tas butut yang senantiasa melekat dipunggungnya saban hari. Berhambur keluar dari kelasnya yang mulai riuh memperbincangkannya. Tak digubrisnya semua itu. Biarkan saja. Ibunya yang akan menjawab semua pertanyaan mereka. Ibunya belum pernah melewatkan satupun pertanyaannya tanpa jawaban. Selalu punya solusi untuk setiap persoalan. Bahkan ketika Mia merindukan belaian seorang bapak, mamanya bisa menghadirkan seorang bapak baginya. Meski di mata orang, itu kenyataan yang penuh ironi namun di mata Mia, ibunya adalah superhero yang bisa mengabulkan setiap permintaanya.
Di tengah deru kendaraan yang lalu lalang dan matahari yang mulai memanggang tubuh mungilnya, Mia menyeret langkahnya yang berat dengan kepala tertunduk. Terik siang itu tidak menyurutkan langkah Mia. Sementara berseliweran pernyataan tidak mungkin dari Pak Abdon dan kenyataan-kenyataan yang membuatnya tak jemu-jemu mendewakan ibunya.
“Ibuku pasti bisa menolongku. Pak Abdon harus tahu itu..,”batin Mia di tengah kecamuk suara hati yang mencoba memadamkan asanya.
Dulu Mia hampir gagal masuk SD karena belum permandian tapi mamanya bisa menghadap Ibu Agnes guru kelas I, dan akhirnya Mia bisa diterima. Sekarangpun pasti bisa. Langkahnya dipacunya semakin cepat. Matanya silih berganti beradu dengan jemari kakinya yang menyeruak dari ujung sepatu hitamnya yang sudah memudar pesonanya. Meski begitu, semangat di dadanya masih menyala-nyala bagai lilin kecil yang enggan padam walau diterpa angin.
****
Rumah reot yang mulai rapuh tiang bambunya, setia menunggu kembali Mia dari sekolah. Mia mengurungkan niatnya untuk menurunkan periuk kecil dari gantungannya. Toh bukan untuk itu dia membolos. Masih disempatkannya meneguk segelas air putih di tengah deru napasnya yang masih tersengal.
“Mia…! Kaukah itu?”, teriak ibunya dari kajang, demi didengarnya suara di dapur yang sudah cukup dikenalnya setiap siang. Mia tak segera menjawab. Masih dengan tas dipunggungnya, dihampirinya ibunya yang sedang menenun. Aktivitas rutin yang dilakukan untuk menyambung hidup mereka.
“Hari ini pulang cepat?”, tanya ibunya tanpa menoleh.
“Bu, aku mau permandian.”, ujar Mia tak menimpali pertanyaan ibunya. Raut muka perempuan itu berubah seketika.
“Kamu sudah makan?” Kenapa tidak ganti baju dulu?” kata ibunya mencoba mengalihkan pembicaraan.
“Aku belum lapar, aku bisa permandian,kan?” kejar Mia antusias berusaha mengalihkan percakapan kembali ke topiknya.
Ibunya masih berusaha tenang. Dikendurkannya tali pengikat pine perlahan dari pinggangnya. Digulungnya tenunannya hingga sebatas lututnya.
“Ayo, kita makan dulu. Ibu juga sudah lapar. Sana ganti baju dulu.”
Miam ibunya meski enggan karena belum mendapat kepastian. Mendahului ibunya dengan harap-harap cemas, Mia menuju bale-balenya. Ditariknya gardus pakaiannya yang juga biasa dipakainya sebagai alas untuk menulis, dikeluarkan sehelai baju kusut dari dalamnya. Dikenakannya secepatnya lalu menuju ke bilik dapur yang bersekat dinding pelepa itu, untuk menanti jatah makan siang dari ibunya. Mia tertegun sejenak menatapi nasi jagung di piringnya. Sepotong ikan rebus yang melengkapi hidangannya tidak juga menarik minatnya untuk segera menyantapnya. Bukan karena tak lezat. Satu hal yang membendung nafsu makannya adalah kata-kata Pak Abdon tadi di sekolah. Lalu lintas keraguan di benaknya begitu ramai.
