Oleh Hendrika LW
Ketika jarak menghadirkan ruang – ruang sepi di antara kita, satu satunya hal yang bisa mempertemukan kita adalah rindu.
Entahlah, sudah berapa musim Cemara itu layu. Mengering, bahkan hampir mati.
Seperti perasaan Arra, yang sekian lama dibiarkannya begitu saja. Terberai dalam paparan kemarau yang tak kunjung usai.
Saat itu, di bulan Januari sembilan tahun lalu. Arra mengenal Enji, di sebuah acara diskusi kebudayaan. Cowok bermata coklat itu mampu membuat hati Arra luruh. Penampilan simpatiknya mencairkan perasaan Arra, yang membeku dari dulu.
“Aku sayang kamu, Arra.”
Kata-kata emas yang diucapkan Enji pada suatu malam, telah tersemat di lubuk hati Arra.
“Aku juga sayang kamu, Nji.”
Sepoi janji membuai hati. Tiupan angin membelai lembut, membisik kata cinta, membuat hati bak taman bunga.
Ah, indahnya. Arra hampir tak percaya bisa jatuh cinta. Bunga-bunga bermekaran di hati Arra yang sedang merah merona. Kemuning, mawar, melati. Hmmm, keharuman asmara cinta.
Cinta asmara kadang berkelana. Cinta semesta tak pernah sirna. Tapi apalah cinta manusia. Sesaat ada, sesaat kemudian pergi entah ke mana.
Sekejap, Enji pun menghilang. Bagai debu tersapu angin. Memupus kuntum kembang yang baru saja mekar.
“Nji, kamu di mana?”
Arra menatap bukit cemara dari balik jendela. Butiran-butiran bening mengalir, menambah sembab mata sipitnya.
Dicarinya Enji di antara cemara. Mungkin ia terselip di sana. Ah, ternyata tak ada. Arra membisu, menekuk wajahnya.
Sungguh, Arra lunglai dibuatnya. Hatinya porak poranda. Lalu asa dan cintanya dikuburkannya di bawah cemara yang mulai layu.
Arra tahu, Enji tak mungkin kembali. Tapi sedalam apapun Arra mengubur kenangan, bayangan Enji justru hadir.
Arra menutup jendela.
“Mengapa bayang-bayang Enji tak mau sirna?”
“Sekalipun aku telah melemparkannya jauh-jauh. Dan menenggelamkannya bersama mimpi yang tersisa.”
Tak disangka, Enji berdiri di balik jendela, membawa seikat bunga yang dipetiknya dari taman nirwana.
“Arra sayang, maafkan aku selama ini, ya. Semoga aku bisa memperbaiki hubungan kita yang dulu biar bersemi kembali.”