BONE–Tim Advokasi Perlindungan Masyarakat Desa Rappa, yang dipimpin oleh Mahmud, SH, MH, hari ini memberikan pengumuman penting tentang langkah hukum yang telah diambil dalam kasus pengrusakan hutan yang telah terjadi. Mereka memberitahukan bahwa Kejaksaan Negeri Watampone telah melakukan penahanan terhadap dua tersangka, yaitu BS (oknum Kepala Desa Rappa) dan HR, sehubungan dengan pelanggaran Pasal 82 UU Nomor 18 Tahun 2013 Tentang Pencegahan Dan Pemberantasan Perusakan Hutan.
Pasal tersebut menyatakan bahwa orang perseorangan yang dengan sengaja melakukan penebangan pohon dalam kawasan hutan yang tidak sesuai dengan izin pemanfaatan hutan atau tanpa izin yang sah, berpotensi menghadapi hukuman pidana penjara paling singkat 1 tahun dan paling lama 5 tahun, serta denda paling sedikit Rp. 500.000.000,00 dan paling banyak Rp. 2.500.000.000,00.
Modus operandi yang digunakan oleh Tersangka BS adalah menyalahgunakan Izin Usaha Pemanfaatan Hutan Kemasyarakatan (HKM) yang diterbitkan oleh Dirjen Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup, di luar batas areal kerja yang seharusnya. Ini menyebabkan penebangan pohon yang tidak sesuai dengan izin pemanfaatan hutan atau bahkan tanpa izin sama sekali.
Tersangka BS juga diduga memerintahkan Tersangka HR untuk melakukan penebangan pohon dalam kawasan hutan tanpa izin yang sah.
Tim Advokasi Perlindungan Masyarakat Desa Rappa mengapresiasi langkah yang diambil oleh Aparat Penegak Hukum dalam melakukan penahanan terhadap kedua tersangka. Mereka menyatakan bahwa masyarakat berhak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat, termasuk kualitas lingkungan hidup yang dihasilkan oleh hutan dan pemanfaatan hutan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Terkait penahanan terhadap Kades Desa Rappa, mereka mengakui bahwa hal ini dapat berdampak pada gangguan dalam pengambilan keputusan dan penanggung jawab setiap kebijakan yang diambil di tingkat desa. Namun, mereka menekankan pentingnya menjaga lingkungan hidup dan mematuhi aturan yang berlaku.
Untuk mengisi posisi kepala desa yang kosong, Tim Advokasi Perlindungan Masyarakat Desa Rappa menyarankan untuk melakukan Pergantian Antar Waktu, di mana siapa yang memiliki suara terbanyak kedua atau nilai komulatif kedua dapat diusulkan untuk dilantik sebagai Kepala Desa Rappa. Ini akan memastikan kelancaran proses kepemimpinan di desa tanpa perlu pemilihan kepala desa yang baru.
Kasus pengrusakan hutan ini menjadi pelajaran penting tentang pentingnya menjaga hutan dan lingkungan hidup. Masyarakat Desa Rappa bersama Tim Advokasi mereka berkomitmen untuk terus memperjuangkan perlindungan lingkungan hidup dan keberlanjutan hutan di daerah mereka. (*)