“Mia, kenapa tidak makan? Ikannya sedikit ya? Ni, ibu tambahkan bagian ibu.” Kata ibunya mencoba memecah keheningan siang itu. Sedikit bersandiwara agar bisa mengalihkan fokus pertanyaan Mia sejenak. Paling tidak sampai dia menemukan waktu yang tepat untuk menjawab pertanyaan itu.
“Bu, aku bisa permandian, bukan?” kata Mia tiba-tiba. Ibunya tersentak hebat. Pertanyaan itu bagai palu godam yang menghantamnya. Karena memang dia belum mampu menjawabnya sekarang. Tapi, pertanyaan yang sama itu sudah dilontarkan bertubi-tubi padanya. Apa yang harus dilakukannya sekarang? Dibalutnya ekspresi wajahnya yang sempat kacau dengan ketenangan seorang ibu.
Mia cemas-cemas sembari berharap. Tak memalingkan sedikitpun tatapannya dari wajah pahlawannya itu. Mungkin sedikit anggukan saja akan sangat membuatnya bernafsu untuk menyantap nasi di depannya. Mia ingin mendapatkan satu jawaban dari tatapan ibunya yang tenang itu. Sementara ibunya terhanyut sejenak ke masa silamnya hingga akhirnya sampai pada satu keputusan untuk mengatakan sebuah kebenaran. Tatapan memohon di mata Mialah yang mendorongnya untuk mengungkapkannya.
“Kau belum bisa permandian, Mia.”, katanya kemudian.
“Tapi, kenapa Ma?” Ibu kan bisa kasih tahu bapak Romo,” ucap Mia tak sabar. Keyakinannya begitu kuat. Dulu hanya dengan bertemu Bu Agnes saja dia bisa sekolah walau belum permandian. Pasti sekarang juga bisa. Begitu pikirnya.
“Tidak semudah itu, Nak.”
“ Kenapa?”
“Ibu dan bapakmu belum nikah sah.”
“Nikah saja. Apa susahnya?
“Tidak semudah itu, Mia. Bapakmu sudah menikah, punya istri dan anak. Agama kita tidak ijinkan yang begitu.”
“Kenapa ibu mau? Memangnya tidak ada laki-laki lain?”
“Mia! Hentikan!”
“Kenapa Bu? Ibu bilang akan selalu buat senang aku? Kenapa buat aku begini? Ibu jahat…………. Tidak sayang aku!” teriak Mia memecah keheningan siang itu.
Tangis Mia pecah. Mia segera turun. Bale-bale tempat tidur adalah peraduannya kini. Dicampakannya gardus tempat menyimpan pakaiannya ke tanah. Dihamburkannya bantal yang isinya sudah menyembul ke luar itu hingga berserakan memenuhi bilik pembaringannya itu. Dikepalkan tinju sekuat-kuatnya ke bale-balenya yang mulai usang. Bruk! Bruk! Pelupuh bale-balenya patah. Ada perih di jemari mungilnya. Berdarah. Ekspresi kecewa yang dalam. Sedalam luka yang tertoreh di hati polosnya. Kebingungan, kekecewaan, kehancuran mendera batinnya yang belum bisa mencerna semuanya. Akal sehatnya dipaksakan berpikir namun tiada jua ia mengerti karena akalnya yang belum sepanjang orang dewasa. Yang dirasanya adalah rasa bangga pada mamanya selama ini adalah sebuah kepalsuan. Jadi lelaki yang diperkenalkan mamanya sebagai bapak itu adalah milik orang lain. Pantas saja, bapaknya hanya mengunjungi Mia dan ibunya seminggu, bahkan sebulan sekali. Sedikit terhibur karena ada yang bisa dipanggilnya bapak seperti kebanyakan teman lainnya. Paling tidak biar teman-temannya tidak mengejeknya karena tidak berayah. Toh mereka juga tidak terlalu mengerti tentang itu. Bapak biologisnya yang meninggalkannya sejak dalam kandungan, juga hilang entah ke mana. Mia benar-benar terjebak dalam kehidupan rumah tangga yang pelik. Dibenamkan wajahnya sedalam-dalamnya ke bantal yang sudah berbau tak sedap. Bantal butut itu sudah basah oleh air matanya. Semuanya tampak gelap, segelap dunianya kini. Dirasakannya sentuhan di punggungnya. Sadar bahwa mamanya menghampirinya, ditepisnya tangan itu dengan kasar. Pikirnya kalau ibunya tak bisa membantunya, buat apa dia mendekatinya lagi.
“ Pergi………..! “
“ Mia.”
“ Ibu tidak sayang aku,kan? Pergi saja. Jauh sana” teriak Mia penuh emosi sambil terisak!
“Mia! Boleh kau marah Ibu. Pukul saja kalau mau. Tapi jangan bilang ibu tidak sayang kamu, Nak.”, tangis perempuan itu memecah. Air matanya berguguran tak tertahan. Bagai hujan di terik siang. Semuanya tercurah bagai dicucurkan dari langit. “ Maafkan Ibu. Maaf sekali. Masa lalu ibu yang ternoda itu sudah mengorbankanmu sekarang. Hukum saja ibu karena tidak bisa bantu kamu kali ini. Bukan karena sengaja tapi karena waktu itu ibu sendiri juga tidak tahu akan begini akhirnya. Ini semata karena kebodohan. Ibu menyesal sekali. Ibu merasa berdosa terhadapmu nak. Maafkan ibu.”
Mia merasa tak berdaya. Ungkapan penyesalan ibunya membuatnya bagai terjaga dari mimpi buruknya. Benar saja. Kalau ibunya dimintanya pergi, siapa lagi yang akan bersamanya. Bapaknya? Tidak mungkin. Hampir setengah tahun ini, lelaki itu tak datang. Lelaki itu sedang bersama istri dan anak-anaknya. Dibiarkannya mamanya rebah di atas punggungnya yang mulai letih. Dia bangun. Membalikan badannya. Menatap ibunya lalu rebah dipelukan ibunya. Dalam kegalauan Mia masih mendapatkan ketenangan yang terpancar dari dada wanita yang baru saja sangat dibencinya. Wanita yang berjuang tanpa menggantungkan harapan pada uluran tangan dari siapapun termasuk pada lelaki yang dianggapnya bapak itu.
******
Di atas bale-bale bambu tempat pembaringannya, disibaknya lembar demi lembar kerinduannya yang mengelabu. Matanya masih enggan terpejam meski malam kian beranjak. Sementara gelap semakin memekat menyelimuti Mia malang yang mengalah oleh batasan takdir. Penjelasan ibunya yang belum sepenuhnya dipahami oleh pikirannya yang masih kecil itu, harus tetap dimaklumi.
Bahwa Gereja telah mengatur seperti itu dan wajib dipatuhi oleh akalnya meski ada protes di hatinya. Bertanya-tanya dalam hatinya, adakah salahnya sampai dia harus menanggung rindu yang seberat itu akan Yesus. Kalau memang hidupnya adalah sebuah kesalahan, mengapa dia harus dibiarkan ada? Namun, hati kecilnya tak tega juga kalau harus menghakimi mamanya seumur hidup. Karena mamanyalah yang telah melahirkannya. Maka dibiarkannya rindu itu makin menyayatnya apalagi melihat teman sekelasnya dengan tangan terkatup berlangkah pasti menerima Komunio.
“Salahkah aku jika aku yang hina ini merindukan-Mu? Apakah aku harus menanggung dosa yang tidak ku buat? Bukankah Engkau datang untuk menghapus dosa kami? Ampuni mama karena mama tidak tahu apa yang dia perbuat.”, doa Mia dalam sujudnya di keheningan malam itu. Simpang siur pertanyaan yang mewakili rindunya yang kian hari kian membuncah, terus berlalu lalang di benaknya yang bening. Rimbunnya dedaunan pengharapan yang menghijau di hatinya untuk menerima Komunio, gugur satu persatu menuju ke kegersangan jiwa yang memprihatinkan. Mia masih harus menanti hingga kini.
***
Irene S, Kepala sekolah di salah satu SMP Negeri, di Flores Nusa Tenggara Timur