Catatan lepas ; Yosef Naiobe
Gajah mati meninggalkan gading. Manusia mati meninggalkan nama. Elang itu perkasa. Daya cengkeramannya kuat. Yunanto seperti elang. Kebaikannya kuat mengakar di kalangan sahabat sahabatnya. Sayang, elang itu kini terbang menjauh melintasi lapisan angkasa bersama kebaikannya.
Adigium ini cocok disematkan pada Yunanto. Wartawan kawakan, pakar hukum yang menguasai hampir semua produk undang undang ini meninggal di Samarinda, Kalimantan Timur, Kamis (8/7).
Kepergian sang guru demikian ia disapa membuat kaget banyak orang. Ayah dua anak dengan dua cucu ini dikenal sebagai sosok humanis yang murah hati. Yunan demikian sapaan manisnya, akrab dengan siapa saja, terutama di kalangan wartawan di Malang, Jawa Timur.
Keteladanan membimbing wartawan pemula, menempatkan dirinya sebagai seorang guru. Ia laksana jenderal tanpa prajurit. Profesor di bidang media, dosen yang asyik, penuh humor
Wartawan senior yang mengawali debutnya sebagai wartawan era tahun 1970an, di Jakarta kemudian memutuskan pulang ke Malang dan bergabung dengan Harian Surabaya Post yang terbit sore pada tahun 1982 hingga 2012.
Lebih dari separuh hidupnya pria kelahiran Singaraja Denpasar, Bali 21 Juni 1958 ini total mendedikasikan hidupnya untuk duania jurnalistik. Praktis ia menguasai bidang jurnalistik termasuk masalah hukum. Para praktisi hukum (pengacara) maupun wartawan yunior yang sempat berguru pada almahrum mengakui kecerdasannya.
“Ia orang awam yang kuasai masalah hukum,’ ucap Yahya, Jumat (9/7).
Yahya yang berprofesi sebagai wartawan ini, merupakan salah satu muridnya yang sangat dekat. Sayang kedekatan ini harus berakhir untuk selamanya.
Melukis kebaikan sang guru, sama seperti menggaruk pasir di pantai. Yunanto tergolong mati muda. Soe Hok Gie, catatan seorang demonstran. melukiskan; ‘Berbahagialah orang yang mati muda.