Yosef N
Pagi masih berkabut. Mentari yang selalu setia menyemburkan cahayanya tampias entah ke mana. Tertambat di pepohonan. Terhempas oleh rona kehidupan di kota metropolitan yang mulai riuh gada. Kristin duduk di teras rumah kontrakannya dengan wajah kusam. Cemberut. Tak seperti biasanya mahasiswi kedokteran itu tampak ceria menyambut pagi. Rambut hitamnya dibiarkan berserakan membedah bahunya. Seperti lebah bergelantungan di atas pohon.
Perubahan sikap gadis asal Manado itu terjadi setelah ia dan teman – temannya pulang dari sebuah desa terpencil di pedalaman pulau Timor, tempat mereka melakukan praktek Kuliah Kerja Nyata (KKN). Di Desa Birunatun Kabupaten Timor Tengah Utara, Nusa Tenggara Timur. Selama di sana para mahasiswa dari Fakultas Kedokteran ini dibuat tercengang. Masih banyak kekurangan di sana – sini. Jalanan belum aspal, jika musim hujan berlumpur. Bahkan Puskesmas pun tidak ada. Yang memprihatinkan lagi jika sakit, masyarakat setempat masih percaya dukun. Masyarakat benar benar hidup dalam cengkraman ketertinggalan. Listrik tidak ada. Jika malam tiba, masyarakat mengandalkan cahaya raksasa dari langit. Bulan. Itupun jika hari cerah. Jika hujan, rembulanpun enggan bersinar. Cuma mengintip dari balik awan tebal. Kekasih Leonard ini membayangkan betapa rumitnya masyarakat hidup dalam kurungan berbagai kesulitan.
Lamunan Kristin lenyap bersama kabut. Ia dikagetkan oleh suara seseorang yang memanggil namanya. Ia menoleh ke belakang. Pemilik suara itu Leonard. Suara yang sudah lama tertancap dalam jiwanya. Seketika membuyarkan kesunyian yang sedari tadi hinggap di hatinya. Leonard membawa kabar, pemerintah segera membangun sebuah Puskesmas di lokasi tempat mereka KKN. “Kristin, berkat hasil laporan mahasiswa, pemerintah segera membangun Puskesmas di sana,” kata Leonard. Mendengar kabar itu, mahasiswi dengan rambut sebahu itu, kegirangan. Ia merentangkan tangannya memeluk erat Leonard. “Mentari pun tersenyum di antara kilatan cahaya embun pagi: