Oleh : Yos Naiobe
Setiap musim pemilihan umum legislatif, presiden hingga kepala daerah rakyat selalu dimobilisasi secara besar-besaran oleh calon legislatif, presiden maupun calon kepala daerah. Rakyat sangat antusias menyambut momen pesta demokrasi yang terjadi sekali dalam lima tahun. Karena itu mereka berbondong-bondong mendatangi tempat di mana calon melakukan sosialisasi atau kampanye hingga pada hari pemungutan suara.
Begitu berartinya suara rakyat sehingga harus diperebutkan mati matian dengan tetes keringat dan bahkan berdarah-darah. Dirayu, diiming-imingi dengan beragam janji manis seperti misalnya janji memperbaiki nasib rakyat sampai pada pemberian bantuan sosial dan bantuan lain yang sifatnya temporer. Rakyat ketika mendapatkan bantuan secara instan langsung terbuai dengan kebaikan dadakan dari para calon tanpa berpikir untuk mencerna rasionalitas janji tersebut dengan modus bantuan yang diterimanya.
Jurus bujuk rayu
Instrumen politik mengisyaratkan calon pemenang adalah mereka yang sukses merebut hati rakyat. Karena itu, untuk merebutnya harus berjuang keras menggunakan perangkat penghubung lain. Membangun pendekatan dengan tokoh agama, adat, serta tokoh masyarakat. Mereka ini dijadikan sebagai vote getter guna menarik sebanyak banyak simpatisan.
Bahkan ada juga calon yang berusaha mencapai kemenangan dengan menggunakan segala cara, sekali pun menabrak aturan main demi mendapatkan suara rakyat.
Cara yang paling sering didengar antara lain jurus menebar janji. Simak percakapan singkat ini. “Bila bapak-ibu memilih (saya, kami) maka saya atau kami akan melakukan bla…bla..bla, membantu bapak ibu membangun ini dan itu atau memberikan fasilitas pendidikan gratis dan lain lain.
Pengalaman mengajarkan kepada kita bahwa dari pemilu ke pemilu sejak orde baru hingga saat ini strategi merayu rakyat masih menggunakan pola lama. Dari waktu ke waktu setiap pergantian rejim melalui suksesi (pemilu), metode mengumbar janji belum berubah, seakan tidak ada lagi cara lain. Janji dengan narasi yang sama terulang dan rakyat masih saja terbius meski terkesan sudah mubazir. Ada pameo, mengatakan sebuah janji yang mudah diucapkan endingnya akan menghadirkan rasa penyesalan.
Sangat boleh jadi ada benarnya pameo tersebut. Sebab setelah terpilih yang bersangkutan pasti lupa tentang apa yang pernah diucapkan di hadapan rakyat yang memilih. Janji itu tidak akan pernah terwujud hingga masa jabatan itu berakhir. Ada pula pepatah habis manis sepah dibuang.
Rakyat mudah ditipu
Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini sebagaimana dikutip KOMPAS mengatakan pemilih dalam hal ini rakyat harus mencermati calon sebelum hari pemungutan suara. Hal itu penting, supaya nantinya bila terpilih sesuai dengan harapan para pemilih. Karena itu rakyat harus cermat menentukan hak pilihnya untuk menyalurkan suaranya pada calon atau pasangan calon yang bisa mampu mewujudkan janji-janjinya dikemudian hari bila terpilih.
Masih menurut Titi, salah satu bayang-bayang persoalan yang kerap ditemui di setiap pemilihan ialah jual beli suara. Padahal, politik transaksional memicu terjadinya korupsi. Perilaku pragmatis agar menang dalam pemilu menggunakan jalan pintas politik transaksional berupa jual beli suara.
Peristiwa politik atau pesta demokrasi yang digaungkan sejak masa Orde Baru pada pemilihan umum 1971, merupakan momentum di mana rakyat dapat menentukan pemimpin dengan bebas tanpa tekanan dan intimidasi.
Akan tetap dalam prakteknya situasi ini dimanipulasi oleh oportunisme pragmatis baik dari rakyat maupun calon yang dipilih. Kebiasaan menganggap mometum pemilihan umum sebagai kesempatan mendapatkan sesuatu merupakan tindakan yang meracun pesta demokrasi. Meski dilarang undang-undang pemilu namun faktanya di lapangan sulit dihindari. Pengetatan pengawasan akan adanya kekwatiran terjadi serangan fajar jelang hari pemungutan suara dapat membuktikan praktek kotor politik transaksional membeli suara sulit dihindari. Hal ini dipermudah karena rakyat memberi ruang agar mau dibeli oleh calon yang juga mau menyokong dana besar untuk tujuan meraih kemenangan rakyat dengan cara menyimpang atau membeli suara.
Menggunakan cara -cara kotor dalam meraih kesuksesan membenarkan anggapan sebagian orang bahwa politik itu kotor, atau iblis yang dibutuhkan.
Machiavelli dalam bukunya Il Principle atau Sang Penguasa, beranggapan bahwa kekuasaan bisa dicapai dan dipertahankan dengan menghalalkan segala cara. Buku ini juga sebagai pedoman para diktator di dunia, seperti Adolf Hitler, Napoleon Bonaparte, Mussolini, Vladimir Ilyich Ulyanov alias Lenin, dan Ioseb Besarionis dze Jughashvili alias Stalin.
Namun pandangan filsuf Yunani ini dibantah oleh ahli hukum, mendiang Prof. Jacob Elfinus Sahetapy. Dosen senior FH, Universitas Airlangga Surabaya ini menyatakan politik tidak kotor yang kotor adalah manusia-manusia yang tidak bermoral dan tidak mempunyai hati nurani.
Pandangan yang sama disampaikan Raihan Muhamad bahwa pada hakikatnya politik itu suci dan mulia, yang membuat kotor dan hina adalah aktornya, yakni manusia.
Carut marut Politik di Indonesia.
Jika kita melihat realitas politik yang ada–khususnya di Indonesia–banyak politikus yang justru membuat politik menjadi kotor dengan melakukan tindakan-tindakan tercela, seperti kebohongan, korupsi, black campaign, melakukan politik uang, dan lain-lain. Para politikus bukannya memberikan citra yang baik bagi politik, tetapi tindakannya malah melecehkan politik itu sendiri yang menimbulkan stigma negatif.
Ujung dari semua prakter politik kotor tersebut, akan membawa rakyat pada jalan buntuh. Bilamana aspirasinya dihambat dan tidak bisa disalurkan kepada pembuat kebijakan akibat kanal demokrasi yang tersumbat, maka rakyat harus memperjuangkan hak-haknya dengan menggelar aksi demonstrasi.
Pemimpin yang meraih kekuasaannya menggunakan cara kotor tidak akan mau berhadapan dengan tuntutan rakyat. Kalau pun terpaksa ia akan berdalih telah membayar semuanya. Sampai di sini kita simpulkan bahwa suara rakyat hanya sebatas kotak suara. Setelah itu ditelantarkan para penguasa.
Yos Naiobe, wartawan asal Timor.
Pernah bekerja di Malang dan daerah lain di Sulawesi termasuk Yogyakarta & Semarang.